info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Memantik Terang di Nusa Lote

FransMateus Julianson Situmor 9 Januari 2016

21 November 2015. Matahari siang itu sebenarnya terik, tapi tak sepanas biasanya. Keringat memang bercucuran,namun lega rasanya. Dua hari lamanya, sebuah festival telah dirayakan di pagar terselatan Indonesia, Kabupaten Rote Ndao. Kami menyebutnya LokaRote, sebuah lokakarya unik yang diharapkan menjadi salah satu pemantik perubahan di Rote Ndao.

Mundur dua bulan ke belakang, kegiatan ini masih dalam gagasan. Begitu abstrak. Dimulai dari adanya momentum perayaan lima tahun Indonesia Mengajar, yang hendak diwujudkan dalam satu rangkaian gotong-royong. Kita menyebutnya Festival Gerakan Indonesia Mengajar edisi 2015. Dari Aceh hingga Papua. Seperti apel yang menunggu dipetik, maka demikianlah para relawan lokal melihat kesempatan ini dan tak menyia-nyiakannya demi memajukan pendidikan di Rote Ndao.

Lalu waktu pun bergulir. Sempat ada keraguan: siapkah kami?

Tak seperti di kota-kota besar lainnya, iklim kerelawanan di daerah belum sepenuhnya terbentuk. Kultur gotong-royong memang masih terjaga dengan baik di desa-desa, namun biasanya dalam lingkup yang lebih kecil seperti gotong-royong membangun fondasi rumah atau Tu’u (iuran dana) untuk pernikahan. Dalam bentuk kepanitiaan tingkat kabupaten yang banyak menguras waktu dan tenaga? Kurasa belum banyak.

Beruntung, Rote punya komunitas Relawan Pendidikan Rote Ndao. Komunitas relawan ini lah ­-yang secara tidak resmi terbentuk sejak Forum Kemajuan Pendidikan Daerah Rote Ndao bulan Agustus 2015- yang kelak akan menjadi tulang punggung kristalisasi FGIM 2015 di Rote Ndao. Sebagian besar relawan ini memang bergerak di bidang pendidikan,seperti guru,kepala sekolah hingga pengawas. Jumlahnya tak banyak, namun cukup membuat semangat ikut terbakar. Kesepakatan lalu diambil. LokaRote 2015, siap diwujudkan dengan kolaborasi wahana Ruang Berbagi Ilmu, Ruang Belajar dan Indonesia Mengajar Broadcasting.

Rata-rata para relawan sudah berkeluarga. Itu berarti seharusnya mereka tak punya waktu lebih untuk dihabiskan untuk rapat koordinasi. Belum lagi dengan latar belakang mereka sebagai aktor pendidikan dan abdi negara yang tentunya disibukkan dengan segala tugas pokok dan fungsi yang mereka emban. Namun seperti yang sudah sering kita dengar, negara kita tak pernah kekurangan orang baik. Maka demikianlah saya saksikan dalam keberjalanan persiapan LokaRote ini.

Hampir tiap minggu, para relawan itu mau berkumpul menempuh jarak puluhan kilometer untuk merancang LokaRote. Tak jarang berdiskusi sampai gelap menyapa, sehingga membuat beberapa dari mereka kesulitan pulang. Maklum, lampu jalan di rote hampir-hampir seperti pajangan besi karena, yah, kebanyakan tanpa lampu. Lebih menarik lagi, walau terdiri dari orang-orang yang berasal dari satu “rantai makanan” yang sama, diskusi berjalan dengan kondisi egaliter tanpa kasta, menunjukkan kerendahan hati mereka dalam mewujudkan mimpi bersama.

Ketua LokaRote, Pak Daud Dakabessy misalnya, tempat tinggalnya yang berada di ujung barat Rote Ndao membuatnya harus menempuh jarak sekitar 30 km untuk dapat hadir di titik kumpul. Hebatnya lagi, beliau selalu hadir di tiap rapat, jika tidak sedang melaksanakan tugasnya sebagai pengawas. Kehadirannya pun tak pernah membawa awan gelap, selalu penuh keceriaan. Pak Dany Henukh juga demikian, sebagai penanggungjawab wahana Ruang Belajar (Rubel) beliau sanggup menjamu rapat internal yang intens di kediamannya hingga malam menyapa. Pak Rafael Buan dan Pak Johannis, sebagai duo kepala sekolah yang cukup aktif memberikan masukan pada proses persiapan LokaRote, bahkan menjadi fasilitator ulung pada hari pelaksanaan. Kak Yani yang sigap mengumpulkan receh di gereja demi kelancaran dana. Kak Into, Pak Petrus, Bu Ensri, Kak Nova, Kak Ela, Pak Hamid, Pak Nando dan masih banyak lagi relawan yang melakukan hal hebat dalam membantu persiapan LokaRote 2015 ini.

Lalu satu hari sebelum hari pelaksanaan. Saya melihat para bapak-ibu itu bersama menyusun kursi, meja dan dekorasi yang juga dibuat semalam suntuk. Tanpa harus merasa tersinggung diberikan instruksi oleh orang-orang yang jauh lebih muda, mereka proaktif menyiapkan “panggung festival” agar semuanya dapat berjalan dengan sempurna.

Seperti telenovela, begitu banyak hal yang sempat menjadi rintangan dalam mewujudkan Lokarote. Mulai dari dialog intensif soal peleburan ketiga wahana dalam satu wadah bersama, perubahan nama dan jumlah peserta yang berulang-ulang, kondisi keuangan yang berdarah-darah, kebutuhan logistik yang membingungkan dan koordinasi tarik ulur dengan panitia pusat,  dan segalanya yang membuat urat nadi sering berdenyut lebih cepat dari seharusnya. Namun segalanya adalah pembelajaran, dan syukurnya, mendekatkan.

Maka tibalah hari pelaksanaan. Dua hari yang tidak hanya sekadar 2 x 24 jam, melainkan dua hari perjumpaan keringat dan semangat berbulan-bulan sebelumnya. Dua hari perjumpaan yang menjadi awal persahabatan antara relawan pusat dan daerah. Dua hari jabat tangan sebagai bentuk komitmen agar berjalan beriringan merajut tenun kebangsaan.

Melalui LokaRote, saya belajar banyak. Tentang kerendahan hati, dari orang-orang besar yang mau mengecilkan dirinya di depan mimpi bersama. Tentang dedikasi, dari orang-orang yang begitu bersemangat menyiapkan segala sesuatunya walau tak punya banyak pengalaman. Tentang iman, dari orang-orang yang mau berkorban untuk sebuah hasil yang tak bisa mereka pastikan.

Tentang tanggung jawab, dari orang-orang yang siap bahu-membahu mengisi ruang kosong di alam semesta.

Maka terima kasih, pada semuanya: teman-teman Relawan Pendidikan Rote Ndao, panitia pusat, narasumber, rekan-rekan Indonesia Mengajar dimana pun berada dan tentunya sahabat Pengajar Muda X Rote Ndao.

Jadilah Terang,Tuhan berfirman,maka Terang pun jadi. Begitu mudah. Namun yakinlah, tak perlu jadi Tuhan untuk dapat mewujudkan terang di bumi pertiwi. Cukup satu lilin di setiap pelosok. Niscaya, Terang pun jadi.

 

*Nusa Lote, dalam bahasa Rote berarti tanah Rote. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua