Mencari Harapan

FidellaAnandhita Savitri 22 Maret 2015

“Kamu dari kota, sekolah tinggi-tinggi, di universitas bagus, kenapa mau-maunya ngajar di pedalaman? Di sini kan nggak ada apa-apa.” Seorang pemuda yang kebetulan bermalam di rumah hostfam saya membuka obrolan.

Saya yang sedang serius mengetik, menjawab seadanya, “Kenapa nggak?”

“Yaaa.. saya heran aja. Banyak kamu punya kesempatan di kota. Kenapa malah milih ke sini? Takut kalah saing ya di kota?”

Saya menutup laptop, cukup tertarik akan pertanyaannya yang menggelitik itu. “Emangnya kenapa, Kak? Kok bisa mikir begitu?” Saya balas bertanya.

Ia lalu bercerita kejenuhannya akan pekerjaan yang sekarang. Kurang menantang, begitu keluhnya. Ia ingin mencari pekerjaan lain tapi sulit karena kualifikasinya tidak mencukupi untuk melamar di perusahaan besar. Saya menyimak sambil mengangguk-angguk.

“Saya aja susah betul cari kerja di kota. Kamu sudah susah-susah sekolah tinggi bukannya cari kerja bagus di gedung-gedung, malah mau ke sini. Apa sih yang kamu cari?” ia menutup ceritanya dengan pertanyaan yang membuat saya tersenyum. Inilah kesempatan saya menjelaskan, juga meyakinkan diri sendiri: untuk apa saya ada di sini.

“Begini, Kak. Saya sih nggak takut kalah saing. Iya, mungkin setelah dari sini saya harus kejar ketinggalan selama setahun. Tapi saya sih percaya, pengalaman yang saya dapat di sini luar biasa. Kalau ditanya apa yang saya cari, saya cari harapan kalau anak-anak Indonesia bisa berkembang dan jadi orang hebat di masa depan. Jadi, daripada cuma berharap, mending sekalian terjun ke lapangan kan? Cari harapan di Tanjung Harapan.”

Kali ini, giliran pemuda itu yang mengangguk-angguk.


Cerita Lainnya

Lihat Semua