info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

WILDAN, RANGGA, INTAN, NANDA, TIKA DAN SAYA

Fatia Qanitat 21 November 2010
WILDAN, RANGGA, INTAN, NANDA, TIKA DAN SAYA 12:05 minggu, 14 nopember 2010 Di hari kedua kami di Bengkalis, kamis 11 nopember 2010, menjadi hari yang melelahkan. Satu persatu dari kami yang bertugas di pulau ini di antar ke tempat penugasan masing-masing. Dari sepuluh orang pengajar muda, ada empat orang yang bertugas di pulau Bengkalis yang terbagi dalam dua kecamatan. Wildan dan Babe akan bertugas di kecamatan Bengkalis. Sementara saya, Intan, Nanda dan Tika akan sama-sama bertugas di kecamatan Bantan. Di Benkalis sendiri terdiri delapan kecamatan dengan 102 desa dan m. empunyai dua pulau (pulau bengkalis dan pulau ukat). Selain dua pulau ini, ada beberapa kecamatan yang terletak di daratan sumatera. Dan dari Indonesia mengajar ini, ada empat orang teman saya yang nantinya akan bertugas di kecamatan Pinggir, yang letaknya di daratan sumatera. Mereka adalah Roy, Nene, Pipit, dan Agus. Keempat sahabat saya ini ikut melepas satu-persatu teman kami yang bertugas di pulau Bengkalis. Wildan menjadi orang yang mendapat kehormatan karena diantar paling awal, dengan kami semua sebagai tim dari bengkalis lengkap melepas dirinya di desa ketam putih, kecamatan Bengkalis. Perjalanan dari tempat kami menginap menuju tempat tinggal widan membutuhkan waktu lebih dari satu setengah jam. Kami banyak melewati padang ilalang dengan rawa-rawa di sekitarnya. Jejeran pohon karet dengan pohon pinang serta pohon rambia menjadi pemandangan wajar saat kami melewati perjalanan menuju ketam putih. Pulau bengkalis adalah kepulauan dengan daratan yang menghampar luas, tanpa adanya perbedaan ketinggian tanah. Tidak ada gunung, tidak ada sawah. Yang ada hanya semak-semak dan ibu saya dalam bahasa banjar menyebutnya pahumaan. Wildan, sahabat saya yang lucu dan selalu mengeluarkan kata-kata konyol ini sebenarnya sangat mudah tersentuh hatinya, sama seperti saya. Mata Wildan saat itu sudah mulai berkaca-kaca, dan berusaha keras agar tidak meneteskan air mata, begitu pun saya. Wildan tinggal bersama kepala desa ketam putih. Bapak tersebut berperawakan besar, gempal, dan tampak sangat berwibawa. Saat bertemu dengan kami semua, beliau mengenakan baju koko putih lengkap dengan kopiahnya. Rumanya terbuat dari kayu, dan tampak penuh terisi oleh barang-barang. Saat kami harus melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan rangga alias babe, terpaksa kami harus meninggalkan wildan bersama keluarga barunya. Saya bersedih, wildan bersedih, teman-teman lain pun bersedih. Air mata saya sudah turun sejak tadi, disusul oleh tetesan yang tidak sanggup saya tahan. Melihat wildan berdiri di tengah kami semua lalu ikut meneteskan air mata, membuat saya semakin sulit menghilangkan rasa haru di siang kamis itu. Kami pergi tanpa Widan meninggalkan ketam putih. Merasaakan kesedihan membuat saya tidak terlalu memperhatikan jalan. Tak sampai lima belas menit, mobil kami berhenti, lalu babe pun keluar. Kami sampai di rumah tempat babe akan menghabiskan waktu satu tahun mengabdi di desa pematang dukuh, kecamatan bengkalis. Babe adalah bapaknya anak-anak. Babe dengan logat betawi kentalnya sering mengeluarkan celotehan khas betawi yang selalu membuat kami tertawa. Babe adalah pemimpin kami dari tim bengkalis ini. Tanpa ada kesan menyimpan kesedihan, babe selalu tertawa dan tampak tidak ada beban untuk berpisah dengan kami semua. Saya tetap sedih karena berpisah dengan babe, tapi saya menjadi mampu untuk tidak menangis, karena babe pun tidak menangis. Babe yang harus berpisah dengan tika alias nya’ membuat saya malah iseng terus menggoda mereka berdua. Babe akan tinggal bersama dengan keluarga dari keturunan suku banjar. Babe bahkan dibantu oleh salah seorang guru yang akan mengajar di sekolahan yang sama dengannya dengan disediakan  motor atau dalam bahasa melayu disebut honda (padahal mereka motor tersebut belum tentu honda) sebagai kendaraan babe karena sekolahnnya berada cukup jauh dari tempat tinggalnya. Berbeda dengan wildan yang jarak rumah dengan sekolah hanya membutuhkan waktu lima menit dengna berjalan kaki, babe tampaknya membutuhkan honda bila harus mengajar nanti. Saya sendiri tidak tahu berapa jauh sebenarnya jarak antara rumah dengan sekolah babe, karena kami yang mengantarkan babe tidak sempat berkunjung melihat sekolahnya secara langsung. Matahari sudah condong ke barat. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 saat itu. Sementara kami, empat orang yang bertugas di kecamatan  bantan sudah di tungu oleh ketua camat untuk mengadakan acara penyambutan di kantor kecamatan. Berniat makan siang, terpaksa harus ditunda dulu. Mobil kami berjalan cepat berusaha mengejar waktu. Terlambat tidak bisa dielakkan. Kami baru sampai pukul setengah empat. Acara langsung dimulai dan kami pun diperkenalkan satu persatu dihadapan kepala sekolah dan keluarga angkat kami nantinya. Kami pun siap untuk mengantarkan sahabat kami yang akan bertugas di desa selat baru, intan dari matematika itb. Rumah intan bersebelahan tepat di samping sd tempat ia mengajar nantinya. Bahkan saat intan membuka jendela kamarnya, tampak di sana anak-anak yang sedang berlarian di lapangan sekolah. Keluarga baru intan sangat menyenangkan. Wajah intan tampak berseri-seri saat sampai di rumah barunya, hampir tidak meninggalkan rona kesedihan sedikit pun. Intan hanya tampak begitu tidak sabar menanti hari di rumah dan sekolah barunya. Hati saya menjadi ikut bergetar. Tapi saya masih harus bersabar karena setelah intan, kami masih harus mengantar nanda dan tika terlebih dahulu. Selamat datang di bantan tengah. Tempat tinggal nanda jauh lebih dekat dari yang saya bayangkan. Dari tempat tinggal intan, hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja. Tapi, mereka harus siap melewati jalan yang tidak rata dengan hutan di sekelilingnya. Rumah nanda nantinya lebih mewah bila dibandingkan dengan tiga teman kami sebelumnya. Rumahnya sudah terbuat dari semen dan bertingkat. Keluarga nanda pun mempunyai warung di rumahnya. Keluarga baru nanda adalah orang jawa. Seperti yang nanda bilang, bahwa ia merasa sperti di kampung  halaman sendiri. Mayoritas penduduk di wilayahnya berbahasa jawa, sama seperti daerah aslinya. Sekolah tempat nanda mengajar nanti berbada tidak jauh dari rumah, sekitar 100 sampai 200 meter. Sekolah ini merupakan sekolah mas dasuki, fasilitator kabupaten kami dulu. Oleh karena itu, mas dasuki sekaligus bernostalgia saat kami berada di sana. Lepas magrib, perjalanan kami berlanjut. Mengantarkan tika di tengah kegelapan malam membuat saya merasa mawas. Bangku di sebelah saya yang mulanya diisi oleh intan saat ini sudah kosong. Memandangi suasana di luar membuat saya membayangkan hal yang aneh-aneh dan ketakutan sendiri. Sekitar 17 menit akhirnya kami sampai di sebuah rumah panggung yang juga terbuat dari kayu, yang akan menjadi tempat tinggal tika setahun ke depan. Tika akan tinggal bersama dengan orang tua yang sudah lanjut usianya. Kalau keluarga teman saya sebelumnya ibarat mempunyai bapak dan ibu  baru, maka untuk tika akan mempunyai kakek dan nenek baru. Kami tidak bisa berlama-lama. Malam sudah semakin larut, dan masih ada saya yang harus diantar hari itu. Perjalanan berlanjut. Saya mulai gelisah, karena sadar akan segera berpisah. Kali ini perjalanan membutuhkan waktu yang lebih lama. Hutan-hutan yang dilewati pun semakin panjang dengan rumah yang semakin jarang. Saya menjadi teringat saat pa abu talib (kepala sekolah sd saya) berkata, “ini masih kota,“ sebutnyanya saat bertemu dalam acara penyambutan di kantor kecamatan. “Nanti itu kampung,” ucapnya lagi. Saya bingung. Setelah melewati hampir 40 menit perjalanan, akhirnya saya mengerti. Rumah di sini jauh lebih jarang dibandingkan rumah di desa sebelumnya. Selain itu jarak tempuh ke desa ini pun lebih jauh di banding dengan desa-desa sebelumnya. Walaupun desa bantan air dikatakan sebagai kampung yang berada di desa, tapi ini tidak berlaku bila kalian melihat rumah pa abu, rumah dan keluarga baru saya.

Cerita Lainnya

Lihat Semua