Seminggu ini, saya...
Furiyani Nur Amalia 25 Juni 2011
Pagi menjelang siang Nusantara...Selamat berhari libur ya. Badan saya sudah melegam, muka sudah seperti tentara yang hendak pergi perang penuh dengan peluh-peluh hitam. Bukan aroma parfum atau bedak yang tercium dari bauku. Jika kalian pegang badanku otomatis kalian akan tertular menjadi hitam. Bukan hanya badan, di jari kuku kakiku sudah terpoles hitam pekat. Dengan tubuh seperti itu, sambil kugendong keranjang di punggung, segera kuturuni jalanan menuju pantai. Cukup memakan waktu sekitar 3 jam untuk membereskan pekerjaan ini di hutan. Di setiap jalan yang saya turuni, banyak bapak ibu yang merasa kasihan atau bahkan ingin membantuku membawanya. Namun, saya menolak. Bapak dan ibu piara saya sudah menawarkan untuk tidak membawa keranjang dan karung ini leboh dahulu. Namun saya senang bisa membantu.
Ya, hari ini di desa kami sedang banyak yang panen kopra. Termasuk dengan keluarga piaraku. Pernah dengar kopra?? Sekarang saya bisa membuatnya sendiri. Sebenarnya bukan panen kopra, namun panen kelapa tua yang biasanya dibuat kopra. Orang tua piaraku mempunyai banyak pohon kelapa di sekitaran rumahnya dan di hutan. Ada 15 keranjang besar berisi kelapa tua. Saya menggendong dua keranjang ini ke hutan untuk di bakar di atas perapian dan menunggu 4-5 hari. Kenapa harus di hutan? Karena jika harus di bakar di pinggir pantai hasilnya tidak maksimal, karena apinya tidak merata. Ya, angin di pantai cukup kencang akhir-akhir ini. Namun, jika tidak ingin capek membawa ke hutan dan mengangkut dari hutan ke pantai lagi cukup menggali tanah yang dalam untuk membakarnya, lalu diatasnya di beri bedeng-bedeng dari pelepah pohon sagu sisa tebangan. Tapi, akan membutuhkan minyak yang lebih banyak dan waktu membakarnya bisa memakan lebih dari 5 hari. Maka dari itu, kami memutuskan untuk membawanya di tengah hutan. Jangan tanya untuk jalannya, luar biasa menanjak, jauh pula. Awalnya kelapa harus dikupas. Pengupasan kelapa dilakukan jika kelapa yang digunakan sebagai bahan baku masih berupa kelapa utuh. Buah kelapa yang masih bertempurung di belah menjadi dua bagian dengan menggunakan golok pemukul atau kapak. Dan air buah kelapa di tampung atau dibiarkan mengalir ke bak penampungan. Belahan yang masih ada tempurung harus segera di keringkan. Kalau tidak akan berjamur dan kualitsanya akan menurun. Jika cuaca bagus biasanya dikeringkan dengan sinar matahari, tapi karena cuaca tidak memungkinkan maka dibakar menjadi jalan satu-satunya. Kemudian daging buah diambil dengan menggunakan pisau yang tebal. Pengeringan selanjutnya dilakukan dengan sinar matahari atau api sampai kopra benar-benar kering. Menurut masyarakat disini pengeringan dengan sinar matahari bisa sampai 5-9 hari kalau pengeringan panas buatan hanya 4-5hari. Setelah kelapa ini mengering barulah kami pungut dari hutan. Setelah kelapa tua ini kering. Daging ini diiris kecil dan mempunyai bau khas seperti gula aren. Kulit luarnya tak lagi coklat, namun berubah menjadi hitam. Inilah yang dinamakan kopra. Kopra ini nanti dijual dan akan dibuat minyak kelapa serta turunan yang lain. Batoknya? Saya pungut juga untuk di jadikan bahan bakar seperti kayu bakar biasanya. Memang lama prosesnya dan butuh kesabaran untuk menunggu, mengupas, memungut, menggendong, lalu menjualnya. But, Life is about learning something new, thats why Im here now :)
Cerah. Laut tenang. Angin dan nyiur masih bersimbiosis untuk memberiku sepoi-sepoinya. Masih terlalu lelah saya untuk sekedar mandi. Masih banyak cerita yang harus saya bagi. Tidak terasa sudah seminggu saya hidup di Beeng. Menjadi masyarakat sini dengan melakoni berbagai aktivitas sehari-hari selain menjadi seorang Encik. Encik adalah panggilan masyarakar sini kepada seorang guru muda yang masih lajang. Sejak hari pertama saya disini, saya mencoba untuk memahami bagaimana masyarakat disini hidup. Malam, hari kedua saya disini, saya mulai belajar menjaring ikan, saya belajar mengetahui gerak gerik ikan batu, yang bisa langsung tangkap tanpa menggunakan kail maupun jaring. Belajar membaca cuaca dan angin. Tidak hanya itu, ikut bapak mencari ikan besar seperti cakalang dan tuna di tengah laut, yang tidak bisa ditusuk atau di jaring, namun di pancing. Belajar mengenai kerja keras hidup melaut, yang tidak mengenal pagi atau malam mencari ikan. Sekedar menyambung hidup sehari-hari.
Selain melaut, saya belajar untuk berjualan di pasar di pulau seberang. Berjualan hasil kebun, berjualan hasil melaut, berjualan kopra. Dan itu sungguh tidak mudah. Berangkat sehabis subuh dan harus kembali sekitar jam 9. Disini tidak ada pasar modern, tidak ada pasar yang memakai trolley dengan berhamburan diskon maupun harga yang sudah pas. Bisa saya katakan pasar disini masih tradisional. Kadang memberi harga dibutuhkan kelapangan hati jika hasil yang dijual tidak sesuai dengan pengorbanan saat mengambilnya. Disini masih ada sistem barter. Suatu saat saya berjualan, ada seorang nenek yang mempunyai 4 nanas, namun dia ingin ikan yang saya jual. Bagi saya saat itu, kami tidak butuh nanas, namun ibu angkatku memberiku pelajaran tentang makna menolong dan mengasihani. Maka terjadilah barter antara 4 nanas dan 3 ikan sako ukuran sedang. Sebenarnya pasar tutup jam 8, namun kami harus menunggu orang-orang yang hendak menyeberang ke pulau kami, dan itu amat sangat dibutuhkan kesabaran. Saya paling tidak suka pekerjaan menunggu. Namun disinilah saya belajar tentang keegoan saya. Disini juga saya harus berdamai dengan menunggu. Tapi, sisi baiknya saya bisa meluangkan waktu menunggu saya dengan bercanda atau sekedar belajar bahasa sangir dengan masyarakat disini :) Bukannya Allah menciptakan segalanya dengan tidak sia-sia?? So, thats why Im here :)
Masih teringat 5 bulan atau 6 bulan lalu ketika saya masih duduk di kursi empuk, dengan komputer atau dengan kecanggihan lainnya di sekitar saya. Berangkat kesana kemari masih naek motor, taxi atau mobil. Mudah. Beres. Lapar? Jalan lurus pertigaan, cari warung. Atau telpon bisa makan? Sekarang tidak ada kursi empuk. Mau makan? Cari, baru dimasak. Bepergian? Tunggu cuaca dan tunggu perahu :). Dan tidak ada perahu bermerek disini. Semuanya sama. Lagi-lagi saya belajar persamaan kedudukan. Jika ingin tahu kapan kalian harus jadi yang orang di belakang, di tengah atau di depan. Maka lihatlah masyarakat disini yang hendak menyeberang menggunakan perahu
Bagaimana sore harinya? Jika sore saya menghabiskan waktu bersama murid-murid saya kalau tidak saya kembali membantu ibu angkat bersih-bersih di rumah
"Kibas kaki punya Encik, kibas yang kuat. Jangan pantang takut. Rentangkan yang kuat. Muncul, nafas, masuk, tahan. Di bawah indah, encik punya tahan itu nafas."
atau
"kareyapa maehate bue ikau sene??" (baca : apa kamu baik-baik saja?)
"Su tengong baleku piya apeng dingangu kalung bango, Encik" (baca :Bu guru, di depan rumah saya ada pantai dan pohon kelapa)
Ya, saya privat berenang dan berbahasa sangir kepada murid-murid saya sore hari. Dan itu menyenangkan. Belajar sambil bermain. Mereka lebih lucu dan kejujuran anak-anak usia mereka yang sudah jarang saya temui.
Itulah kegiatan saya selama seminggu ini, yang sering saya lakoni selain kegiatan lainnya. Tidak terasa sudah seminggu. Itu kesannya. Mungkin suatu saat saya akan menulis, tidak terasa sudah setahun :) . Hikmah yang saya ambil dari seminggu ini adalah Jika ingin mengerti dan memahami maka rasakan dan lakukan. Karena dengan itu, kita akan belajar, belajar, belajar akan memaknai hidup dan menghormati antar sesama :). So, once again I can say thats why Im here.
Duduk di Spot 3. Pohon Tua Reot. Furi Melaporkan :)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda