Menghargai Berkat

Fina Azmiya 10 Maret 2017

Jam di telepon genggamku sudah menunjukkan pukul 23.00 WIT. Tapi kantuk tak kunjung datang. Masih ada ganjalan yang sedari tadi mengganggu ketenanganku. Lapar yang datang tanpa diundang. Lapar tengah malam begini memang paling menyusahkan, apalagi di daerah seperti ini. Mungkin ketika dulu di ibukota, aku tinggal memencet ponsel pintarku, memesan makanan lewat jasa pesan antar, kemudian tinggal menunggu hingga makanan yang kupesan datang. Tetapi di sini lain ceritanya. Cerita seperti itu hanya dapat terjadi dalam khayalan belaka.

Beberapa menit kemudian, aku bangkit dari tempat tidur menuju meja yang tertutup tudung saji. Berharap mendapat sepotong patatas atau kasbi. Hasilnya nihil, yang ada hanya tempat makan dengan sedikit sisa jagung hasa yang kami santap sore tadi. Aku kembali ke kamar dengan sebotol air putih di tangan dan harapan agar pagi segera datang.

Di tengah kelaparan yang cukup menyiksa, aku teringat kejadian beberapa hari lalu. Hari itu ada acara makan bersama di sekolah, sebuah acara rutin yang diadakan oleh orang tua murid sebagai ucapan terimakasih kepada para guru. Aku duduk di kursi pojok, sembari memegang piring berisikan potongan-potongan ketupat santan. Hingga kemudian, Sion, salah satu muridku mendekat.

“Ibu seng (tidak) kasih habis akang (kata ganti benda)?” ia bertanya sambil menunjuk ketupat santan di piringku.

Aku menjawab pertanyaannya dengan meringis, mengiyakan pertanyaan Sion. Aku memang sudah kenyang waktu itu. Seorang Mama menambahkan beberapa potong ketupat santan di piringku, menghargai adat, katanya.

“Barang kenapa seng habis? Sion melanjutkan pertanyaannya.

“Ibu su (sudah) paling kenyang e”

“Ibu, kata mama to, makanan itu berkat. seng boleh buang berkat, jadi ibu harus kasih habis akang. Kata mama katong harus menghargai berkat” katanya setengah mengguruiku sembari tersenyum lebar, menunjukkan gigi-gigi busuknya. Seolah paham betul apa yang ia nasehatkan padaku.

Aku baru bisa mencerna nasihat Sion ketika lapar menyerang. Diam-diam bersyukur masih bisa merasakan lapar , merasakan bagaimana berharganya makanan yang dulu sering  terabaikan. Dan diam-diam bersyukur masih bisa memetik pelajaran dari lapar di tengah malam. 

Mungkin, sepotong cerita lapar tengah malam ini akan terus teringat. Ketika nanti kembali ke rumah ada makanan berlimpah, ketika beras, sayur dan buah bisa dinikmati dengan mudah, maka sebisa mungkin aku belajar menghargainya. Mulai menghilangkan kebiasaan tak menghabiskan makanan dengan segala alasan.

Memang, ada kalanya berkawan dengan kekurangan itu diperlukan, agar kita lebih bisa menghargai berkat yang Tuhan berikan.  

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua