SELAMAT DATANG DI BANTAN AIR
Fatia Qanitat 21 November 2010
18/11/2010, kamis, 13:51
Hening, gelap. Itulah perasaan pertama saya saat berbaring di dalam kamar baru, sendiri, hampir pukul sebelas malam. Keluarga sudah tidur, apalagi warga. Kesunyian dipecahkan oleh suara petir yang tiba-tiba menyambar ditemani butir-butir air yang turun dengan derasnya. Di luar hujan. Tak beberapa lama kemudian, pluk. Lampu mati. Saya tidak bisa tidur. Gelap gulita.
Kegiatan di sini terhenti sejak matahari menyembunyikan diri. Walaupun begitu, setiap pukul 19.30 WIB masih ada beberapa cahaya motor yang terlihat lewat di depan halaman rumah. Sepertinya itu motor bapak-bapak yang baru pulang dari mesjid. Begitulah umumnya bila kita merasakan suasana di desa, yang juga berlaku di bantan air ini, tenang dengan cahaya seadanya. Dan saya, sebagai anak yang terbiasa hidup di kota, harus sadar dan mulai membiasakan diri. Selamat datang di bantan air.
Di desa Bantan Air ini, terdapat lima buah dusun. Beberapa kali saya bertanya tentang ini, tapi sampai sekarang saya belum hapal nama-namanya. Jarak rumah satu dengan yang lainnya cukup bervariasi. Wilayah tertentu jarak rumahnya sangat jarang. Ada sekitar seratus meter jarak tiap rumah, seperti daerah rumah pa Abu ini. Di sebelah timur, jarak antar rumah lebih rapat. Terlebih lagi daerah wilayah suku asli atau akit yang rumahnya bersebelahan satu sama lain. Suku asli ini banyak bekerja sebagai nelayan dan bertempat tinggal di daerah pinggir pantai
Saya sempat kaget ketika mengetahui bahwa warna air di sini seperti warna teh pekat. Saat pertama kali menggunakannya perasaan saya khawatir. Air tersebut terlihat kotor, tapi sebenarnya bersih. Ibu berkata bahwa tidak apa-apa. Tapi hati saya tetap merasa tidak tenang. Terlebih lagi, saat saya harus menggosok gigi pun menggunakan air ini. Saat memasukkan air ke dalam mulut, mata saya pejamkan. Air masuk ke dalam mulut, dan saya mulai sadar bahwa memang tidak ada bedanya antara air yang biasa saya gunakan dengan air ini. Toh, di mulut saya rasanya sama saja. Setelah terus menggunakannya berkali-kali, akhirnya saya pun berusaha membiasakan diri.
Air seperti ini memang baru saya temui di daerah bantan air ini. Saat saya mengantar teman-teman sebelumnya yang bertugas di wilayah bantan tengah, selat baru, pematang duku, dan ketam putih, kondisi air mereka seperti air yang biasa kita kenal. Airnya berwarna bening, seperti air tanah pada umumnya. Selain itu, tidak seluruh daerah bantan air memiliki air yang berwarna merah ini, hanya beberapa wilayah yang kondisi tanahnya adalah tanah gambut.
Di depan rumah, terdapat parit panjang yang posisinya bersebelahan dengan jalan. Kalau kita melihat ke dalam parit tersebut, tampak kotor karena warna air yang mengalir di situ tampak coklat kemerahan seperti teh. Tapi, tiap sore seringkali saya melihat anak-anak bermain di dalamnya, layaknya sedang berenang saja. Saya mengernyitkan dahi saat mellihat itu untuk pertama kali. Ibu yang berada dekat dengan saya langsung berkata, “Bersih itu airnya.”
Hampir seluruh warga di sini adalah orang Jawa. Kata mereka Jawa gadungan. Mereka tidak lahir di Jawa, bahkan banyak yang sebenarnya juga belum pernah ke Jawa. Tapi, mereka fasih berbahasa Jawa. Bahkan dialog sehari-hari di sini lebih b anyak didominasi dengan bahasa Jawa dari pada bahasa Melayu. Mereka menjadi bagian dari orang Jawa melalui keturunan yang terus berlangsung terus-menerus. Riwayatnya, orang tua dari orang tua para penduduk di sini adalah orang Jawa. Dari situlah budaya mereka diturunkan. Sebutan umum untuk mereka adalah Jawa-Bengkalis.
Hampir setiap warga di sini bertani dan berkebun. Khusus pa Abu saja mempunyai banyak sekali kebun di sekeliling rumahnya. Kebun itu belum pula ditambah di tempat lain. Kondisi ini pun memang berlaku hampir di setiap penduduk di wilayah ini, kecuali suku asli. Tanaman yang ditanam ada karet, pinang, kelapa, sawit, rambia, ubi/singkong, durian, dll. Seperti yang dikatakan pa Abu bahwa tanah Bengkalis ini adalah tanah yang kaya dan subur. “Kamu mau tanam apa pun, tumbuh di sini,” ucapnya.
Setiap pagi, setelah sholat subuh, ibu-ibu di sini banyak yang langsung pergi ke kebun untuk menoreh karet. Kebanyakan baru kembali sekitar pukul 10.00 WIB. . Kegiatan yang sama diulang lagi pada sore harinya. Karena ibu Toinah harus mengajar setiap paginya, ibu yang juga selalu pergi menoreh karet, kembali lebih awal. Biasanya ibu sudah sampai di rumah sekitar pukul 06.30 WIB. Sampai saat ini saya belum berkesempatan untuk merasakan secara langsung kegiatan menoreh ini. InsyaAllah hari minggu esok.
Bintik-bintik merah terus bertambah menghiasi tubuh saya sampai saat ini. Itu semua akibat ulah nyamuk-nyamuk begitu ganas. Kalau nyamuk di Jakarta itu banyak, tapi tidak sesakit ini saat menggigit. Selain gigitannya, suaranyanya pun jauh lebih kuat. Saya terganggu? Sedikit. Nyatanya, saya tetap tertidur lelap. Walaaupun bentol hasil gigitan nyamuk di bantan air ini tidak besar, tapi mereka berhasil meninggalkan bekas di hampir sekujur tangan dan kaki saya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda