Blackberry VS Mito 3 Speaker

Furiyani Nur Amalia 25 Maret 2012

 

Blackberry VS Mito 3 Speaker

Jangan dikira saya akan me-review tentang rubrik Gadget seperti yang ada di majalah-majalah  yang membandingkan tentang spesifikasi dua handheld yang menjadi acuan konsumen untuk dibeli. Tetapi disini saya ingin berbagi tentang perbandingan lain blackberry dan mito di sisi yang lain pula. Namun sebelumnya, saya hendak bertanya dulu kepada Anda, jika Anda mempunyai cukup uang untuk membeli, mana dari dua handphone tersebut yang akan Anda beli? Pasti Anda akan menjawab, bergantung kepada kebutuhannya dan bergantung pada kondisi keuangan juga kan?

Saya sangat terinpirasi dengan murid saya yang bernama Rinto ketika saya hendak menulis tentang Blackberry Vs Mito 3 Speaker ini. Murid saya RInto ini terkenal ‘Jagoan’ di sekolah. Guru-guru dan murid semua mengakuinya. Walaupun dia kadang agak kasar kepada teman-temannya, namun saya melihat dia murid yang bertanggung jawab dan mau mengakui segala apa yang telah dia perbuat. Dia anak sulung, tanggungjawabnya kepada keluarganya sangat besar mengingat kedua adiknya masih kecil dan bapaknya hanya bermata pencaharian sebagai nelayan. Jadi, setelah pulang sekolah dia ‘bekerja’ lagi sebagai pengangkut pasir. Kebetulan di pulauku ada proyek PNPM mandiri dalam rangka pembuatan jalan ke dusun 3 menuju masjid. Dia pernah bercerita kepada saya, uang yang dia dapat akan dibelikan sesuatu untuk dirinya yang dia impikan dan sandal untuk bapak dan kedua adiknya. Saat itu saya tidak mengindahkan ‘sesuatu’ yang akan dia beli itu. Pastinya, saya meminta pertanggungwabannnya juga, walaupun dia bekerja, namun apa yang menjadi kewajibannya di sekolah harus bisa dilakukan imbang dan dengan baik. Dia menyanggupi. Dan sampai sekarang, masih dalam kontrol yang baik.

Pada suatu hari, ketika saya mengajar di kelas 2, salah satu muridku dari gedung sebelah melapor bahwasannya kelas 6 sangat ribut, karena Rinto membawa speaker. Saya tidak  tahu apa terjemahan dari speakerseperti yang di laporkan murid saya. Karena memang di sekolah tidak ada listrik dan juga tidak mempunyai speaker. Saya mencoba menterjemahkan lain, mungkin speaker yang muridku maksud adalah suara yang keras seperti speaker yang mengganggu kelas disampingnya. Selang beberapa saat pergilah saya ke kelas 6. Dan dari jauh sudah terdengar keributan apa yang dimaksud. Musik disko khas sangir mengalun keras, bahkan sampai luar sekolah terdengar sangat jelas. Saya dekati kelas 6, bukan hanya musik yang keras, namun Rinto sudah bergoyang khasnya mengikuti alunan lagu. Ya, ternyata benar, dia menyalakan speakernya keras-keras.  Melihat saya dia lalu mematikan speakernya. Kembali saya tanya lagi pertanggungjawbannya.

Entah beberapa hari kemudian, ketika saya mengadakan les di sekolah, sengaja saya membawa handphone walaupun saya tahu di sekolah tidak akan ada sinyal. Mungkin hanya mencocokkan to do list dan jadwal murid-murid saya. Ketika les selesai, saya terlibat pembicaraan serius dengan Rinto, entah kenapa saya begitu sungguh-sungguh menanggapinya.

“Apa Encik pe merek hape dank?” saya langsung menyodorkan handphone saya

“Sama neh dengan yang ada di TV, itu dank Agnes Monica pe hape.” Saya maklum mungkin karena saya yang tidak update atau bagaimana , apa memang model blackberry sekarang sudah sama persis dengan hape yang ada di iklan TV. Saya hanya tersenyum saja.  Biarkan dia berfikir.

“Encik, kita pe hape lebih baik dari pada encik punya. Kita pe speaker ada 3. Depe suara jernih kong keras keras sekali. Memori ada 2 giga. Ada kabel data buat kirim lagu. Ini juga sering muncul-muncul di iklan TV.” Saya tersnyum, lantas saya tanggapi sekenanya.

“Apa itu memori 2 giga?”

“Enggg, buat simpan lagu”

“Terus, guna kabel data?”

“Buat kirim lagu banyak-banyak dari komputer toko. Sekarang kita pe lagu ada 50 lebih, Encik”

Saya hanya manggut-manggut.

“Ngana pe hape bisa ba-sms?”

“Bisa, Encik. Kong, kita nyanda biasa ba-sms. Nyanda punya pulsa kita. Jadi buat dengar lagu saja so bagus.”

Bahkan murid saya pun tidak tahu esensi kebutuhan dari sebuah handphone. Baginya handphone hanya sebagai penyimpan lagu. Maka tidak pusing bagi dia jika ada atau tidak signalnya. Entah itu bentuk sinyalnya GSM atau EDGE, bahkan mereka pun tidak peduli :D

Beda lagi dengan adik sepupu saya. Waktu kemarin cuti, saya bertemu dengannya. Dan Allahu Akbar, handheld yang dia punya sudah melebihi apa yang saya punya. Namun saya tidak kaget, karena ternyata kurikulum di sekolahnya juga menunjang bahsawannya untuk mempermudah pekerjaan muridnya, handheld itu akan sangat membantu. Dan poin utamanya adalah orang tuanya sanggup untuk membelikan. Dari saat itu saya berkata pada diri saya, haruskah ada kesenjangan macam begini? Kenapa murid saya tidak bisa menikmatinya juga?

Diantara murid-murid saya, Rinto adalah salah satu anak yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Pada suatu saat ketika saya membawakan salah satu majalah anak-anak ke perpustakaan, tiba-tiba dia tertarik pada suatu sayembara di salah satu majalah. Dan didalamnya ada tulisan, “cantumkan alamat email jika ada. Lengkapnya bisa dilihat di www.kidnesia.com. ”spontan dia bertanya.

“Email, encik?? Sama dank dengan kita pe pelajaran IPA?? Apa ini www.kidnesia.com Encik?” kontan saya menjawab,

“Ini e-mail atau elektronik mail. Surat elektronik. Kalau www.kidnesia .com itu alamat di internet dari majalah ini.” Pandangannya kosong. Dan saya tahu dia tidak paham. Akhirnya saya terangkan dengan bahasa mereka apa surat elektronik yang akhirnya harus menyambung tentang internet. Dan bahkan internet pun mereka masih belum jelas apa itu. Dan sampai sekarang walaupun sedikit demi sedikit saya praktikkan , saya yakin mereka masih belum tahu. Mereka tahu bentuk komputer. Mereka tahu bagaimana menyalakannya. Namun bagi mereka komputer tidak lebih dari mengetik dan mengeluarkan gambar seperti di TV.

Ya, inilah perbandingan yang saya ingin bagikan. Kadang mereka juga merasa, sesuatu tidak dibutuhkan karena mereka tidak tahu dan mereka tidak punya juga tidak mampu memilikinya. Namun, apakah selamanya kesenjangan tetap kesenjangan?

Rinto membeli Mito speaker 3 nya dari uangnya sendiri hasil dari menguli yang sisanya ia tabung. Di akhir percakapan saya mengenai Mito dan Blackberry, dia menegaskan

“Kita pe hape Encik, so jatuh 3 kali dari bukit dan masuk air laut sekali tapi nyanda rusak. Encik beli hape yang sama deng kita saja!”Dia menjelaskan sambil  memamerkan hapenya.

Bagaimanapun juga Mito tetaplah mito, blackberry tetaplah blackberry. Kadang terbesit dipikiran saya, kapan anak-anak ini mempunyai kemampuan yang sama untuk mempunyai teknologi yang ada di sana? Atau memang di buat tidak bisa? Jadi, kesenjangan itu memang diciptakan ya? Ah, apapun itu saya bangga dengan mereka yang tidak berhenti ingin tahu dan tidak berhenti mau tau :)

 

Furi-beengdarat

 

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua