info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Atas Nama Hiburan

Milastri Muzakkar 13 Juni 2012

Bisa dibilang semua orang butuh hiburan. Dari orang kaya hingga miskin, orang kota hinga desa. Di kota, hiburan berterabaran. Berbagai macam tempat dan jenis hiburan tersedia di kota. Tinggal pilih, mau ke cafe? Nonton bisokop atau konser?, cuci mata di mall? Wisata ke taman kota atau ke dufan? dan masih banyak lagi. Tapi tipe yang ini mungkin hanya dijangkau oleh kelas menengah ke atas. Sementara kelas bawah mungkin akan mengunjungi bioskop tiga ribuan di Pasar Senen, ke Ragunan, atau ke pasar Tanah Abang.

Lalu bagaimana dengan di desa? Paling standar nonton tivi di rumah, ke pasar malam, atau sekedar mendengarkan radio yang memutar lagu-lagu dangdut. Pun kalau semua itu ada. Bagi desa yang akses listriknya terbatas, sinyal terbatas, masyarakat dengan pendapatan ekonomi di bawah rata-rata, belum tentu bisa leluasa menikmati hiburan yang standar itu.

Hiburan dan Karakter Masyarakat

Perbedaan hiburan itu ternyata membentuk karakter dan kebiasaan yang berbeda pula. Karena banyaknya hiburan di kota, dengan atau bahkan tanpa dicari, hiburan menjadi sesuatu yang tidak terlalu urgent. Sebagian besar orang mencari hiburan dikala sumpek dengan segala rutinitas pekerjaannya. Artinya, tidak selalu menjadi prioritas.

Di desa Kepayang, tempat saya hidup selama empat bulan ini, hiburan menjadi hal yang sangat urgent bagi masyarakat. Mungkin karena keterbatasan yang disebutkan di atas. Mesin lampu (mesin perseorangan) yang hanya hidup pada pukul 18.00 malam-06.00 pagi, membuat masyarakat hanya bisa menonton tivi (bagi yang punya tentunya) pada jam tersebut. Sinyal yang redup redam membuat orang tidak puas menelpon di semua tempat (hanya tempat-tempat tertentu).

Tak ada gedung bertingkat, hanya ada “rumah Walet” yang lumayan menjulang tinggi. Ada dua rumah beton, satu milik anak Pak Kades yang kebetulan punya perusahaan (CV). Yang satu lagi milik bos mesin lampu. Selebihnya hanya anak sungai Musi yang terbentang luas, dengan pohon-pohon yang sudah hampir habis ditebang untuk dijadikan lahan perusahaan (PT).

Kemungkinan lainnya adalah, karena heterogennya masyarakat (95% pendatang) yang melahirnya banyaknya kultur yang berbeda. Kebiasaaan dan nilai-nilai dari masing-masing daerahnya tak lagi tampak. Tapi melebur menjadi kebiasaan baru khas desa Kepayang. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai tukang kayu, buruh PT dan petani.

Dua Hiburan “Mubarok”

Beruntunglah ada dua hiburan besar bagi masyarakat. Yang pertama adalah orgen/orkes, jika ada orang berduit yang mengadakan acara pesta pernikahan. Kedua, pasar di sepanjang jalan depan sekolah, setiap hari Rabu. Pada hari pasar, orang-orang akan memadati jalanan, membeli keperluan untuk seminggu ke depan.

Nyatalah, anak-anak sekolah pun tidak bisa fokus belajar, mereka lebih banyak berkeliaran di pasar. Ironis memang, tapi apa mau dikata lingkungan seakan memberikan pemakluman atas semua itu.

Yang lebih menarik adalah pada acara orgen. Biasanya lapangan sekolah menjadi tempat dibangunnya panggung orkes. Dari pagi hingga pagi kembali, keriuhan menyelimuti seantero desa Kepayang. Tanpa perlu dibahas, jelaslah bahwa hari itu anak-anak kembali tidak konsen belajar.

Menariknya, di acara orgen ini ada namanya sistem lelang. Bagi yang ingin menyanyi atau berjoget di panggung, harus mendaftar ke panitia lelang dengan nominal minimal 100 ribu rupiah. Yang paling tinggi nominal lelangnya, akan diberikan kesempatan pertama untuk bernyanyi. Begitu seterusnya. Setiap pelelang akan diberi kue bolu atau paket ketan dan ayam.

Sebenarnya ada nilai yang terkandung dalam sistem lelang ini, yaitu kegotong-royongan. Setiap pelelang akan dicatat namanya dan hasil dari lelang itu diberikas ke pemilik pesta untuk membantu/mengembalikan biaya pesta. Semacam sistem barter, ketika suatu saat pelelang berpesta, sipemilik pesta juga akan melakukan lelang yang sama. Namun, di sisi lain, sistem lelang juga menjadi ajang penampakan status sosial. Semakin tinggi nilai lelang, semakin menunjukkan kekuatan dan kekuasaan seseorang.

Dari pagi hingga pukul 23.00 WIB, lagu-lagu yang diputar masih dangdut biasa. Anak-anak tak ketinggalan menjadi penonton sekaligus penjoget setia di atas panggung. Pukul 00.00 WIB, suasana pun mulai berubah. Yang tadinya khas dengan suara mendayu-dayu dengan alunan dangdut, menjadi lagu remix yang diikuti dengan goyangan "On". Semakin malam, suasananya semakin dahsyat.

Dua hiburan di atas kadang-kadang belum juga cukup. Masih banyak yang mencari hiburan lain yang bisa lebih dari dua hiburan di atas. Yah..., begitulah kira-kira kehidupan di sini. Makanya saya menyebut desa ini seperti kota. “Desa ini biasa disebut Singapura”, kata pak Kepala Desa suatu hari.

Ironis? Iya. Tapi alangkah lebih bijak jika kita mencoba melihat konteksnya. Sembari tetap melakukan usaha-usaha perubahan yang lebih baik. Mulai dari yang sederhana saja, misalnya mendidik anak-anak di sekolah.


Cerita Lainnya

Lihat Semua