Setidaknya Saya Masih Bisa Bersyukur

Furiyani Nur Amalia 17 Juli 2011
Selamat siang Sabtu. Deras hujan tadi pagi tidak berjejak sama sekali di siang ini. Hari ini panas luar biasa. Entah saya tidak merasakan kapan datangnya Jumat dan kapan munculnya Sabtu. Kesibukan di sekolah dan kegiatan dengan murid-muridku di sore hari, benar-benar mengalihkan duniaku. Belum lagi dengan waktu mengajarku di SMP di ujung gunung, yang sungguh luar biasa. Rutinitas yang mulai saya geluti beberapa hari terakhir dan sampai satu tahun kedepan. Pagi ke sekolah, siang pulang ke rumah, sore kalau tidak ditangi murid-murid untuk belajar tambahan, ya biasanya kami sedang ada ekskul. Malam, muridku juga sering datang untuk belajar. Kebetulan minggu pertama sekolah ini juga saya gunanakan untuk berkenalan dengan murid-murid di SMP. Jadi saya juga membantu siswa SMP yang hendak belajar. Sabtu ini, adalah hari ke-delapan dimana tidak ada peradaban listrik di rumah. Listrik? Maksud saya adalah genset. Genset yang hanya menyala dari jam 6 petang sampai jam 9 saja. Selain harga bensin juga semakin meningkat, cuaca buruk akhir-akhir ini tidak memungkinkan bapak angkatku untuk dengan mudah membeli bensin di pulau sebelah. Ditambah lagi tiba-tiba bapak angkatku pergi ke Manado 2 hari yang notabene, sang pengambil bensin tidak ada. Selain itu tiba-tiba genset di rumah rusak, tidak bisa di perbaiki. Dengan segenap hati ibu menyuruh orang membetulkannya, tapi hasilnya nihil. Genset tak kunjung bisa. Walhasil, kami berdua mulai berteman dengan petromax dan lampu minyak. Bagaimana dengan kehidupan hape dan laptop saya? Saya harus naik gunung ke rumah penduduk dusun atas yang mempunyai genset untuk saya minta atau beli listrinya untuk sekedar mengecharge laptop atau handphone. Itu hanya bertahan satu hari, karena letaknya jauh dan malam, juga jika hujan akan becek, akhirnya hari berikutnya saya menyeberang ke pulau sebelah sekedar mencari listrik. Di tengah keputus asaan itu, masih teringat betul perkataan kedua teman saya Kiki dan Luthfi dimana desanya benar-benar krisis listrik. Letak pulaunya cukup jauh dari pasar untuk membeli bensin guna mengisi gensetnya dan ombak di daerah keduanya terkenal yang paling tinggi. “Sekarang, listrik adalah barang mewah, Fur. Aku harus membayar ke orang yang mau berjualan, satu jam lima ribu, dan itu pun yang antri panjang sekali. Juga yang berjualan hanya sewaktu-waktu datang. Jadi tidak setiap hari. Hari-hariku penuh dengan lampu minyak. Dan berdoa semoga minyak tidak langka. Y a kalau langka bisa-bisa aku hidup pakai api unggun” Ya Allah, saya bersyukur, nyiur-nyiur disini masih tumbuh dengan subur. Berteduh disini serasa damai. Melepas penat sejenak, sebelum sebentar lagi saya akan melanjutkan mengajar di SMP yang letaknya di ujung gunung. Merasakan sepoi angin tanpa polusi, sunyi dan tenang merupakan anugerah yang jarang saya temui di kehidupan kota. Ya, walau hanya sebentar. Setelah ini, saya harus ke ujung bukit bersama mama piara untuk mengambil air. Sudah 2 hari ini saluran air rumah kami terputus, karena di seruduk babi hutan. Bambunya rusak dan tidak bisa disambung lagi. Kemarin waktu saya dan muridku ke atas bukit tempat sumber air, bambunya sudah patah dan penyangganya roboh. Jadi pasokan air bersih kami mati total selama 2 hari ini, ya mungkin sampai menunggu bapak pulang dari Manado yang masih belum kapan. Orang yang biasanya sering mengambil bambu di hutan juga tidak bisa diandalkan. Orangnya pergi ke pulau seberang sementara waktu. Akhirnya, saya setiap pagi, siang seperti ini, dan menjelang sore nanti, harus mengambil air di dalam curigen 5 liter di atas bukit. Dua curigen 5 liter, masing-masing tangan membawa. Sekali lagi, jangan tanya jalanannya, sangat menanjak dan melelahkan. Tadi pagi, air yang saya bawa dari yang penuh hanya tinggal separuhnya. Mama piara hanya tertawa kasian melihat saya, seraya minta maaf. Hah!Betapa lemahnya saya :) Ketika penat menghampiri dan dalam kesendirian seperti ini, saya memang harus lebih banyak bersyukur, bersyukur saya masih diberikan sehat, dan bersyukur mata air di puncak bukit itu tidak pernah kering. Berkaca dari teman saya di pulau Lipaeng yang amat susah air, dia selalu mengingatkan saya “Bersyukur Fur, masih ada air setiap saat, kalau di tempatku air ada dengan hanya mengandalkan doa, berdoa semoga Allah memberikan berkahNya lewat hujan, jadi kami bisa mendapat air dan bisa mandi”. Daerah tempat tinggalnya terkenal dengan ombak tinggi dan sulit air. Air yang di dapat berasal dari air tadah hujan. Ombak di pulau sekarang sedang tinggi, jadi sementara saya mengajar, saya libur ke pasar. Dan ketika saya mengambil air di bukit, saya juga harus mencari kayu bakar dan sayuran di kebun dengan menenteng tas keranjang di punggung. Alhamdulilah tanah di sini subur. Masyarakat disini benar-benar menjaganya. Jadi saat musim sulit ikan atau ombak tinggi, masyarakat sudah antisipasi untuk menanam sayuran atau rempah-rempah sebagai. Ya walaupun di bukit, yang kanan kirinya adalah jurang. Jika terjatuh, kalian akan sulit ditemukan :( Teman, jika kalian sekarang merasa lelah, lelah atas rutinitas yang kalian lakukan seharian ini. Bersyukurlah, setidaknya kalian masih sehat dan bisa melakukan refreshing ke suatu tempat. Atau kalian bisa menelpon orang tua, sahabat dan teman, setidaknya sinyal kalian melimpah ruah. Tantangan geografis menyebabkan kami bersembilan cukup sulit dalam hal komunikasi. Selain harus menuju laut atau dermaga terdekat untuk mengharap sinyal, atau menghubungi salah satu teman saya yang di perbatasan harus menggunakan radio di pelabuhan dengan menunjuk frekuensi tertentu. Lalu pesannya, akan disampaikan kemudian. Kode bagi kamu jika ingin menghubungi adalah, “tes..tes disini cakalang 1, menghubungi paus 1. Ganti!”. Pengalaman yang luar biasa bagi saya. Oleh karena itu, jangan sampai putus silaturahim yaaa.. Jika kalian merasa lapar dan tidak bisa keluar rumah karena hujan, jangan mengutuki hujan. Ingatlah, hujan adalah berkah bagi sebagian kami disini. Jikalau lapar, bersyukurlah setidaknya kalian tidak perlu mengambil kayu bakar, karena minyak disana tidak selangka disini, atau kalian bisa memakai bahan bakar LPG? Ya, walaupun ujung-ujungnya hanya berjalan kaki sebentar ke warung pinggir jalan. Dan kalian tidak perlu mengambil dan jalan ke bukit untuk mengambil sayuran sekenanya yang bisa dimakan. Kalaulah kalian masih malas melakukan sesuatu? Segera pergilah, karena disana tidak ada ombak tinggi yang jadi tantangan untuk kalian berangkat. Dan teman, jika kalian merasa hidup kalian begitu membosankan, ingatlah bahwa Allah sudah begitu adil mengatur jalan hidup kita. Jika kalian lelah, capek, haus, lapar, entah kata apapun itu, ingatlah setidaknya itu hanya terjadi pada hari ini. Dan besok, kalian tidak akan mengulangnya. Jangan mengeluh atas apa yang kamu keluhkan, jangan mengeluh atas kekurangan yang kalian punya, karena yakinlah apa yang kalian keluhkan adalah rutinitas yang sering orang lain timpa dan kekurangan kalian adalah kelebihan yang orang lain belum punya. Carilah sampai hal yang paling kecil yang patut kalian syukuri, jangan sampai mengeluh. Disini, ketika penat dan peluh bercucuran, suara panggilan mama piara yang mengajak saya untuk ke bukit, sebelum saya mengajar ke SMP setelahnya, setidaknya saya bersyukur saya masih di beri sehat dan kekuatan stamina yang baik. Ketika bosan menghampiri, bersyukurlah saya dikaruniai murid-murid yang luar biasa kocaknya. Yang benar-benar mengisi hari-hariku dengan celotehannya :) Ya, minimal kita masih bisa bersyukur bukan? Tetap semangat dan selalu berpikiran positiv! Furi, di spot 3 bawah pohon kelapa reot :)

Cerita Lainnya

Lihat Semua