Satu Hebat, Dua Menghebatkan

FidellaAnandhita Savitri 23 Oktober 2015

Siang ini, saya tertampar oleh celetukan Pak Suparman, akrab dipanggil Pak Parman, guru SD Kunjung di Dusun Ipi.

"Besok ke Lori lagi kita. Baru kemarin kita ke sana ya, Pak. Padatnyaaa.. jadwal Oktober." Saya berujar saat Pak Parman mensosialisasikan pada para guru yang tidak hadir mengenai hasil rapat Kelompok Kerja Guru (KKG) kemarin di desa tetangga, desa Lori. Beberapa perwakilan diminta hadir lagi ke Lori besok untuk rapat Pesta Olahraga Persatuan Guru Republik Indonesia (Pestora PGRI) November mendatang.

"Ibu Della baru sebentar aja di sini. Kami hari-hari, biasa sudah." Pak Parman nyengir lebar, semburat semangat tak surut dari matanya. Beliau melanjutkan, "Mumpung masih muda, Bu. Tuhan marah nanti. Kita dikasih sehat, masa malas melakukan sesuatu yang bermanfaat."

Glek! Saya tertohok. Bolak-balik gini doang tepar, Del? Yaelah. Cupu.

Pikiran saya menerawang, ingat nasehat Bu Misbah, istri Pak Parman, kepada sekelompok murid SMA yang kala itu sibuk membahas gebetan rupawan berbadan binaragawan.

"Nak, kalau mau cari pasangan hidup, jangan cari dari fisik, tapi cari yang bisa memimpin. Makanya saya mau sama Pak Parman." Bu Misbah membanggakan suaminya, tentu saja.

Ada yang bilang, jodoh itu mirip. Apa kabar Pak Parman dan Bu Misbah? Jauuuh, haha. Seperti stik es krim dan donat. Bu Misbah berperawakan mungil, sementara Pak Parman sangat tambun seperti Paman Gembul di majalah Bobo.

Namun sejak pertama mengenal Pak Parman dan Bu Misbah, saya melihat mereka sebagai pasangan hebat yang saling menghebatkan. Keduanya sama-sama memiliki jiwa pemimpin, punya semangat mendidik yang tinggi, dan sangat aktif berkegiatan di masyarakat.

"Saya orangnya nggak bisa diam, Bu. Dari dulu suka organisasi memang." Setelah selesai dengan info Pestora PGRI bulan depan, Pak Parman cekatan membuka agendanya, bersiap akan sosialisasi kegiatan berikutnya: Musyawarah Ranting, acara Pramuka di bulan November juga. Beliau mulai bercerita dengan riang, seakan menikmati hari-hari sibuknya. Rautnya ramah dan bersahabat.

Pak Parman ini memang eksis di mana-mana. Acara olahraga, Pramuka, lomba seni, olimpiade sains, pelatihan perpustakaan, semua beliau jambangi.

Energi mengajarnya seperti baterai. Awet dan tahan lama. Di suatu masa, saya bahkan sampai mengingatkan beliau untuk berhenti dulu melatih anak-anak persiapan olimpiade sains karena mereka butuh istirahat. Saking asyiknya membahas soal, tidak sadar sudah larut malam.

Begitu pula dengan Bu Misbah. Kami bisa mengobrol seru sampai berjam-jam hanya membahas persiapan anyaman untuk lomba seni di Kabupaten. Dengan antusias beliau bercerita anak-anak Ipi blusukan ke hutan mencari daun nipah, menguji kekuatan dan kerapihan anyaman, serta terus latihan menganyam agar bisa maksimal dalam lomba.

Murid dan guru sama-sama ambisius, hahaha.

Tinggal di dusun terpencil yang sulit akses tak menjadi halangan untuk mereka bolak-balik beraktivitas di Desa Tanjung Aru yang menjadi Kota Kecamatan Tanjung Harapan. Keinginan kuat agar anak-anak didik di Ipi punya kesempatan lebih luas untuk mengembangkan bakat menjadi bahan bakar yang 'membakar' semangat mereka.

"Motornya cakep amat Pak, cokelat semua." Di suatu siang di musim penghujan, saya bergurau melihat motor yang sudah tidak karuan wujudnya. Kotor penuh lumpur. Pak Parman hanya menyahut santai, "Begini memang kalau dari Ipi."

Jalanan dari Dusun Ipi ke Desa Tanjung Aru jauh dari mulus. Tanah merah. Tidak ada jalan aspal sama sekali. Kalau musim kemarau, debu tebal mengepul. Harus pakai masker kalau tak mau mendadak asma.

Sementara di musim hujan, tanahnya seperti adonan kue lumpur. Lengket, licin, dan becek. Bahkan kalau sedang parah-parahnya, mungkin hanya motor trail atau motor Pak Parman saja yang bisa tembus.

Beliau sengaja memodifikasi motornya sedemikian rupa agar siap menerjang jalan lumpur pagi, siang, maupun malam bersama istri tercinta, di saat orang lain mungkin lebih memilih batal berangkat.

Dedikasi pasutri ini memang jempolan.

Pernah di suatu masa ketika UPTD memberi instruksi untuk menyiapkan media ajar, sosok Pak Parman yang tambun bersimbah peluh muncul di SD Induk, susah payah memanjat jendela UKS karena pintu terkunci.

"Ya ampun, ngapain Pak?" Saya tertawa geli sekaligus keheranan. Niat betul datang manjat-manjat.

"Saya dengar informasi, katanya UPTD mau datang. Walaupun belum tentu mampir ke Ipi, saya siapkan saja. Toh pasti terpakai buat bahan belajar anak-anak." Oalaaah, ternyata beliau mencari alat peraga IPA yang disimpan di sana.

Beliau memang sigap mencari informasi dan sangat inisiatif. Kalau saya diminta menilai initiating action Pak Parman, mungkin akan saya beri nilai tertinggi. Begitu juga dengan dimensi kepemimpinan lain seperti komunikasi, resillience, gaining commitment, building positive working relationship, decision making, dan sebagainya.

Bu Misbah benar. Cari pasangan yang bisa memimpin. Mengenal mereka membuat saya semakin percaya, kita tak pernah kekurangan pendidik yang tulus bekerja sepenuh hati, juga sosok pemimpin yang memberi teladan.

Pak Parman dan Bu Misbah memang pasangan serasi. Yang menginspirasi. Yang punya banyak ide untuk berkreasi. Yang di tengah keterbatasan, tetap pantang menyerah dan tak mudah berkecil hati. Karena keterbatasan bukan berarti membatasi, melainkan tantangan untuk melewati batas diri.

Izinkan saya mengutip sebait-dua bait kalimat dalam buku Burlian karangan Tere Liye: "Sekolah itu ibarat menanam pohon. Semakin banyak ditanam, semakin baik dipelihara, maka pohonnya akan semakin tinggi menjulang."

Jadiii.. terus semangat berjuang menanam dan memelihara pohon sampai tinggi menjulang ya, Pak, Bu!


Cerita Lainnya

Lihat Semua