Perjalanan (untuk) Pulang

Furiyani Nur Amalia 24 Juni 2012

Mengemas malam, merangkai kenangan, mengusap tangis dan asa, mematri memori dan termenung mengingat tapi bukan meratapi. Hari ini adalah perjalanan terakhirku menuju pulau Beengdarat, sebelum akhirnya aku harus kembali mengemban tugas lainnya entah di tanah mana. Hamparan laut dan bentangan pulau yang begitu indah terpampang jelas di depan mataku, dimana aku duduk di perahu yang membawaku kembali ke pulau ini. Bukan untuk yang terakhir, tapi terakhir untuk saat ini.

Teringat betapa satu tahun lalu, pulau ini masih begitu asing bagiku, entah siapa dia, entah siapa tetangga atau bahkan muridku. Datang sebagai orang baru yang tidak tahu menahu apa-apa soal ini. Kalau hanya membawa misi mencerdaskan anak anak bangsa atau membawa misi perubahan rasanya tidak pantas dan tidak cukup dikatakan. Pulau ini terlalu indah, terlalu besar, terlalu terkenang sampai aku harus tahu kenapa Allah menaruhku menjadi bagian pertiwi di Beengdarat ini. Setiap hempasan, jalan, indahnya hutan, kicaunya burung, gemercik air, teriakan murid, kasih sayang tetangga dan orang tua angkatku, toleransi masyarakatnya, segala canda, tawa dan duka sudah pernah menjadi bagian prasasti di memoriku. Aku sayang pulau ini. Berat rasanya meninggalkan pulau ini dengan segala kekayaan, keragaman dan keunikannya. Pulau ini tidak se-terpencil seperti yang dielukan memang, pulau ini tidak se-terbelakang seperti yang sering disebutkan. Tetapi pulau ini menyajikan segala kelebihannya dalam bentuk sederhana yang terkesan kecil dan tertinggal.

Setahunku bukan apa-apa dibanding orang-orang yang sudah turun menurun dan mendarah daging disini. Sampai detik tadi dalam perjalananku kembali ke pulau ini, aku masih belum menemukan jawaban, kenapa hanya ‘setahun’ disini? Bagaikan teh kantong yang dicelupkan ke segelas air putih, didiamkan sejenak, maka berubahlah warnanya. Aku tidak tahu, apakah keberadaanku memberikan rasa manis, tawar atau bahkan pahit bagi sebagian orang yang meminumnya. Namun, bagi teh kantong itu sendiri, selalu berharap walaupun harus sebentar tercelup di air yang panas atau hangat, semoga yang meminumnya dapat melepaskan dahaga dan sebagian penat bagi yang meminumnya.

Aku bukan lilin seperti yang dielu-elukan banyak orang, aku bukan pelita yang banyak dipakai orang-orang untuk menerangi jalan, aku masih serupa bongkahan bambu yang bersumbu, dimana perlu dilumuri minyak dan dipantikkan api dari sini untuk bisa menerangi. Bambu ini tidak bisa bisa berjalan sendiri jika tidak dirangkai bagus dan dipegang bersama dengan orang lain. Setahunku disini mampu bertahan dan berkembang berkat kasih sayang dan rasa saling memiliki orang-orang disekitar.

Sampai akhirnya ketika aku menjejakkan kakiku di pasir putih pulau ini, aku menyadari ada kehadiran sosok baru yang sudah siap untuk menggantiku. “Mengapa harus satu tahun” terjawablah sudah. Aku menyadari bahwasannya, sampai lima tahunpun kehadiranku disini, bisa saja tidak menghasilkan apa-apa, atau mungkin penat dan lelah yang kudapati. Itulah kenapa aku membutuhkan ‘tim’, sebuah tim untuk 4 tahun ke depan, yang bisa bekerja bersama, untuk bersama-sama membangun pelita, memajukan pulau ini sedikit demi sedikit. Legalah perasaan ketika aku tahu, masih banyak anak negeri ini yang mau turun tangan langsung ke tempat ini. Berharap  4 tahun ke depan, kita semua, entah siapa lagi yang menggantikanku menjadi tim yang baik. Amin.

 

Malam ini, bapak angkatku menyiapkan ikan sebanyak-banyaknya dan yang paling enak pernah beliau buat, ibuku menemaniku melipat bajuku ke dalam koper, dengan mengucap janji dan pesan untuk tidak akan pernah lupa akan pulau ini, untuk kembali berkunjung ke pulau ini. Adik angkatku memberikanku pelukan dan kecupan di pipi, sambil bertanya kapan aku akan kembali.

Aku tidak tahu kenapa air mataku mudah sekali meleleh ketika harus berjabat tangan, mengucap kata pamit, sembari berpeluk sambil mengucapkan janji umur panjang sehingga bisa kembali ke pulau ini. Perjalanan pulang memang tak semudah perjalanan datang. Oleh-oleh kenangan yang tidak pernah terganti walau hanya kue dari sagu, ikan asin, atau perahu dari batang pohon disini, mengungkapkan segala sayang mereka kepadaku.

Malam ini, aku berkemas, memasukkan foto-foto muridku yang aku sayang dan akan selalu kurindukan keberadaannya. Entah bagaimana mereka menganggap keberadaanku yang terlalu cepat berlalalu dari mereka, namun kehadiran mereka yang pernah mengisi segala ketegaran hidupku, memacu kekuatan sendiri bagiku, bahwasannya mereka banyak berjasa dalam hidupku. Aku berharap kelak aku bisa menilik mereka lagi.

Segala yang penuh dengan kehangatan dan dimana aku menjadi nyaman di dalamnya, maka kusebut itu rumah. Dan Beengdarat akan selalu menjadi rumah keduaku dimana insyallah suatu saat nanti aku akan kembali kedalam keindahan pulau ini.

Beengdarat, 24 Juni 2012. Counting down. Di tengah malam, dimana baru kali ini rasa berat meninggalkan pulau ini.

-furi-


Cerita Lainnya

Lihat Semua