Menunggu Duren dan Hujan

Fini Rayi Arifiyani 17 Desember 2012

 

Mendung menggelayut di kaki langit, seolah mendekat dengan luapan air sungai. Hampir saja les kelas 6 tidak jadi karena tidak ada perahu yang ke seberang—sekolah. Alhamdulillah, siswaku yang bercita-cita menjadi dokter hewan datang menjemput dengan sampan. Anak ini memang sangat baik. Selain cerdas matematis-logis, dia juga cerdas interpersonal dan intrapersonal. Anak ini juga yang mengajarkan sampan kepada saya. Oh ya, namanya Pegi Agustin.

 

Kami menuju sekolah lewat belakang, menyusuri jalan tanah untuk menyambut kebun karet di belakang sekolah. Dari jauh, terlihat anak-anak yang sedang bermain. “Hampir saja tidak jadi belajar, Bu.” Ya, untung saja Pegi menjemput jadi saya bisa menyeberang untuk pergi ke sekolah. Jika siang, memang sulit untuk menyeberang. Perahu (sampan/ketek/spit) jarang ada yang lewat.

 

Ketika les, Putri memberikan sebuah duren kepada saya. Mungkin karena melihat duren ini, saya dan anak-anak bersepakat menunggu duren setelah les. Lajulah (pergilah) kami menuju pohon-pohon duren. “Duren laut aja ya, Bu,” ajak Jodi. Duren laut itu adalah pohon duren yang dekat sungai (di sini, sungai disebut laut).

 

Ternyata, banyak orang yang sudah menunggu duren runtuh. Ada ibunya Jodi, ibunya Dini (anak kelas 6 yang juga ikut les) beserta adiknya Dini, dan seorang pemuda. Ketika kami hampir sampai, sebuah duren runtuh. Kalah cepat, tapi tak apalah. Cukup lama menunggu, hari juga sudah bertambah gelap dengan awan yang menggumpal kehitaman. Akhirnya, angin bertiup kencang. Para penunggu duren bangkit dan bersiap. Akan terjadi perebutan duren. Benar saja begitu terdengar suara, “Gedubrak!” Orang-orang menuju ke arah suara. Elda yang posisinya paling dekat dengan runtuhnya duren langsung mengambilnya. Perebutan tajam yang seperti cerita anak-anak tidak terjadi. Setelah itu, semua kembali menunggu runtuhnya duren. Lama. Akhirnya, saya mengajak anak-anak pulang, khawatir kehujanan lagipula kami harus menyeberang dengan perahu.

 

Hujan deras turun sesampainya saya dan Elda di seberang. Sementara perahu (sampan) satu lagi belum sampai. Serunya, perahu itu dinaiki 6 anak dan mereka akhirnya membantu mendayung dengan tangan karena hujan lebih dulu datang sebelum mereka sampai di seberang. Sesampainya mereka di seberang, kami bersatu. Berlari ke rumah masing-masing. Saya berlari bersama enam anak lainnya yang rumahnya searah. Rasanya, menyenangkan bisa berlari menembus hujan.

 

Rumah keempat anak masih jauh lagi. Akhirnya, mereka berteduh di rumah yang kutinggali. Sebuah duren yang kudapat, kami makan bersama. Nikmat!

Selesai makan duren, kami bermain. Karena basah kuyup, saya ganti baju. Sementara anak-anak  (laki-laki) sudah melepaskan pakaiannya (hanya pakai celana). Tak lama saya ganti baju, anak-anak bermain guyur-guyuran di belakang rumah. Anak-anak yang berada di sekitar rumah juga datang. Alhasil, ramai sekali mereka bermain guyur-guyuran dengan mengambil air dari sumur. Seru melihatnya.

Ya, inilah kehormatan itu. Saya semakin paham, ini kehormatan, bukan pengabdian. Menikmati kehidupan desa, mengenal akar rumput yang begitu indah. Terima kasih, ya Allah. Nikmat mana lagi yang dapat kudustakan?


Cerita Lainnya

Lihat Semua