Paulina : Jalan Berliku Menjadi Guru

Fina Azmiya 28 Oktober 2016

“Menjadi Guru itu bukan cita-cita saya, tapi takdir yang berliku telah mengantarkan saya ke sana. Sehingga saya harus menjalaninya sebaik yang saya bisa, sekalipun tak sedikit tantangannya.”

Matanya menyala, kata-katanya mantap tanpa ada keraguan di dalamnya. Sepertinya, ia benar-benar mengucapkan kalimat ini dari dalam lubuk hatinya.

Namanya Paulina, aku memanggilnya mama Ina. Dulu, di daratan kelahirannya, tak seorang pun menyangka ia akan berhasil seperti sekarang. Menjadi guru, bahkan menjadi "kepala" sebuah sekolah. Bagaimana tidak, selepas SD ia menghabiskan tak kurang dari 6 tahun sebagai anak putus sekolah. Hingga label sebagai “pengangguran” pun menempel di dirinya selama bertahun-tahun.

Selepas SD, orang tuanya harus membiayai ke-empat saudaranya untuk menempuh sekolah. Karena ia anak perempuan, jadilah pendidikan baginya di nomor duakan. Apalagi, kala itu jika ingin melanjutkan sekolah, berarti ia harus merantau ke luar desanya.

Enam tahun bukanlah waktu yang singkat, apalagi bagi anak putus sekolah yang menghabiskan hari-harinya dengan ritme yang “begitu-begitu saja”. Untuk membunuh waktu, maka ia  memutuskan untuk ikut AMPI (angkatan Muda Pembaharu Indonesia), sebuah organisasi anak muda gereja. Disanalah ia mendapatkan kembali semangatnya, semangat untuk tetap menjaga mimpinya melanjutkan sekolah.  

Memasuki tahun ke enam masa menganggurnya, ia mendengar berita bahwa akan dibuka SMP perintis di dekat desa. Ia memberanikan diri mendaftar dengan bantuan pamannya. Jadilah ia salah satu siswa di sana. Kala itu hanya 6 orang yang menjadi muridnya.

Menjadi Guru

Selepas SMP, ia kembali menghadapi tantangan. Ia merantau ke Ambon tanpa persiapan yang matang. Tanpa bekal yang memadai, apalagi untuk hidup di kota orang. Seorang paman jauh menawarinya untuk melanjutkan sekolah SPG. Ia sebenarnya tak berminat untuk melanjutkan ke SPG, karena sejak awal ia memang tidak bercita-cita menjadi guru. Tapi, apa boleh buat, sang paman tidak mau membiayai jika ia tidak melanjutkan ke SPG. Jadilah ia harus merubah haluan cita-citanya dari Sekretaris menjadi pendidik anak bangsa.

Tahun berlalu, ia kemudian benar-benar menjadi guru. Takdir membawanya keluar dari tanah kelahirannya, juga dari tanah rantau pertamanya. Tahun 1991, ia ditugaskan menjadi guru di Pulau Lakor, enam jam perjalanan laut dari tanah kelahirannya. Hingga sekarang, ia masih setia menjalani hari-hari bersama anak-anak di sekolah.

Sekarang, label “Si anak putus sekolah” sudah berubah menjadi “Pimpinan Sekolah”. Siapa sangka, takdir yang Tuhan gariskan baginya ternyata begitu indah. Sekalipun berliku awalnya, tapi manis akhirnya. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua