Seandainya (Kisah Satu Hari di Tahuna)

Furiyani Nur Amalia 11 Juni 2012

Seandainya saya  boleh meminta kepada Allah, bagian mana dalam hidupku yang  bisa diulang kembali? Maka saya  akan meminta salah satunya adalah episode Sabtu, 9 Juni 2012 untuk diputar lengkap dengan scene atau behind the scene nya.

Saya tidak mengira sebelumnya, bahwa rencana untuk menghabiskan sisa uang tabungan ini benar-benar terlaksana setelah tersisihkan untuk rencana uang pendaftaran SMP dan sebagainya. Dengan segala rencana yang kami susun dari seminggu lalu, dengan melobi kepala sekolah dan wali murid yangg begitu alotnya, akhirnya its happened finally. Saya dan kami berenam memutuskan untuk 'berdarmawisata' ke kota alias ke Tahuna.

Teringat beberapa tahun yang  lalu, sama persis ketika saya  seusia mereka waktu darmawisata atau tamasya pada pengujung tahun ajaran yang sangat identik dengan acara senang-senang,berbelanja ini itu, dan yang paling penting adalah pengalaman 'pernah' pergi ke suatu tempat untuk pertama kali. Jakarta, Malang, Jogjakarta, atau mana saja, itu tujuannya. Ya, kalau boleh saya bilang, identik dengan kota maju dan mempunyai wahana hiburan atau historical place. Tetapi kami bertujuh hanya pergi ke Tahuna. Kota yang  tidak bercandi, tidak bergedung bertingkat, tidak dingin, tidak ada waterboom atau waterpark, tidak ada Matahari department store, hypermart, atau tempat semacam mangga dua atau pasar turi. Yaa hanya Tahuna yang hanya ada 5 bank, kantor pemerintahan, pelabuhan, kantor polisi, kantor pos, supermarket kecil, pasar dan rumah sakit.

Jam 4 pagi. Saya kira saya adalah orang pertama yang  ada di dermaga. Karena saya harus datang pertama sebelum murid dan orang tua yang  mengantar. Dugaan saya salah. Lengkap. Keenam murid bersama orang tua yang  mengantar di pelabuhan sudah lengkap dengan senyum dan binaran mata penuh semangat dan harap. Salah satu muridku, yang  baru pertama kali pergi sudah tidak sabar ingin menginjakkan Tahuna. Antara senang dan sedih kedapatan saya jadi orang yang  terlambat datang diantara mereka. Sebelum berangkat segala janji dan pesan terlontar dari mulut orang tua dan anaknya. Yaa, ini baru pertama kali bagi mereka,bepergian tanpa didampingi oleh orang tua. Bahkan sehari sebelumnya, kepala sekolah sempat menegur saya, ‘Hanya encik yang  senekat ini membawa anak-anak ke Tahuna sendirian. Encik akan repot disana. Sudah jangan bawa anak banyak-banyak. Satu orang saja.' Bukan nekat. Tapi saya ingin mengajarkan mereka bagaimana untuk belajar mandiri mengatur uang dan barang serta hidup mereka selama bepergian jauh dari orang tua. Saya tahu selalu ada resiko dari tiap tindakan yang akan saya lakukan ini. Tapi bismillah saja.

Pukul 04.30. Laut tenang, cuaca cerah, angin pun bersahabat. Perjalanan laut lancar. Sampai di pelabuhan Salurang, kami menunggu angkutan pedesaan yang akan membawa kami ke Tahuna. Akhirnya, pukul 06.00 kami berangkat ke Tahuna. Jalanan yang berbelok-belok membuat dua muridku muntah tak tertahankan. Namun, seperti yang saya bilang sebelumnya, dari situ mereka belajar bagaimana menjaga dirinya dan mengantisipasi jika muntah. Sedang empat muridku lainnya, tidak tidur dan bercerita panjang lebar sepanjang 3 jam perjalanan.

Pukul 08.00 angkutan pedesaan kami menurunkan kami tepat di samping tujuan pertama kami, kantor pos. Ternyata kami datang terlalu pagi, dimana pak pos masih bersih ruangan dan pintunya masih terkunci rapat. Saya hanya diam beristirahat dengan mereka sambil membersihkan sisa muntah muridku di bajuku tadi. Namun, saya lihat banyak sekali perubahan wajah di mereka. Antara bengong dan bingung. Antara ingin tanya dan malu bertanya. Antara ingin tahu dan mau tidak mau.

Saya banyak belajar sesuatu disini. Muridku yang  banyak tanya dan bicara di kelas atau di pulau, jadi benar-benar pendiam ketika ada orang yang  bertanya padanya. Saya rasa kurang percaya diri dan tidak dibiasakan atau malah belum tahu bagaimana mereka harus bertindak. Setelah saya beri tahu bagaiaman cara bebicara dan menjawab mereka baru bisa mempraktekkannya. Yaa, mereka kurang percaya diri. Saya menghela nafas panjang. Pelajaran pertama hari ini, percaya diri itu penting untuk menaikkan rasa keingintahuan :D

Setelah kantor pos dibuka, barulah kami masuk ke dalamnya. Ibu pos dan pak pos yang  dari tadi mengajak mereka bicara mempersilahkan masuk. Saya masuk lebih dulu. Baru muridku menyusul. Satu fenomena yang  saya tangkap, di depan pintu kantor pos, muridku melepaskan sandalnya dan membersihkan kakinya di keset bertuliskan 'welcome'. Kontan semua orang di kantor pos menertawakan keenam muridku. Satu hal yang tidak saya nyana-nyana sebelumnya yaitu tentang 'adab'. Bahkan di tempat lainnya pun mereka terbiasa melepaskan sandal untuk masuk ke tempat baru mereka tahu dan kenal. Menurut mereka, itu lebih sopan.

Pelajaran kedua, menerangkan dan mengalami adalah syarat utama dari keingintahuan.Kembali akhirnya saya  menerangkan bagaimana harus masuk dan menyapa juga mulai melakukan transaksi pos. Bahkan, muridku tidak tahu bagaimana harus bicara dan berhadapan dengan orang. Mengenalkan perangko. Mengenalkan adab membayar, bertanya dan berterima kasih dengan orang bukan perkara gampang bagi muridku. Mereka tidak percaya diri dan cenderung malu melakukannya. Bahkan juga kadang tidak tahu bagaimana harus menjawab

Pelajaran ketiga, membiasakan itu tidak sesulit memulai. Pak pos ini dengan senang hati membawa muridku akhirnya mengenalkan gudang surat di belakang. Dan muridku mengaga, mulai bertanya ini itu, proses sampainya surat dan kebingungan yang  terbenam di benak mereka. Mulailah senyuman itu muncul. Senyuman penuh kepuasan. Pak pos menerangkan dengan sabar. Saya berdoa hari itu, semoga beliau panjang umur.

Setalah mengambil sandal mereka, muridku memutuskan untuk siap pergi ke bank. Tidak perduli orang menertawakannya kenapa dia harus melepas sandal, kata mereka, selama itu masih tidak ada larangan dan menurutnya sopan, maka akan tetap di lakukan. Di tengah perjalanan menuju bank, salah satu murid saya bertanya, 'Encik, kenapa bank itu banyak sekali merek dan judulnya?' Saya tersenyum..

Saya percaya, tidak perlu hal yang  besar yang  diajarkan pada seseorang. Kadang mengingatkan hal kecil atau dengan mengajarkannya merupakan cara mudah untuk mengingatkan kita untuk belajar menikmati hidup dengan cara bersyukur. Banyak hal yang bisa kita perbuat dengan impact besar, even its just veeryyy simple thing to do

Perjalanan kami berlanjut menuju Bank BRI. Ketika saya bertanya kepada mereka, apa bank itu jawaban mereka adalah 'tempat besar yang isinya uang' dan bukan 'tempat menyimpan uang atau menabung uang'. Dan sekali lagi mereka masih belum mengerti bagaiaman konsep bank itu.

Pelajaran keempat. Selalu menerangkan atau mencari suatu hal bagi mereka yang  pertama kali tahu. Dalam hal ini ATM. Muridku menempelkan wajahnya di kaca ATM ketika ada orang masuk kotak kecil itu dan setelah keluar membawa banyak uang berwarna merah. Orang yang di dalam ATM hanya tertawa, sampai pak satpam lah yang menegur mereka. Saya diam saja. Jangan melarang jika mereka benar-benar ingin tahu sendiri. Mata mereka terbelalak, bagaimana bisa mesin sekecil itu bisa mengeluarkan uang merah sebanyak itu? Sedangkan mereka untuk mendapatkan uang selembar saja harus menunggu sebulan. Dan itupun tak ada yang  di tabung. Semuanya habis tak tersisa.

Mulailah saya menerangkan tentang arti 'menabung' dan 'mendapatkan penghasilan' yang berlanjut bagaimana menadapat penghasilan dan bagaimana akhirnya bisa menabung dan menyisihkan sebagian uang. Juga menjelaskan apa fungsi dari menabung itu. Mereka mengangguk, matanya masih penuh pertanyaan dan kebingungan. Namun saya senang. Dan pastinya mereka senang.

Selesai dari bank BRI saya memutuskan untuk sedikit mengisi perut. Tapi muridku menolak. Mereka belum puas. Pergilah kami ke bank kedua yang menurut mereka berbeda merek. Yaitu,bank Mandiri. Pertanyaan yang  tak bisa ku jawab adalah, 'Encik, kenapa namanya harus Mandiri? Kenapa bukan nama singkatan lagi?' Maklum disini adanya Bank Mandiri, Bank BRI, Bank Danamon, Bank Sulut juga BNI. Setelah mereka melihat sana sini, kesimpulan yang  didapat adalah sama. Saya kira pemikiran mereka akan berubah ketika sudah dua bank mereka datangi.

'Jadi, menurut kalian bank itu apa?' 'Encik, bank itu tempatnya uang beredar. Tempatnya uang orang-orang taruh uang'

Saya tersenyum. Biarlah dia berpikir nanti. Semoga bekal ini bisa tertanam kuat di benak mereka.

Perjalanan kami berlanjut. Fenomena lain yang saya bandingkan dengan masa SD dulu adalah, ketika saya tamasaya ibuku tidak akan tega membiarkan saya kelaparan di balik kantong tabungan yang  saya bawa. Namun muridku lain. Tabungan yang  dibawa dari pulau adalah ubi rebus, jagung rebus dan ikan goreng dibumbu saos. Saya bangga dengan mereka. Saya ajak mereka mencari tempat makan untuk menyantap bekal mereka. Saya bawalah mereka ke kedai ice cream. Dan ketika semakin mendekati tempat itu mereka semakin menjauhi saya.Seperti magne yang sama kutubnya, mereka semakin menolak ketika saya menngajak dan memaksananya. Murid saya akhirnya berdiri diam serentak menjauhi saya. 'Kenapa??' Saya bertanya. Mereka diam dan saling pandang.

Pelajaran kelima. Menjelaskan dulu maksud tujuan itu penting,karena dari situ kalian akan tahu kapan akan melangkah. Karena kadang orang tak tahu apa tujuan kita.

'Encik, kita pe doi(red:uang) paling banyak 50 ribu. Dan mamak bilang nyanda boleh kase abis.'

Sekali makan disini bisa sampai 15 sampai 20 ribu per porsi. Saya hanya tersenyum. Menjelaskan bahwasannya beli ice cream kali ini juga pakai uang tabungan mereka. Lega sekali mereka. Dan langsung mau diajak kesana. Pesanlah saya satu porsi per anak. Lahap sekali haaap mereka menjilati ice creamnya. Subhanallah.. Kalau melihat wajah mereka, saya jadi ingin menangis. Terasa mendzolimi mereka dengan segala keborosan selama ini.

Setelah habis dahaga, saya  mengajak mereka ke toko langganan buku disini yang  sering saya  datangi. Pak Anshari yang  sudah akrab denganku kaget ketika saya  membawa pasukan ke tokonya. Beliau hanya tersenyum melayani muridku. Berbekal dengan ilmu kesopanan dan tindak tanduk berinteraksi dengan orang, sekarang saya  hanya mengawasi dari jauh. Dari bacaan yang  mereka beli, saya  tahu bagaimana sifat muridku. Ada yang beli buku pantun dan syair, ada yang  beli majalah bola, majalah Gaul, majalah bobo dan ada juga yang beli alat tulis.

Dan di tengah jalan mereka sibuk untuk membolak balik buku dan majalahnya bercerita dan membandingkan dengan teman2nya.. Lucu sekali.

Perjalanan masih dua tempat lagi, supermarket dan tempat jualan bakso. Tapi sepertinya mereka tak pernah habis lelah. Dan baru saya sadari mereka membawa air minum satu liter dari pulau yang mereka taruh di tas. Yaa Allah, pantas saja.

*every place has own history and important part. And sometimes we don't realize about it*

Berjalan keluar dari toko buku. Mengajarkan cara menyeberang jalan, rambu lalu lintas dan bagaimana berjalan harus berhati-hati. Selain berhati2 terhadap diri sendiri dan harus menghargai hak orang lain. Pertanyaan yang  masih saya  ingat dari muridku, 'Encik, sepertinya torang yang hidup lama di Sangir, tapi kenapa Encik sepertinya tahu banyak?'

Saya tidak menjawab. 'Pengalaman akan membawamu kemana2, Na!k' batinku.

Perjalanan berikutnya adalah ke toko Megaria. Semacam minimarket seperti indomart kalau di Jawa. Sampai di depan toko saja mereka bingung. Karena mas yang di depan meminta mereka untuk menitipkan tasnya. Mereka malah memeluk erat tasnya. Antara tidak tahu dan miss-komunikasi.

'Encik, kenapa orang ini ingin ambil torang pe tas?'

Ohh yaa Allah. Saya mengulangi kesalahan yang sama. Tidak menerangkan even itu hal yang  terkecil. Saya menerangkan tempat itu adalah penitipan barang. Dimungkinkan mengindari hal-hal yang tidak diinginkan, contoh mencuri.

'Tapi, torang nyanda mau mencuri.' Akhirnya memang butuh kesabaran khusus menerangkan lebih panjang. Dan akhirnya mereka menitipkan barangnya. Hanya berbekal uang secukupnya kami masuk ke dalam. Tujuan pertama ke lantai dua yaitu tempat perlengkapan buku. Tempat stationary begitu. Ada yang memebeli serutan, beli sampul buku, dan salah satu muridku beli gunting cukur rambut. Saya tertarik untuk bertanya.

'Kenapa ngana ada beli itu gunting?' 'Mau buka usaha gunting rambut di pulau, Encik' sambil tertawa.

Hahaha, saya menanggapi dengan tertawa juga. Ketika selesai, wajah mereka tampak bingung. Mereka berkumpul mendekati saya.

'Kenapa?'

'Kita nyanda tahu dimana mau bayar Encik'

Dan kesalahan lagi terulang. Ternyata mereka tak tahu apa kasir itu. Akhirnya saya menerangkan. Mereka mengangguk mengerti. Lalu mereka pergi sendiri ke kasir dan saya mengawasinya saja. Yess! Berhasil..

Kejadian lucu terulang, dari lantai dua ke lantai 3 ada eskalator. Muridku menyebutnya 'tangga berjalan buat pusing' mereka mencoba satu2.. Ada yang kakinya bergetar, tangannya berkeringat dan bingung meloncat ketika akan sampai.. Namun akhirnya mereka semua bisa setelah mencoba berkali kali, walaupun harus dilihat petugasnya. Saya cuek saja. Selama tidak merusak, go on!

Kami turun ke lantai satu. Surganya makanan ringan. Muridku saya  biarkan berputar begitu saja sambil kusuruh bawa keranjang..

'Ingat, beli secukupnya ne. Ngana pe uang harus simpan baik-baik.' pesanku ke mereka.

'Kita mau beli adek pe susu. Tadi mamak ada suruh.' Okee saya terima.

'Encik, kita pe doi (red. Uang) so abis. Kita ikut encik saja neh.' Heheeh, saya hanya belai kepalanya.

Hampir setengah jam di dalam lantai satu. Kulihat dari jauh muridku hanya liat-taruh, liat-taruh, kadang meminta pendapat temannya. Dan ketika saya  menunggu di kasir, mereka akhirnya selesai berbelanja juga. Keranjangnya hanya berisi Dua milkuat, dua bungkus tanggo, satu buah beng-beng belanjaan 3 orang. Mbak kasirnya hanya tertawa, ketika total belanja mereka 18 ribu tapi muridku membayar uang dua puluh ribu dan lima ribu. Terlihat sekali semacam urunan di lorong belanja tadi.Saya biarkan saja. Belajar tanggung jawab dan mandiri atas hal yang mereka ambil.

Meninggalkan Megaria dengan perut kerocongan. Akhirnya ku bawa mereka ke tukang bakso langganan. Langganan karena yang jual orang jawa. Disana saya pesan bakso untuk keenam murid saya dan saya. Mengakrabkan dengan cara berbicara jawa dengan mas jualan bakso itu.

'Mas, tuku bakso pitu yoo.'

'Muride sampeyan ta mbak? Kok kendhel gelem di jak nang ndi ndi'

Murid saya bengong liat saya berbicara dalam bahasa saya. Mereka coba mereka-reka artinya. Dan tersenyum sendiri. Karena saya juga kadang menjelaskan bahasa jawa ke mereka.

Satu mangkok berisi satu pentol besar isi telur dan 5 pentol kecil, satu bakwan, dan full mie. Mereka terbelalak lihat porsinya. Brando muridku memimpin doa. Orang di sekitar menertawakan. Namun saya bangga kepada mereka. Saya membiarkan saja. Lalu dengan lahap mereka menyantap baksonya setelah kata amiinn di akhir doanya.

Lapar sekali bathinku. Memang. Dan dalam hitungan 30 menit semua habis. Mengusap perut dan bercerita tentang kegiatan pagi ini. Hujan melengkapi siang itu. Di sela itu, ibu kepala sekolah saya telpon 'Encik, anak2 nakal tidak?' Saya hanya senyum. 'They are all fine! And great' batinku dalam hati.

Hal lucu lagi, setelah makan muridku segera mengumpulkan mangkoknya, lalu bertanya ke masnya 'Mas, tempat cuci piring dimana?' Saya mau nangis hari itu. Benar-benar haru. Masnya hanya senyum sambil bilang, 'Dek, ditaruh disana saja, nanti mas yang cuci.' Muridku tertawa.

Setelah beranjak dari tempat makan kami menunggu angkutan kota yang akan membawa kami kembali ke pelabuhan menuju pulau. Di tengah jalan, mereka sibuk menulis. Entah menulis apa. Ada yang membaca surat balasan dari temannya yang di Bima dan Bawean ada juga yang membaca majalah. Semua masih semangat.

Sampai akhirnya kendaraan datang, cerita tak pernah habis, ketika pak sopir bertanya ini itu. Entah apa yang di benak mereka pikirkan.Di dalam kendaraan, mereka lelap dalam tidur. Sampai akhirnya kami sampai di pelabuhan lalu menyeberang kembali ke pulau.

Di ujung dermaga, orang tua mereka sudah menunggu. Dan sesampainya di pulau mereka bercerita banyak kepada mamaknya. Mamaknya senang sekali sekilas saya  pandang. Lalu salah satu muridku tadi berkata, 'Encik kaseh neh.. Torang senang hari ini. Kalau Encik nanti so di jawa, jangan lupa akang kami yaa.' Saya haru.. Sedih dengernya. Muridku yang rumahnya jauh tiba2 bilang, 'Walaupun satu hari Encik, torang senang sekali. Kaseh neh Encik. Ketemu besok di sekolah minggu nee.'

Saya mengangguk.Saya yang paling akhir meninggalkan dermaga. Melihat muridku pergi bersenandung, melihat mereka bercerita dengan orang tuanya membuatku hanyut dalam haru. Kenapa tidak dari dulu saja seperti ini??

Bukan hanya mereka yang belajar. Saya pun belajar banyak hari itu. Mendidik itu bukan hanya di sekolah, kadang dari hal kecil yang mereka tak tahupun jika ditanamkan dari kecil akan berbuah kenangan keingintahuan yang akan tumbuh seiring dengan pemikirannya sendiri. Pengalaman tidak kalah penting dari ilmu itu sendiri. Namun pengalaman dan pengetahuan tidak berarti apa2 kalau tidak dilengkapi cinta. Saya cinta bagaimana tatapan matanya meminta saya untuk menerangkan ini itu. Saya cinta mereka, ketika mereka membuatku harus belajar lebih baik. Saya cinta mereka, ketika segala niat bisa mereka lakukan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Dan yang paling penting, kita tidak tahu apa yang terjadi jika tak pernah memulai.

Maka dari itu, jika Allah berkenan memutar episode hari itu, saya ingin merekamnya dan melihatnya sekali lagi, biarkan murid-muridku yang lain juga melihat, dan kalian yang membaca juga melihat.

Moment ini tak akan terlupa. Kinda memorable and priceless time with my students.

--journey to Tahuna with astria,vero,rinto,brando,idad and fanly-- --someday you will know why I admire u all--

Your teacher,

Furi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua