Lagi, Tentang Teori Kerukunan
Furiyani Nur Amalia 22 Juni 2011
Sayup nyiur menemani lelah siangku beristirahat di bawahnya. Sudah sampai ujung penat dan dahagaku untuk segera kurebahkan badan ini setelah seharian bermain dengan murid-murid juga naik turun bukit dan gunung. Tapi bukan kasur yang aku pilih sebagai tempat rebahan siang ini. Namun sandaran baru yang nyamanberhasil berhasil kutemukan setelah 4 hari ku injakkan di bumi Beeng. Ya di bawah nyiur besar, agak tua, dan batangnya kuat condong menjorok ke arah pasir putih laut ini, aku bersandar ditemani 4 buah kelapa muda, laptop di depanku dan Bule, anjing keluarga piaraku. Hari Minggu ini, bagi masyarakat Beeng adalah saat berkumpul keluarga dan masyarakat. Bagi masyarakat Beeng, ada ritual hari Minggu adalah hari pantai, dimana semua keluarga berkumpul, membawa bekal dari rumah untuk di santap bersama di bibir pantai sambil menikmati amboinya hempasan nyiur dan ombak. Tapi aku habiskan waktu Minggu bersama murid-muridku dan remaja di sekitar yang kebetulan adalah saat libur sekolah. Hari Minggu pertama aku di Beeng. Hari Minggu yang menjadi awal pijakan kegiatan yang mungkin akan saya tunaikan setahun kedepan.
Baru saja kemarin saya bicara mengenai teori kerukunan yang berhasil saya temukan dan saya terapkan dari masyarakat Beeng. Hari ini, saya mendapatkan pelajaran yang serupa namun lebih luar biasa. Perkenalanan saya dengan masyarakat sekitar sudah sampai sebatas tahu dan kenal. Saya sudah pernah singgah ke rumah masyarakat atau sekedar bermain dengan murid-murid. Hanya sekedar berbincang, menyantap kue atau teh manis yang disuguhkan bahkan bertukar cerita mengenai kegiatan saya, apa yang saya lakukan selama setahun di desa mereka atau saya ingin tahu apa saja kesibukan mereka. Sebentar singgah, namun saya merasa dekat. Kedatangan saya serasa selalu ditunggu keesokan harinya, apalagi kalau lewat di depan rumahnya. Hingga pada pagi tadi ketika bapak piara saya membangunkan saya sholat subuh, beliau mengatakan bahwasannya kemarin masyarakat sekitar banyak meminta saya untuk berpidato sebentar di depan jemaat gereja, sekedar ingin berkenalan dengan semua masyarakat disini. Karena masyarakat yang di balik gunung masih belum kenal siapa saya. Dan kesempatan berkumpul terbesar masyarakat disini adalah setiap hari Minggu, saaat ibadah di gereja. Kata bapak, Bapak Pastor sendiri yang meminta atas nama masyarakat agar saya mau memberikan sapaan sepatah dua kata setelah jemaat selesai. Jujur, ini merupakan pengalaman yang baru bagi saya. Segera kusimpuhkan badan ini menghadapNya, betapa saya bingung apa yang harus saya lakukan nanti. Ini kali pertama saya masuk gereja dan itu harus berpidato di masyarakat yang baru. Apresiasi yang luar biasa menurut saya. Tapi saya masih canggung.
Hingga fajar menyingsing pun, saya masih bingung, kalimat awal apa yang harus saya ucapkan, kalimat penyemangat, entah kalimat apa lagi. Selang berapa saat murid-muridku yang hendak sekolah minggu memanggil saya dari kejauhan, menagih janji untuk tampil di jemaat gereja pagi ini. Saya hanya berteriak menanggapi setuju. Pikiran masih kosong. Tepat jam 9, setelah sekolah minggu usai, murid-murid menjemput dan mengantar saya ke gereja. Ibadah pun dimulai, namun saya hanya menunggu diluar, bercerita berfoto atau sekedar privat bahasa Sangir ke mereka. Saya pasrah dengan apa yang hendak saya ucapkan nanti. Tiba setelah puji-pujian akhir, saya dipanggil bapak Pastor dan di persilahkan untuk masuk gereja dan ke mimbar. Sekilas ada yang menyapa saya, melemparkan senyum kepada saya. Dan wajah mereka tidak asing. Namun ada juga yang hanya diam, mungkin bingung dengan kehadiran wanita berjilbab ke dalam gereja. Setelah pastor memberi salam pembuka, beliau menerangkan tentang agenda kegiatan ibadah dan kegiatan desa yang akan dilakukan sebulan kedepan, lalu memperkenalkan dan mempersilahkan saya untuk memberikan sambutan. Keringat dingin mengujur, tangan gemetar memegang mic. Tidak ada keterampilan bagi saya untuk memberikan semacam perkenalan di tempat peribadatan yang asing bagi saya. Antara takut dan bingung. Berpikir cepat dan tanpa menunggu lama, saya segera memperkenalkan diri. Semua tentang latar belakang sampai saya sampai di tempat ini. Sebagian yang sudah kenal mengangguk angguk, yang belum kenal hanya tersenyum sambil menyimak. Lega. Tepat di pertengahan saya berkenalan, saya bersin. Serentak di dalam gereja mengucapkan "SELAMAT". Saya bingung. Hanya tersenyum. Tak lama lagi setelah saya melanjutkannya, saya bersin lagi, dan mereka menjawab "SELAMAT". Dan itu serentak. Saya kaget, antara bingung dan tidak tahu. Lima menit kemudian saya bersin lagi, dengan lantang mereka mengucapkan "SELAMAT SEJAHTERA dan SENTAUSA". Saya menahan tertawa sambil mengucap terima kasih.Hahahah, budaya yang asyik :)
Selama saya bercerita di depan, mereka mendengarkan dan bertanya yang penuh bercandaan khas mereka. Selain itu, masyarakat meminta saya untuk mengajar kegiatan remaja, juga mengajari bahasa inggris. Saya tidak keberatan. Pada saat saya ingin mengakhiri, masyarakat meminta saya untuk mengajar di SMP Satu atap yang ada di ujung gunung pulau ini. Sekali lagi saya menyanggupi. Pastor berdiri. Saya rasa ingin memberikan penutup. Namun, firasat saya salah. Pastor mengajukan permintaan kepada saya apa saya bersedia jika setelah ibadah minggu, saya memberikan sedikit keteladanan bersama masyarakat penganut islam yang lain, di mimbar tempat kosong samping gereja ini. Saya tidak bisa menjawab. Setahu saya yang sebaiknya memberikan petuah adalah para pemuka agama yang saya rasa seorang Furi jauh dari sebutan pemuka. Bermusyawarahlah mereka dengan bahasa yang masih asing di telinga saya. Saat itu tidak ada teman yang harus dimintai pendapat. Terlalu lama juga meminta pendapat ayah atau teman saya yang tau masalah agama ini, apalagi sinyal hape hanya sebatas 2 strip dari bawah. Tidak mungkin juga saya harus konfirmasi via telpon, sedangkan yang lain menunggu saya. Mereka tetap setuju akan kegiatan ini dan masih menunggu keputusan saya. Atas segala niat baik, niat kepada Tuhan saya Allah SWT, saya mengiyakan pendapat masyarakat. Semoga tindakan saya selalu di ridhoi dan di berkati. Kegiatan rutin tiap minggu. Mungkin sampai satu tahun kedepan. Kekhawatiran saya terbalas dengan senyum dan tepuk riuh masyarakat di dalam gereja. Pengalaman baru bagi saya. Semoga menjadi teladan yang baik.
Di bawah nyiur ini, menata hati dan nafas, kembali saya belajar, apa itu kerukunan umat beragama. Bahwasannya, kerukunan harus berjalan secara dua arah. Jika hanya berlangsung satu arah, bukan rukun, namun menggurui atau hanya melakoni. Namun jika dua-duanya berjalan sejalan dua arah, itulah yang dinamakan kerukunan. Teori yang kemarin, yang saya jelaskan bagaimana masyarakat disini menerima manusia baru, saya, yang menjadi agama minoritas disini dengan diterima baik menjadi masyarakat disini. Teori hari ini, adalah bagaimana manusia baru tersebut melakasanakan penerimaan baik masyarakatnya agar terjadi hubungan timbal balik yang saling baik. Kalau kata band padi, menuju harmoni. Semoga menjadi harmoni yang baik selama setahun kedepan.
Saya tidak bisa meminta kepada masyarakat disini. Sekali meminta saya mendapatkan jauh dari yang saya kira. Pagi sebelum ke gereja, saya nyeletuk kepada murid saya, kalau ingin sekali menikmati kelapa muda dan ikan bakar di bawah pohon kelapa. Dan sekarang ada 6 kelapa muda siap minum, 2 saya kasih orang tua di rumah. Di temani 4 ikan sako bakar ditambah hembus nyiur yang sepoi-sepoi. Asli hasil panjatan dan tangkapan murid-muridku.
Minggu siang, Spot 3, di bawah nyiur tua. Furi melaporkan :)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda