INDONESIA MENGAJAR, WE RULE THE SCHOOL!!!
Fauzan Tegar 15 Juli 2011
Bersihin dulu unek-unek dikit. Udah 8bulan, we almost there. Wait, really?? Terus ntar ngapain pas pulang? Back to real life? Saya tidak meninggalkan apa pun di Bandung kecuali masalah.
Oke, mari kita mulai. Setelah liburan yang teramat panjang dan menyenangkan dan menyedot habis keuangan, saya kembali ke kehidupan saya di sebuah dusun di pegunungan Kabupaten Majene. Hehehe, judul di atas muncul dari hasil diskusi dengan beberapa teman pengajar muda saat liburan ini. Banyak dari kami ditempatkan di daerah yang memang benar-benar menganggap kehadiran kami setara dengan kedatangan hmmm,kedatangan sesuatu, kedatangan apa ya? I’ll get to that later. Pokoknya seseorang yang luar biasa hebat dengan kapabilitas yang bisa mengubah keadaan sekolah sendirian.
Well, awalnya ini terasa menjadi beban. Saya sendiri di awal kedatangan coba tidak menonjolkan diri untuk menjaga ekspektasi dari pihak sekolah. Lama-kelamaan ekspektasi yang tidak berkurang justru saya manfaatkan untuk menyusupkan misi saya disini. Hahahaha, lebay. Intinya begini, sekolah sudah sungguh percaya dan yakin dengan kemampuan kami. Ditambah kehadiran kami yang paling tinggi di sekolah ketimbang guru-guru lain, maka kami kerap kali memiliki kekuasaan untuk melakukan apa pun di sekolah. Yup, technically we really are ruling the school. Sekolah yang sering ditinggal guru-gurunya, kepercayaan tinggi dari orang tua siswa, serta antusiasme murid saat diajar oleh kami membuat memang para pengajar muda bisa “menguasai” sekolah.
Kami bisa mengatur jadwal pelajaran, waktu bagi rapot, jam mengajar, dll. (sayang, dana BOS belum bisa euy). Untuk itulah saya punya usul untuk mengubah tagline Indonesia Mengajar dari setahun mengajar seumur hidup menginspirasi menjadi “Indonesia Mengajar, We Rule The School!!!” hahahahahahaha
Usul kedua yang agak beneran adalah memindahkan atau menambahkan daerah kerja Pengajar Muda menjadi guru SMA. Bagi anda penganut mazhab pendidikan Freire, tentu sudah paham betul konsep pendidikan klasik yang hanya mengubah kaum tertindas menjadi kaum penindas tanpa mengekskalasi perubahan sistem sosial secara keseluruhan. Bisa saja mereka menjadi lebih mapan secara finansial, tetapi hakikatnya mereka hanya berubah status dari tertindas menjadi penindas yang melanggengkan terus penindasan terjadi di dunia pendidikan.
Teorinya begitu. Jika ada yang tertarik untuk mempelajarinya secara lebih lanjut, datanglah kemari. Disinilah siklus ini benar-benar terjadi. Entah bagaimana awalnya, tetapi murid memang hanya bisa menggambarkan dirinya menjadi guru di masa depan. Setelah jadi guru muridnya akan menjadi guru. Setelah muridnya menjadi guru, muridnya bercita-cita jadi guru. Setelah muridnya menjadi guru, muridnya bercita-cita jadi guru. Dan begitulah siklus ini terus berlanjut.
Memang jika kita bicara tentang siklus ini absurd jika kita harus membahas parameter perubahan struktur sosial secara keseluruhan. Saya hanya akan memberikan gambaran, bahwa saya sungguh yakin jika tidak ada perubahan berarti, maka 50 tahun ke depan kondisi sosial ini tidak akan berubah sama sekali. Cukup menyedihkan memang, setelah 8bulan disini belum nyata pendobrakan konstruk sosial yang saya coba lakukan, akan tetapi saya hanya meyakini memang kondisi ini harus secepatnya diberikan perbaikan.
Solusi perbaikan bisa jadi adalah mendidik anak SD dengan harapan mereka akan terbangun karakternya bla bla bla bla. Tapi dengan kondisi masih seperti ini, sungguh sangat disayangkan karena ketika sudah lulus, mereka harus kembali masuk sistem SMP-SMA yang akan membuat usaha para pengajar muda (almost) back to square one. Sementara mengirimkan mereka ke luar kota pun bukan pilihan karena kehadiran mereka dibutuhkan oleh keluarganya masing-masing,
Solusi lain adalah dengan menyasar langsung siswa SMA. Memang, perubahan bagi siswa bisa jadi tidak terlalu optimal, karena mereka sudah “jadi”. Tetapi dengan mendidik anak SMA, kita bisa mengarahkan peserta didik untuk lebih berperan di masyarakat. Bisa jadi dengan melakukan apa pun kegiatan sosial untuk membangkitkan semangat warga desa, atau pun dengan lanjut ke bangku kuliah. Disinilah peran Pengajar Muda nantinya. Mengarahkan para siswa SMA tersebut untuk terus melanjutkan kuliahnya, dengan gambaran yang lebih riil tentang bagaimana seharusanya sebuah daerah dibangun. Guru dan petani adalah pekerjaan yang sungguh mulia, tetapi tidak mungkin sebuah kota bisa melesat pembangunannya jika seluruh warganya terkonsentrasikan di 2 bidang pekerjaan tersebut.
Saya bahkan membayangkan bahwa pengajar muda ini nantinya bisa membuat sebuah dream team dari siswanya. Ada yang muridnya menjadi akuntan, pengacara, insinyur, pedagang, dll, karena secara kualitas mereka banyak kok yang mampu. Buktinya Kabupaten Majene sudah bisa menghasilkan siswa yang masuk perguruan tinggi terbaik di Indonesia (ITB, iya ITB yang itu, yang terbaik itu hehehe…).
Saya mencoba eksperimen ini di kampung tempat penempatan saya. Dari 3 lulusan SMA di dusun ini, berdasarkan minat dan gambaran sederhana tentang potensinya, yang satu saya dorong menjadi TNI, yang satu untuk berkuliah di bidang hukum, yang satu lagi di bidang pendidikan. Hasilnya, yang seleksi TNI memilih daftar ke AKPOL tapi gagal karena dimintain duit 40juta cuman buat daftar seleksi (True Story. Gosh, u bastards really like that damn money, huh?), yang di bidang pendidikan memilih merantau ke Kalimantan cari uang, tinggal satu yang masih teguh niatnya. Tesnya akan dilaksanakan pertengahan Juli ini. Saya memberikan gambaran bahwa sebagai Provinsi baru, Sulawesi Barat pasti membutuhkan banyak perangkat hukum yang mudah-mudahan bisa menjadi lapangan kerja yang menarik bagi dia nantinya.
Ya balik lagi ke ide mengajar SMA tadi. Harapan saya, murid-murid cetakan Indonesia Mengajar bisa menembus perguruan-perguruan tinggi terbaik di Indonesia nantinya. Lalu setelah beberapa tahun kuliah (boleh 4 atau 5 taun lah) mereka inilah yang diharapkan bisa menjadi pilar-pilar utama pembangunan daerah. Selain itu, karena hasil kuliah masih bisa dilihat dalam kurun waktu sekitar 5tahun, bukankah akan menjadi lebih mudah untuk menentukan parameter keberhasilan gerakan ini? Lihat saja berapa banyak siswa yang lanjut kuliah? Kuliah dimana aja? berapa banyak yang lulus? berapa banyak yang kembali setelah lulus? dan berapa banyak lulusan perguruan tinggi ini yang langsung mengabdi dan berbuat sesuatu bagi daerahnya?
Yeah, just my opinion. Really like to hear yours, fellas…. Bubble out!!!!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda