info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

#2. My Student is My Hero : Mendayung di Tengah Hujan Badai

Furiyani Nur Amalia 15 Agustus 2011
Memori ini pasti masih melekat di pikiran saya. Ya, baru saja berlangsung 4 hari yang lalu,11 Agustus 2011. Sangat menyenangkan, menakutkan dan menjadi pengalaman yang benar-benar baru bagiku. Bersama muridku menemukan ‘sesuatu’ yang akan teringat selalu. Tanggal 11 Agustus 2011, mungkin yang pertama bagi muridku kedatangan seorang tamu dari negeri jauh di seberang, ke pulau ini yang namanya tidak tertera di peta, kecuali peta TNI dan peta Indonesia skala besar. Ya, kenapa saya bilang begitu, karena tamu saya ini bilang, kalau nama pulaunya tidak tercantum di search engine google maps. Sebelumnya saya berjanji pada muridku, beliau akan datang dan akan berada di pulau ini selama dua hari. Saya juga mengatakan,kalian boleh mengajaknya bermain, entah mendaki gunung, memancing ikan di laut, snorkling melihat ikan di bawah laut, mengambilkan dia kelapa muda, mendayung perahu kecil, atau bisa juga kalian belajar bahasa inggris ke beliau. Wajah muridku?? Luar biasa, seperti anak kecil yang dijanjikan akan dibelikan mainan oleh orang tuanya. Wajah mereka berbinar dengan senyum ceria, membayangkan sosok yang akan datang besok siapa. Sampai malam sebelum kehadiran tamu saya ini datang, mereka setiap belajar malam, selalu menanyakan “Apa besok jadi datang temannya Encik?” Tidak saya ceritakan disini kehebohan warga di pulau seberang ketika saya menjemput tamu ini. Dan juga tidak saya ceritakan bagaimana riuhnya tanggapan kedatangannya ke pulau ini. Hanya satu yang saya bisa katakan “HEBOH”. Mulai dari pulau seberang ketika saya menjemputnya sampai kedatangannya di pulauku. Hari itu juga, saya tetap harus mengajar murid-murid, walaupun terlambat sekitar satu jam untuk menjemput tamu saya ini. Dan dia juga mau melihat kegiatan saya di sekolah dan keadaan murid-muridku pastinya. Sesampainya di sekolah, muridku benar-benar terpana, antara percaya tidak percaya, dia yang berwajah asing namun sedikit demi sedikit bisa bicara bahasa Indonesia. Setelah itu, dia berkeliling sekolah dan masuk ke masing-masing kelas, juga berkenalan dengan murid-muridku. Dan terima kasih Allah, dia mau membantuku mengajar di kelas 6. Karena saat itu ada 4 kelas yang tidak ada guru. Tidak butuh waktu lama mereka untuk akrab. Bahkan saya tidak tahu rencana apa saja yang mereka buat untuk kegiatan setelah sekolah. Karena ketika tamu saya ini izin pulang dulu untuk istirahat, murid saya sudah tidak konsentrasi belajar. Katanya ingin segera bermain dan menyusul tamu saya itu. Namun lagi-lagi saya mengingatkan ada ekskul sore ini. Tapi saya tidak tega ketika mereka memohon, “So selesai saja Encik belajarnya. Torang mau belajar besok dan besok. Torang mau diganti tatelu depe rumah Encik. Besok torang pasti boleh belajar pagi siang malam. Asal torang hari ini bermain dulu dengan dia. Boleh yoo Encik. Encik juga ikut noh bajalan depe cubi-cubi di air masin” Ah, saya luluh seketika. Liat sorot mata mereka dan semangat mereka untuk berkumpul membuat saya tidak tega. Baru kali ini aku melihat murid-muridku mengumpulkan teman-temannya untuk bermusyawarah rencana apa saja yang akan kami lakukan sore ini. Di ketuai oleh satu orang, Rinto. Dia melapor bahwasannya siang itu akan naik gunung, lalu ke pantai Poa, setelah itu ke pantai Tiwude, disana dia akan mengambilkan tamuku air kelapa muda. Setelah itu, barulah dia bermain perahu kecil mendayung ke pantai sebelah. Setelah itu memancing sampai sore. Malamnya mereka berjanji akan belajar di rumah saya, sebagai ganti jam pelajaran yang mereka tunda siang itu :) Tepat jam 12 mereka sudah siap di dermaga. Perjalanan menuju bukit, hutan sudah dimulai. Namun, melihat awan dan kabut yang mulai muncul sedikit mengubah rencana awal kami, karena di awal perjalanan kami jalan mulai licin dan sempat hampir terepeleset. Tamuku ini benar-benar menikmati suasana indahnya hutan dan pemandangan alam pulau ini dari atas bukit. Banyak gambar yang terekam ketika kami harus mengabadikan momen berharga. Setalah dari bukit, kami turun ke pantai Poa, pantai yang berpasir hitam halus. Suasana dengan angin sepoi sepoi, namun di ujung sana terlihat awan hitam sedikit lagi menghampiri pulau kami. Namun, murid-muridku tetap saja dengan semangatnya mengajak tamuku ini untuk naik ke gunung lagi sebelum nanti akhirnya mendarat di pantai Tiwude :). Jalan lagi kami ke atas. Dan saya harus berpegangan dengan murid-muridku karena memang saya sudah sering kali terpeleset melewati jalan itu. Ya, dugaan saya benar, lagi-lagi saya harus terpeleset. Di tengah perjalanan kami, rintik hujan sudah mulai turun. Rasa gusar sudah merasukiku. Petir dan awan tebal sudah terlihat. Tapi kami tetap berjalan, sampai akhirnya sampailah kami di pantai Tiwude. Hujan mulai turun, namun muridku masih semangat mengambilkan tamuku kelapa muda, lalu mengajaknya mendayung. Terlihat sekali, sungguh senang sekali murid-muridku ini, sambil menyantap kelapa muda. Sedang saya, masih kuatir karena hujan semakin deras dan angin kencang. Ketika datang muridku yang membawa perahu kecilnya, hatiku lega. Saat itu juga hujan mulai turun deras dan kami memutuskan untuk menunggu hujan reda, barulah kembali ke kampung. Sambil menunggu hujan reda, kami mengumpulkan sampah di sekitaran pantai. Lumayan lah dapatnya banyak. Ambil sampah sana sini, sembari menanti cuaca yang mau diajak bersahabat. Awan semakin hitam dan tebal, bahkan pulau yang diseberang pun tidak nampak. Sepertinya sebagian rencana kami gagal, hujan semakin lebat, guntur yang bergemuruh. Langkah pertama yang harus aku lakukan adalah menyelamatkan tamuku ini dengan perahu kecil muridku. Namun, ketika tamuku ini menaiki perahu yang dibawakan muridku ini, kayunya retak, sehingga airnya makin mudah masuk. Rencana menyelamatkannya, gagal. Terpaksa kami harus berteduh di salah satu rumah penduduk sambil membicarakan rencana yang akan kami lakukan supaya segera kembali ke kampung. Kami dihadapkan pada dua pilihan sulit. Hujan deras membuat kami mustahil kembali ke kampung dengan perahu. Karena pandangan kabur juga perahu tidak bisa didayung cepat. Selain itu ada ombak yang menggulung menuju pantai itu. Sehingga kalau kita memaksa, pasti akan tenggelam dengan mudah. Walaupun murid-muridku sudah biasa dengan keadaan ini, mereka tetap tidak mau beresiko membawa tamuku ini dengan perahu dayungnya. Salah satu jalan yang harus di tempuh adalah jalan naik bukit dan turun bukit dengan resiko kita harus hati-hati di tengah hutan karena jalan yang licin. Salah-salah jalan dan terpelesest sedikit kita bisa masuk jurang. Di tengah hujan badai kami berteduh, hari itu adalah momen yang paling aku suka dan paling aku cinta, dimana muridku begitu kompak membicarakan solusi apa saja yang harus kami tempuh. Dengan sedikit bercandaan suasana yang amat genting ini bisa sedikit ringan. Tentunya dengan hiburan dari tamuku ini dengan kameranya yang sengaja mengabadikan momen ini. Antara bercanda dan serius, bagaimana kami harus kembali dengan keadaan seperti ini dan harus melewati dua pantai. Pilihan pertama adalah kami mengangkut satu-persatu dari 18 orang ini dengan perahu kecil yang hanya tersedia 2 perahu. Ya ini akan memakan waktu lama, dan resikonya harus siap digulung ombak dan diterjang hujan. Setelah sampai di pantai Poa, baru kami jalan. Opsi kedua mereka berhasil memutuskan, bahwa karena ada 2 perahu, salah satu perahu mengangkut tamuku dan perahu satunya mengangkut saya. Sedang sisa yang lain harus berjalan di jalan selokan untuk menghindari jalan yang licin. Mereka berhasil memutuskan bahwa saya dan tamu saya yang harus diselamatkan,karena setelah itu saya harus menghubungi kepala kampung untuk menjemput mereka menggunakan perahu mesin yang lebih besar, karena derasnya ombak tidak memungkinkan kami bisa terangkut semua. Ini pertama kalinya bagiku, perahu sekecil itu dengan dayung hanya satu. Dan saya harus menaiki perahu bersama muridku Joni. Sedangkan tamuku menaiki perahu Rinto yang lumayan mempunyai 2 dayung. Ya perahu kecil ini memang disediakan hanya untuk 2 orang saja. Tidak lebih. Namun saya kasihan kepada Joni yang mengangkut saya dengan satu dayung saja. Jadi saya hanya andil menguras air yang masuk ke dalam perahu, dan berdoa pastinya semoga ombak tidak menenggelamkan saya. Perahu Rinto berjalan duluan, mereka berjalan pesat karena bisa didayung oleh 2 orang. Sedang saya, hidupku hanya bergantung pada kayuhan Joni. Berkali kali ombak menggulung, namun saya berhasil menghempas sesaat. Dari ujung, murid-muridku yang berjalan lewat jalan selokan sudah sampai di pantai Poa, berteriak untuk segera merapatkan perahuku di pantai. “kasih cepat Joni, kasihan Encik” Sebenarnya saya yang kasihan sama Joni. Tapi saya bilang, “pelang-pelang sajo neh, penting kita so selamat nanti”. Dan Joni tertawa sambil terus mengayuh perahunya. Sedangkan Rinto dan tamuku sudah mendarat di pantai itu. Tapi ombak dan deras hujan makin menyulitkanku dan Joni untuk segera mendarat ke daratan. Saya hanya bisa berdoa, mungkin kalau harus jatuh karena perahuku kemasukan air, paling tidak aku masih bisa berenang, dan ada muridku yang menyelamatkanku. Aku hanya pasrah sambil mengeluarkan air yang sudah banyak sekali masuk ke perahuku. Dan Joni benar-benar mendayung sekuatnya. “Joniii, kamu pahlawanku hari ini :)” pikirku dalam hati. Ya sekitar 15 menit saya mendarat di pantai Poa. Joni bernafas lega. Namun ketika saya menginjak kaki di pantai, Rinto segera menghampiri saya dengan perahunya. “Naik ke perahu saya Encik, dorang antar encik ke kampung, lalu encik bilang ke opo laung kalau ada kami disini dan segera jemput dengan perahu besar.” Ya, saya harus segera kembali ke kampung dan meminta kepala kampung untuk menjemput mereka, karena hari semakin malam dan hujan tak kunjung reda, menaiki gunung dalam gelap seperti ini akan lebih berbahaya. Berdoa dan percaya pada Rinto sebagai nahkoda selanjutnya setelah Joni, akhirnya aku naiki perahunya menuju kampung. Hujan, guntur semakin ganas, pandangan pun semakin kabur. Dua dayung pun tidak cukup melawan ombak. “Kasih kuat dayong Encik, kasih kuat” Memang saya tidak sekuat mereka, mendayung berapa kali saja sudah lelah. Pandangan kabur dan mata semakin pedih. Namun Rinto dengan sekuat tenaga dan dengan cekatannya membaca jalannya ombak, berhasil menerjang dan membelokkan perahu. Ya, ini memang pertama kali saya mendayung di tengah badai seperti ini. “Ayo Encik, sedikit lagi. Kasih kuat..kasih kuat. Kasian yang disana Encik.”. Ya Rinto mengingatkan saya, dia menggurui saya untuk tidak menyerah sedikit lagi, walau tubuh ini lelah dengan hempasan ombak yang sebagian airnya masuk ke perahuku. Sedikit mendayung sedikit mengeluarkan air. Hampir sekitar 30 menit saya beperang dengan badai dengan perahu kecil. Dan akhirnya sampai. “makasih Rinto, kamu memang luar biasa” kataku ketika saya mendarat di kampung. Malamnya, di rumahku masih riuh dengan candaan muridku. Kami belajar seperti biasa di temani dengan tamuku yang membantuku mengajari mereka. Rinto dan Joni? Walaupun rumah mereka jauh, dan harus mengembalikan perahu mereka dulu ke rumahnya, namun mereka jadi orang pertama yang datang saat malam hari belajar. Dan harus bermalam di sekolah karena besoknya harus masuk sekolah. One again,its memorable and proud of my students. This experience unforgatable for me and of course for them. But they teach me a lotta wonderfull thing that i never do before. My students is my hero :) Thanks to James, for coming in our island. My students verryy happy for it.

Cerita Lainnya

Lihat Semua