info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

selamat daang di Desa Beeng Darat, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Furiyani Nur Amalia 18 Juni 2011
Soreee...sharing tentang daerahku yaaa... Butuh sekitar dua hari untuk mencapai desa ini. Awalnya kami berangkat dari Jakarta menuju Manado, namun rute tiba-tiba berubah, kami harus transit di Makasar selama 25 menit, baru melanjutkan perjalanan menuju Manado. Tidak ada yang istimewa ketika kami menginjakkan kaki di bumi Celebes ini. Yang ada hanyalah sisa-sisa kesedihan ketika kami harus berpisah dengan teman-teman yang sedang mengemban tugas yang sama di daerah lainnya. Penatnya tubuh seolah menyihir kami untuk menggunakan sisa-sisa perjalanan mengistirahatkan tubuh yang lelah. Kami, bersembilan belum mengerti dan sebagian hanya awang-awang gambar peta mengenai pulau yang akan kami tuju. Perjalanan menuju Manado dari Makasar tidak memakan waktu yang lama, hanya satu jam lebih sedikit. Dan di ujung kesadaran kami ketika pramugari mengumumkan untuk mengenakan sabuk pengaman, kami melihat tanah yang menjorok dari balik jendela pesawat, khas dari ujung provinsi Sulawesi Utara yang berbentuk K kalau digambarkan di peta. Sedikit berbinar mata kami, membayangkan dan bertanya-tanya, apa ke-63 teman yang lain merasakan hal yang sama juga. Mendaratlah kami di Bandara Sam Ratulangi, alhamdulilah. Sebenarnya bukan perjalanan cukup lama untuk mencapai pulau impian kami, namun pesawat menuju pulau impian tersebut baru ada besok. Bermalam lah dulu kami dan perjalanan besok baru dilanjutkan kembali dengan pesawat baling-baling, menuju bandar udara Naha. Menghabiskan waktu di Manado sebelum akhirnya kami harus berpisah lagi menuju pulau yang berbeda dengan menikmati berbagai kuliner yang tersedia di Manado. Pengalaman yang sangat luar biasa. Berjalan kaki, dengan berkenalan masyarakat sekitar sambil memperhatikan aksen dan dialek yang mereka gunakan. Sahabatku Anggi, selalu mengatakan "Whatta Life, Furi..Lets enjoy it :)". And absolutely I agree with that. Satu hal yang saya pelajari dari perjalan hari itu adalah, betapa saya dulu terlalu takut dan terlalu picik menganggap negeri ini sebatas di layar kotak televisi belaka. Keindahan yang selalu tertutup oleh ketimpangan yang sering di elu-elukan. Dan sekarang saya bisa bilang, apapun itu, bagaimana orang menganggap, INDONESIA KAYA!! Datang subuh membangunkanku saat itu. Masih di tempat yang nyaman dengan dingin kamar yang tidak asing bagi kami. Ini masih nyaman, sungguh masih nyaman. Ku rapikan perlengakapan dan tas-tas yang akan aku siapkan menuju pulau impian pagi ini. Binar mata kedelapan temanku menafsirkan rencana-rencana baru setelah kita sampai disana. Dan kami pun kembali ke Samratulangi, menuju pulau impian kami yang selama ini hanya masih sebatas gambar hijau di kelilingin warna biru sebagai latarnya. Baling-baling pesawat yang kami tumpangi masih asing bagi sebagian kami. Inilah yang dinamakan pesawat perintis. Berisik, jelas lebih gaduh dibanding dengan pesawat sebelumnya. Terpikir bagiku saat itu untuk memejamkan mata setelah lepas landas, kepenatan masih bersamaku pagi itu. Tempat dudukku dekat dengan jendela, dimana saya bisa melihat roda pesawat dan baling-baling pesawat yang akan lepas landas. Ini membuatku untuk tetap memfokuskan pandanganku pada landasnya roda dari daratan Samratulangi. Pramugari mengatakan butuh 50 menit menuju pulau impian tersebut. Seketika lepas landas, pulau-pulau kecil dikelilingi awan menyulap pemandanganku saat itu. Subhanallah,,subhanallah, tak pernah kutemui keindahan seperti ini sebelumnya. Sekali lagi saya bisa bilang INDONESIA KAYA!! Saya tidak ingin pejam pagi ini. Entah berapa kali gambar yang saya ambil dan berapa kali saya berusaha menyimpan momen yang tak pernah terbeli ini. Hijau, biru, dan diatasnya putih. Ada yang biru, biru muda, hijau, lalu hijau tua. Begitu terus kombinasi degradasinya. Indaaaaah sekali. Karena saya duduk di samping jendela, maka lebih leluasa saya mengambil pemandangan ini. Namun, sering kali Fendi, teman di sampingku juga ingin mengabadikan momen ini, serasa tak mau kalah denganku :) Sekejap, pemandangan ini sirna karena ketinggian mulai merendah dan sejauh mata memandang, hanya nyiur kelapa yang saya lihat dari jendela pesawat. Peringatan mengenakan seat belt, diserukan. Ya! kami hampir sampai. Pulau ini, pulau yang penuh dengan pohon kelapa ini. Alhamdulilah, mendarat kami di bandara Naha. Suasana yang masih asri dan hijau diisambut dengan orang-orang yang ramah dan kaya akan senyum. Lengkap. Sampai kami di pulau Sangihe, salah satu daerah dengan gugusan pulau yang hendak kita tempati setahun kedepan. Inilah pulau yang ada di peta itu. Inilah pulau tempat kita bertempat dan menjadi kelurga baru disana. Sangihe. Perjalanan kami belum berhenti. Pertanyaan besar setelah ini adalah dimanakah murid-muridku dan dimanakah keluarga keduaku bertinggal? Masih dari Naha, kami harus menuju ibukota kabupaten yaitu di Tahuna. Sebuah kabupaten berbentuk tapal kuda yang indah dikelililngi lautan yang indah. Perjalana dari Naha ke Tahuna menempuh satu jam dengan jalan yang riang gembira alias berkelok kelok. Masih teringat jelas lagu yang kami nyanyikan ber-72 saat open house.. Lebih baik disini..rumah kita sendiri..segala nikmat dan anugerah yang kuasa..semuanya ada di sini. Ya semuanya ada disini. Tahuna kami datangi dan kami mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat sekitar. Bukan kota besar seperti yang kalian perkirakan, bukan kota yang penuh dengan hiruk pikuk gedung atau kendaraan yang lalu lalang. Namun kota sederhana yang damai dengan fasilitas yang cukup. Sejauh kita pergi, di tempat itu pula kami kembali dan tidak akan mungkin salah arah. Dalam sehari kita bisa menghafalkan letak tempat yang akan kami singgahi. Disini, kami bersembilan akan dipisahkan ke pulau-pulau yang berbeda. Dan semuanya tidak ada yang di ibukota kabupaten. Senang dan sedih. Senang, karena saya bisa segera berjumpa keluarga, murid-murid, dan masyarakat tempat saya tinggal setahun kedepan. Sedih, karena lagi-lagi harus berpisah dengan teman-teman dan baru bisa bertemu sebulan sekali, jikalau cuaca memungkinkan. Kehidupan kami untuk bertemu benar-benar akan di tentukan cuaca dan besarnya ombak. Dua dari bersembilan kami di tempatkan di pulau terluar berbatasan dengan Filipina. Jessica di Kawio, 12 jam dari Tahuna, dan Yuri di Matutuang 7 jam dari Tahuna. Dan kapal yang akan mengantarkan mereka baru ada hari Selasa minggu depan, itupun jika cuaca memungkinkan. Bagaimana dengan saya? Saya harus menempuh 2 jam perjalanan darat menuju pelabuhan Salurang untuk menuju desa saya Beeng Darat, lalu dilanjut dengan pam boat (sebutan untuk perahu bermotor) menuju desa saya selama kurang lebih 30 menit jika arus tenang. Jalan darat yang ditempuh cukup bervariasi, turunan, naik, curam, kanan kiri jurang dilewati. Setidaknya pelajaran ini yang akan saya kantongi jika harus ke ibu kota kabupaten kelak. Di Salurang, saya di jemput mama dan papa piara saya. Desa itu, pulau itu sudah terlihat jelas dari ujung pelabuhan ini. Namun rasa penasaran masih bercampur aduk. Inilah orang tua yang akan bersamaku selama setahun kedepan. Tiga puluh menit saya diatas kapal, dengan ombak yang lumayan tenang menurut mama piaraku. Namun menurutku ini tidaaaaaak biasa. Ini bukan kolam renang seperti saya latihan penyelamatan. Atau laut tenang seperti di film The Tourist, Venezia. Ini benar-benar lautan biru terhampar. Dan jika musim utara datang, ombak bisa mencapai 6 meter. Benar-benar pengalaman baru buatku. Setelah berhasil menghantam ombak, sampailah saya di lautan tenang. Disini, saya melihat dengan mata telanjang, keindahan terumbu karang jelas dari perahu, kombinasi warna laut yang jelas nyata. Dulu saya hanya mempelajari hanya dari buku, mana laut yang dalam, mana yang ada palung mana yang ada terumbu karang, atau yang mengandung ganggang. Sekarang, saya bisa membacanya sendiri. Hentakan kaki di pasir putih pulau ini serasa menyapaku pagi itu. pasirnya putih dan lembut. Nyiur kelapa benar-benar melambai. Tiupan angin benar melambaikan daunnya. Sejuk aroma laut yang khas di daerah ini. Dermaga yang sedikit reot, menyandarkan perahu tadi menjembataniku ke rumah keluarga piaraku. Sampailah saya di desa Beeng Darat, Tabukan Selatan Tengah. Sambutannya? Luar biasa. Di depan rumah banyak nyiur dan agak jauh terdapat pohon bakau yang kokoh. Di belakang rumah, adalah tanah tinggi menuju bukit yang indah. Dari kamar tidurku, terlihat jelas, lautan indah yang menghampar. Disini juga sering kulihat murid-muridku bermain di laut. Sungguh indah sekali. Pelajaran yang dapat saya ambil adalah hidup sederhana, mencintai alam dan tetap rendah hati, seperti masyarakat Beeng Darat, tempat saya tinggal sampai setahun kedepan. Semoga cerita ini cukup membawa kalian berada disini bersama saya, menikamti senja sore menuju maghrib sambil menulis cerita ditemani Bule, anjing mama piara disini. Selamat datang di Beeng Darat :) Furi melaporkan dari Spot 2, tempat fajar tenggelam.

Cerita Lainnya

Lihat Semua