Menjadi Guru

Fina Azmiya 13 Maret 2017

“Beta seng (tidak) mau deng (dengan) ibu lai (lagi)” kata Lala dengan menampakkan muka masamnya. Mendo pun mengamini kata-kata Lala. Ia ikut-ikutan tak mau mendengarkan instruksiku. Disusul Elen, Dace, Dewi dan Ricardo. Satu persatu mulai walk out dari kelasku.

Sekarang tinggal tersisa satu. Tinggal Tia, anak yang terkenal paling rajin di kelas dua. Ia memandangiku dengan muka ragu-ragu. Seperti ingin mengikuti langkah teman-temannya, tapi ia masih tak berani menyatakannya.

“Beta jua seng mau bikin ini ibu” akhirnya kata-kata ini keluar juga. Ia memberanikan diri mengucapkannya dengan agak terbata-bata.

Aku hanya memandangi satu persatu dari mereka keluar kelas. Mencari kebebasan di halaman, atau di tepi lautan yang menawarkan kesegaran. Rasanya kesal, bukan kesal pada anak-anak, tapi kesal pada diri sendiri. Ketika itu, aku merasa menjadi orang bodoh yang tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa sekedar menahan mereka untuk tetap bertahan dan belajar bersama. Ada rasa bersalah karena tak bisa menjadi sosok guru yang baik bagi mereka. Hari itu aku serasa menjadi guru abal-abal yang gagal mengemban tugas.

Di tengah rasa gagal yang mengganggu, ingatanku sejenak terbang ke masa pelatihan. Sejak mendapat beberapa materi di pelatihan, aku memang merasa percaya diri untuk mempraktekkan materi-materi dan optimis bisa menjadi guru yang lumayan oke. Mulai dari belajar kreatif hingga materi pengelolaan kelas yang rasanya sudah cukup sebagai bekal awal untuk menjadi guru. Tapi ternyata, realita tak selalu sejalan dengan bayangan dan harapan. Menjadi guru itu nano nano, ada rasa deg-degan baru setiap harinya. Selalu ada tantangan untuk menghadapi anak-anak dengan segala tingkah yang tak bisa diterka.

Menjadi guru ternyata tak semudah bayanganku. Benar-benar tak mudah. Menghadapi anak-anak yang seringkali teramat jujur dengan pikirannya. Berinteraksi dengan anak-anak yang masing-masing berbeda, unggul dengan keunikannya. Dan mau tak mau, memahami satu per satu karakter dan latar belakang mereka.

Hari itu aku belajar memahami kemauan dan kebutuhan masing-masing anak. Bahwa memang mereka berbeda dan tak bisa dipukul rata. Aku belajar bahwa ego orang dewasa memang seringkali menyebalkan bagi mereka.

Dan hari itu juga, rasa terimakasihku pada para guru yang sedari TK hingga SMA mendidikku, menjadi berlipat ganda.

Salam hormat untuk para Pahlawan Cendekia di seluruh penjuru Indonesia!


Cerita Lainnya

Lihat Semua