Ayo Bersyukur (Pengalaman Premier Melaut)
Furiyani Nur Amalia 24 Juni 2011
Masih di ujung spot 1, ujung dermaga, ditemani muridku hendri dan angel yg masih menunggu mamaknya membersihkan ikan untuk santap sorenya. Ya, hari ini tangkapan kami luar biassssaa banyak. Saking banyaknya bapak piaraku membagikan hasil tangkapan kami kepada saudaranya, termasuk mamaknya hendri. Sore,masih dengan ketenangan laut dan kesetiaan nyiur melambai, kembali kuceritakan kisahku tentang keseharianku melaut, langsung dari dermaga ini.
Saat itu, pertama kalinya saya menyeberang laut menuju pulau ini. Laut dengan ombak yang menggulung putih, deburan gelombang saat kapal harus terpental dari punggungnya. Kekuatan ombak dipadu dengan kombinasi warnanya, persis seperti yang saya pelajari di buku dulu. Warna hijau, karena ada ganggang atau terumbu karang di bawahnya, biru muda, karena ada pantulan sinar matahari, atau biru tua yg berarti laut dalam. Laju perahu ini tidak begitu cepat, mengimbangi tingginya ombak. Cipratan air laut seolah mengucapkan salam selamat datang kepadaku. Sekali cipratan, sesekali juga guyuran. Walau ombak cukup tinggi, bisa kulihat jelas ikan-ikan cantik, ikan indosiar dan ikan tak bernama yg berlompatan tak jauh dari perahuku. Jauh disana terlihat pelabuhan yang baru saja kutinggalkan. Di sebelah timur terlihat hamparan hijau tempat Nisa hidup setahun kedepan. Di sampingnya ada pulau-pulau tak berpenghuni terpisahkan oleh luasnya lautan ini. Indah. Indah. Subhanallah indah.
Dari permukaan bisa kulihat jelas terumbu-terumbu yang tertanan kokoh didasarnya, diwarnai ikan-ikan cantik yang berenang disekelilingnya. Hanya sekedar iseng saya bertanya, "Ikan disini banyak ya pak?? Apa disini bapak menangkap ikan??" sambil mengarahkan motor perahunya beliau menjawab, "Kadang-kadang disini kadang disana, tidak tentu juga, besok saya kasih tau tempatnya". Binar mata ini seakan seperti film kartun yg mengeluarkan bintang-bintang tanda suka sekali. Ya saya menyetujui untuk ikut bapak melaut besok. Ah, masih teringat benar memori itu, sehingga keesokannya saya menagih janji itu ke bapak.
Habis subuh, seusai dari pasar saya bersiap untuk melaut. Jangan disangka pasar tersedia di pulau ini. Pasar ini berada di pulau seberang dekat dengan pelabuhan. Biasanya kata bapak piara, seusai melaut langsung menuju pasar untuk berjualan. Hari itu, akan menjadi pengalaman baru bagi saya melaut di lautan utara Indonesia. Namun, perkiraan saya meleset. Saya pikir akan melaut pada pagi hari, tapi bapak bilang, ikan lebih banyak bermunculan di malam hari. Diam. Bingung. Kembali saya mengingat akan teori di buku. Angin darat adalah angin yang bertiup dari arah darat ke arah laut yang umumnya terjadi pada saat malam hari dari jam 20.00 sampai dengan jam 06.00. Dan angin jenis ini bermanfaat bagi para nelayan untuk berangkat mencari ikan dengan perahu bertenaga angin sederhana. Ya teori itu, saya paham. Kembali bapak mengajukan tawarannya dan akhirnya saya mengiyakan. Siang mengajakku untuk kembali bermain bersama muridku di gunung. Sepoi angin daratan Beeng siang itu sungguh sejuk. Sinar matahari tak hentinya memantulkan ke permukaan air, karang indah menjadi mainanku siang itu. Entah apa yang saya pikirkan saat itu, wajah mereka dengan senang mengajariku apa arti laut yang menjadi “Beta” baginya.
Menjelang matahari tenggelam, kusiapkan senapanku bersama bapak. Hanya jaring dan penutup mata saja. Tidak lebih dari itu. Kuluruskan jaring-jaring dan sela diantaranya. Pelampung tiap jengkal jaring, dirapikan. Dilipat ke ujungnya dengan teratur sehingga jika di bentangkan nanti tidak ada jaring yang kusut. Pertama kali dalam hidupku melaut di tengah malam, hanya berbekal senter, dengan perahu bercadik kecil. Setelah sholat isya, bismillah saya akhirnya berangkat.
Kudorong perahu menuju bibir pantai, segera kunaiki perahu dan kunyalakan senter. Angin laut di malam hari memberikan nuansa yang khas. Kukayuh dayung. Hal pertama yang harus dilakukan adalah jangan berisik, kalau tidak ikan akan kabur. Pencarian pertama adalah mencari ikan batu. Istilah ikan batu adalah ikan yang hidupnya di batu dan katanya luar biasa enak kalau di bakar. Caranya adalah tidak dengan menjaring, namun turun di sela-sela karang. Badan di bungkukkan dengan membawa bambu yang ujungnya di beri asahan seperti pisau tipis runcing. Gunanya untuk menusuk ikan. Tentu saya belum ahli dalam hal ini. Hanya melihat dari atas perahu dan berdecak girang saat bapak berhasil menusuk ikan-ikan itu. Butuh keahlian khusus memang, salah-salah ikan akan banyak yang kabur.
Sekitar 30 menitan ada 8 ekor yang berhasil di tangkap. Kembali kami berpindah dari tempat tersebut untuk menjaring ikan guna di jual di pasar esoknya. Untuk menjaring, tidak perlu sampai ke tengah laut, hanya berhenti di tempat laut tenang. Disanalah saya mulai membentangkan jaring. Menandai antara bola-bola pelampung dan membiarkannya. Menunggu 15 menit saja, tapi tanpa suara. Bicara lewat binar mata dan ajakan untuk segera menaikkan jaring. Kata siapa menaikkan jaring mudah??? Salah-salah kalau tangkapan banyak bisa kita yang ganti masuk ke dalam air. Mengangkatnya beraaaatt sekali. Tanda-tanda tangkapan kami sukses membawa hasil. Dan hasilnyaaaa?? Ikannya banyaaak sekali. Rasanya? Tidak ingin memakannya dan ingin memusiumkan hasil tangkapan saya yang pertama. Hehehe, tidak mungkin yaaa. Sebelum selesai mengayuh perahu, bapak piaraku diam sejenak sambil mengayuhkan kayunya di sekitar tempat ikan itu ditangkap. Bibirnya komat kamit sambil tersenyum. Saya tidak tahu itu apa. Lalu bapak menyuruhku untuk kembali mengayuh menuju rumah. Tepat di bibir pantai kuturunkan jaring itu. Sedikit demi sedikit ku keluarkan ikan di sela-selanya. Satu, dua, tiga, empat ikan. Seterusnya sampai 17 ikan yang berukuran besar. Alhamdulilah. Besok bisa di jual di pasar.
Membayangkan tiap hari ikan-ikan di ambil di lautan luas ini oleh beberapa nelayan. Subhanallah. Tidak ada habis-habisnya. Memang benar jika ada yang bertanya, lebih banyak mana bintang di langit atau ikan di samudra. Ya, ikan di samudra jawabnya. Hari itu kembali saya harus belajar dari pengalaman premier melaut di Beeng. Masih ingatkah kalian tentang nilai strategis Indonesia yang memperoleh pengakuan dari dunia internasional sebagai negara maritim? Masih ingat konsep hukum laut yang menganut 3 aspek pengembangan sebagai sasaran pembangunan berkelanjutan kelautan di Indonesia? Yaitu aspek ekonomi berupa hak untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi hasil-hasil kelautan, aspek ekologi yaitu upaya pelestarian dan pengelolaan potensi laut, aspek sosial budaya pelestarian budaya bahari. Pernah berpikir, apa bapak pernah mendapat pelajaran tersebut??? Entah kenapa, saat setelah melaut. Saya yakin 75% lautan yang mendominasi daratan Indonesia begitu kaya dan beragam aneka kekayaan hayati di dalamnya. Namun masyarakat disini dengan hukum adatnya dan dengan sadarnya menghormati dan menjaga perairan ini lebih dari peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Tidak perlu saya kasih tau untuk menjaga terumbu karang, tidak perlu saya kasih tau tentang teori akan adanya badai, Namun, mereka yang memberi tahu saya. Jangan membuang apapun ke dalam laut, jangan merusak karang di dalam laut, jangan menggunakan alat yang dapat merusak. Mereka lebih tau cara menjaganya.
Oleh karena itu, marilah kita menjaga alam yang menjadi tempat kita hidup selama ini. Karena berbaik dengan alam, maka alam akan memberikan kebaikan yang serupa. Bapak diam saat setelah melaut dengan mulut komat kamit itu adalah saat dia berdoa bersyukur atas tangkapannya. Bersyukurlah atas apa yang kalian dapat sekarang, karena kalian tidak perlu mengail atau menjaring untuk hanya mengucap syukur. Karena Allah mencintai hambanya yang bersyukur. Sudahkah kita bersyukur hari ini?
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda