#1. My Student is My Hero : Saya Hampir Tenggelam

Furiyani Nur Amalia 13 Agustus 2011
Kamis, 28 Juli akan menjadi hari yang paling mengesankan dan kenangan yang tidak pernah saya lupa. Seminggu itu, memang adalah parah-parahnya ombak. Angin yang benar-benar kencang dan cuaca yang tidak bersahabat. Tapi, saya harus ke Tahuna, ibukota kecamatan, tentunya harus menyeberang ke pulau seberang. Temanku Yuri, saat itu sedang disana. Ya, dia adalah salah satu temanku yang tidak bisa dihubungi lewat sinyal handphone, jadi saya sangat harus bertemu dengannya, memastikan everything is fine juga berbagi agenda kegiatan yang akan kami lakukan kemudian. Kebetulan saat itu adalah libur awal puasa yang hanya berlangsung selama 2 hari. Malam sebelumnya saya bersiap dengan segala dokumen untuk saya berikan ke Yuri. Hari kamis, adalah hari pasar dimana banyak penduduk di pulauku juga menyeberang ke pasar untuk berjualan hasil tangkapannya atau hasil kebunnya. Seperti biasa, jika ingin menyeberang harus siap sejak pukul 04.30 pagi. Oke, saya siap. Tas laptop, pakaian ganti dan dokumen penting saja yang saya bawa. Ehhm, pelampung juga. Namun, sebelum berangkat, ibu angkat saya masuk ke dalam kamar, untuk mengingatkan, jika tidak penting-penting sekali tidak usah berangkat, ombak tinggi dan angin kencang. Tapi saya menjawab, saya harus berangkat. Akhirnya dengan berbekal feeling saya masukkan tas laptopku ke dalam dry bag langsung saya pakai pelampung. Bismillah saja. Saya berpamitan ke ibu angkat saya, seraya beliau mengantarkan ke dermaga. Ya, sekali lagi ketika memakai pelampung semua menertawakan dan tidak berhentinya melihat saya. Memang hari itu angin sangat kencang, semalam badai. Tapi lagi-lagi segala doa saya panjatkan pagi itu. Mungkin bibirku terlihat komat kamit. Tidak perduli. Belum separuh perjalan, perahu yang aku tumpangi bersama hampir 15 orang ini selalu miring ke kanan atau ke kiri menerjang ombak. Awalnya saya hanya terlihat stay cool. Laju perahu makin melambat. Tidak ada sinar mentari terbit di ufuk timur saat itu. Semuanya tertutup awan. Ya, masih gelap. Dan saya yakin laut disini adalah laut biru, yang notabene adalah laut dalam. Ombak makin ganas saja. Setiap 5 detik, perahu saya harus berada di lembah ombak paling tinggi sementara di bawahnya adalah cekungan paling dalam. Begitu terus selama 10 menit. Kadang berada di atas lalu berada di bawah dengan ombak tinggi di atas kami. Begitu terus, dan laju perahu tidak dapat memberontak kepada ganasnya ombak. Saya??? Panik setengah mati. Segera ku rapatkan pelampung dan mengikat rapat dry bag. Pulau seberang masih jauh di depan mata. Namun, kami masih terombang-ombang di laut lepas. Mimik orang-orang di kapal mulai panik. Nahkoda kapalku masih dengan cekatan menyelematkan laju perahu. Tapi, tiba-tiba “Byuuuuuuurrr”, ombak besar dari belakang menerjang perahu kami, dan banyak air masuk ke dalam perahu. Semua orang basah kuyup. Namun perahu masih dapat di kendalikan. Tidak berselang sama, ombak sekitar satu meter di belakang kami lagi, mengarah ke samping, “Byuuuurr” untuk ke dua kalinya. Masuk lagi air ke dalam perahu kami. Kami berbondong-bondong meyelamatkan barang dan mengeluarkan air yang sudah banyak masuk ke dalam perahu kami. Kalau tidak, beratnya akan bertambah dan bisa-bisa kami tenggelam. Ada 4 anak kecil yang sudah merengek ketakutan. Bukan muridku. Tapi mereka masih usia TK begitu. Perjalanan hampir setengahnya. Namun, ombak belum bisa menyerah begitu saja. Saat kemarin saya dan murid-muridku belajar di pantai, saya di beri tahu mereka, ombak besar itu karena arah gelombang air yang menuju pantai tidak searah dengan arah hembusan angin, sehingga karena arahnya yang saling tolak menolak timbullah ombak yang tinggi. Ya, sekarang itu adalah praktek “tumbukan” ombak dan angin yang paling dahsyat menurutku. Entah sudah berapa doa dan harapan yang aku ucapkan sepanjang perjalanan ini. Pelampung ini menghangatkanku. Harapanku adalah aku ingin segera menginjak tanah daratan. Segera. Namun, ternyata harapan ini kikis, ketika terlihat gulungan ombak besaaaar dan tinggi sekali sekitar 2 meter menggulung di belakang. Dan rasa-rasanya menuju perahuku. Dan tepat! Bapak piaraku langsung mengingatkan untuk menyelamatkan diri. Jalan ombak itu begitu cepat, sehingga begitu kami akan berpindah ke depan, langsung “Byuuuuuuuuuuuurrrr” Dadaku sesak, tidak ada oksigen, gelap, hangat, dan terlihat orang-orang mengibas-ngibas kakinya di dalamnya. Entah berapa kali aku berharap aku meminta ke Allah, agar memberiku nafas sekali lagi. Masih sesak, banyak air asin yang tertelan. Satu per satu aku lihat anak kecil tadi berusaha mengangkat tangan mereka untuk bisa ke permukaan. Bingung, yang mana dulu harus aku selamatkan. Entah keinginan apa yang mendorongku untuk segera mengibas kaki dan tanganku. Tak kuhiraukan kemana tas dan perlengkapanku. Masih gelap, benar-benar di dalam laut sangat gelap. Tapi aku masih bisa melihat mereka. Dan 3 orang berhasil di dekapanku, 1 anak yang lain sudah di selamatkan orang tuanya. Dan hampir entah berapa menit berhasil ku apungkan tubuhku, bibir anak itu sudah bergetar. Kedinginan dan ketakutakan. Saat kuhirupkan di permukaan, perahu masih belum siap. Ini benar-benar memancing emosiku. Sedangkan ada seorang nenek yang belum tertolong. Langsung saya berteriak kepada orang-orang untuk segera menghangatkan ketiga anak ini. Dan ingin segera ku selamatkan nenek itu. Saat itu adalah titik pertemuan panik, takut, bingung, karena dalam situasi seperti ini, semuanya dengan egonya menyelamatkan diri masing-masing, juga barang jualan mereka yang hendak mereka jual. Di tengah-tengah saya menunggu perahu siap, dengan ombang-ambing ombak memeluk ketiga anak ini, saya hembuskan nafas ke mereka, hanya untuk menghangatkan. Di pikiran saya hanya orang tua dan murid-murid saya. Dengan pelampung ini saya masih mengapung. Satu hal yang saya pelajari, ombak tak mau reda menghempas saya, jadi saya harus mencari cara lain agar saya tetap bisa mengapung tidak jauh dari kerumunan orang yang membantu membenarkan posisi kapal, sambil tak putus-putusnya saya berdoa. Mengajak biacara ketiga anak di depan saya, yang mulai menangis panik. Ketiganya menangis membuat saya semakin panik. “Ya, Allah saya masih 11 bulan lagi bertugas, izinkan saya bertemu murid-murid saya lagi.” Dengan bantuan orang yang seadanya, perahu berhasil di jalankan setelah 30 menit terombang-ambing di laut. Tangan saya kram, setelah hudle ketiga anak tersebut. Setelah saya sampai di dermaga pulau seberang, banyak orang menanyakan, namun saya tidak menerangkan hanya tersenyum seadanya. Lalu menyelamatkan seorang nenek yang masih pingsan dan alhamdulilah masih bisa diselamatkan. Sore sebelumnya, Anto, Joni, Rinto, dan kawanan geng kecil lainnya bermain di pantai sambil membawa senapan menangkap ikan, saya sempat bertanya, “Kalau banyak ikan kalian akan memancing ke tengah laut dengan perahu sekecil ini??” sambil menunjuk perahu bercadik yang berdayung. Sangat kecil dan setelah masuk ke dalam laut batas antara bibir perahu dan batas air laut hanya berapa senti. “Ore, Encik. Torang so biasa noh” sambil nyengir mereka menerangkan. Ya mereka biasa membantu orang tuanya menangkap ikan di laut untuk di konsumusi atau di jual. “Kalian nyandak takut tenggelam??” tanyaku lagi. “Tala, Encik. Kalau so tenggelam, badiam dulu di air masin. Baru torang berenang ke permukaan.” Artinya, kalau mereka tenggelam, mereka diajari untuk diam sebentar di dalam air, atur posisi baru kita berenang dan menentukan ke arah mana kita harus berenang. Setelah itu baru mereka menyelamatkan yang lain. Intinya, diri mereka selamat dulu. Ajaran itu teringat betul ketika saya berada di dalam dalamnya lautan biru itu. Ketika tubuh ini terhempas, rasa panik, takut campur aduk jadi satu karena harus menolang diri sendiri. Saya tahu mungkin salah satu yang diajarkan mereka sangat berguna bagiku adalah, diam sebentar saat hampir tenggelam. Karena disitulah ada titik ketenangan dan titik berpikir dimana saya harus menentukan apa yang harus saya lakukan selanjutnya. My students is my hero. Bersyukur mereka tidak pernah lelah mengajariku berenang di pantai. Karena berenang di laut sangat berbeda dengan berenang di laut. Bagiamana kepala kita harus menghadap ketika ombak datangnya dari depan atau samping. Itu sangat berguna. Dan manajeman anti kepanikan amat sangat berguna mengahadapi situasi seperti ini. This experince was memorable. Once again, my students is my hero. Dan tentunya Allah yang selalu menjagaku :) So much admire my students :)

Cerita Lainnya

Lihat Semua