info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

"Kamu artisnya"

FidellaAnandhita Savitri 28 April 2015

"Bu, diliatin orang-orang, je, Bu. Malu"

Saya menepuk punggung Posha (kelas 5 SD), salah satu anggota tim tari perwakilan kecamatan Tanjung Harapan yang akan mengikuti lomba tari dalam FLS2N (Festival Lomba Seni Siswa Nasional) tingkat kabupaten.

"Kenapa, je, harus malu? Kan kamu sekarang artisnya. Artis pasti diliatin"

Sementara itu, Nilmi (kelas 5 SD), mengetuk-ngetukkan kakinya gelisah. Saya memegang tangannya. Dingin.

Meskipun dalam hati saya pun tertular grogi, saya berusaha terlihat tenang dan menenangkan mereka. Saya paham betul rasanya. Keringat dingin, jantung yang berdetak tak karuan, dan segala indikator seseorang demam panggung. Tak peduli sudah latihan ratusan kali dan hafal mati tiap gerakan, sensasi mulas tidak jelas menjelang show time tetap ada.

Psy war istilahnya, singkatan dari psychological warfare. Dalam peperangan, psy war tidak menggunakan senjata, melainkan menggunakan strategi manipulasi psikologis untuk menjatuhkan mental dan melumpuhkan motivasi musuh sehingga konsentrasi buyar dan tujuan memenangkan peperangan berhasil.

Di sini, saya memaknai psy war secara sederhana: perang mental. Aura persaingan yang kental merupakan hal yang lumrah terjadi saat perlombaan. Tiap orang saling menilai dan membandingkan. Kepercayaan diri diuji. Meskipun psy war dalam FLS2N tidak terlalu terasa, saya tetap ingin menguatkan mental mereka, jangan sampai kalah sebelum berperang.

"Kalian tahu ngga arti percaya diri? Percaya sama diri sendiri. Percaya kalau kalian bisa. Yakin di tiap gerak. Sudah sering latihan kan? Menang kalah nggak masalah, yang terpenting tampilkan yang terbaik. Jangan lupa senyum. Inget, kamu artisnya. Semangaaat, artis Tanjung Aru!" Saya mengepalkan tangan dan mengacungkan tinju ke langit untuk menyemangati lalu memandangi mereka satu per satu.

Raut cemas belum juga hilang dari wajah Posha, Nilmi, Anis, Juwita, dan Azizah, para penari cilik ini. Saya menyuruh mereka menyunggingkan senyum dan mengatur nafas. 

Sambil menunggu giliran, kami menonton penampilan peserta dari kecamatan lain. Saat salah satu grup tari menunjukkan kebolehannya, saya spontan berseru "KEREEENNN!!!" karena memang benar-benar apik dan kompak.

"Ah, Bu, kita nggak kalah keren!" Anis protes.

"Kalian sampai sini aja udah keren loooh! Dulu masih malu-malu, sekarang bisa tampil di panggung itu. Terharu betul bapak, bangga sama kalian," timpal Pak Herwin, guru muda berjiwa seni tinggi yang senantiasa bersemangat melatih tari sekaligus mendampingi mereka ikut perlombaan.

Saya mengangguk-angguk tanda sepakat. Senang sekali melihat interaksi positif antara guru dan murid seperti ini.

Usai tampil, saya bertanya bagaimana rasanya jadi artis. Lomba tari ini merupakan penampilan perdana mereka. Nilmi, dengan muka berseri-seri dan senyum mengembang menjawab "Buuu.. kapan kita jadi artis lagi?"

Saya tertawa geli. Ah, mereka ini. Dari demam panggung mendadak jadi banci panggung.


Cerita Lainnya

Lihat Semua