LINTAS KELAS

Fatia Qanitat 28 Desember 2010
01/12/2010, Rabu, 16:38 Mengajar. Itulah kewajiban utama saya sebagai pengajar muda. Pergi ke sekolah pukul 07.00 WIB dan mulai melakukan kegiatan yang menjadi rutinitas saya setiap harinya. Dari sinilah saya mengenal mereka. Oleh Pa Abu (kepsek), saya diminta untuk mengajar di setiap kelas hingga menjelang pergantian semester nanti. Setiap kelas itu artinya saya akan mengajar di kelas satu, dua, tiga, empat, lima, dan enam. Mengajar apa? Ya mengajar apa saja. Menyesuaikan jadwal pelajaran yang sudah ada. Hari pertama saya berada di sekolah dasar 25 Bantan Air, saya mengajar di kelas satu. Dari sinilah saya mengenal mereka satu per satu. Eko, paling tinggi di kelasnya, paling aktif, selalu punya cara untuk mencontek tulisan kawannya  dan paling tua umurnya. Iin, anak suku asli yang seharusnya tahun ini ia belajar di kelas dua. Bella, anak ka Laila (guru IPS) yang juga bernasib sama dengan iin karena sama-sama harus mengulang belajar di kelas satu. Ada juga Aditya, anak keturan Cina, putih, lucu sekali.  Baru mengajar beberapa menit saja, betul, rasanya suara saya mulai serak. Anak-anak ini begitu aktif . Duduk pertama kali di dalam kelas ini, saya langsung jatuh cinta pada mereka semua. Walaupun mereka luar biasa nakalnya. Sulit sekali meminta mereka untuk sebentar saja diam dan memperhatikan pelajaran. Saya berteriak, berkali-kali. Tapi ini tidak efektif. Mereka memukul-mukul meja, berteriak, berlari-lari, bahkan banyak yang naik ke atas meja. Suara saya serak. Saya harus lebih pandai lagi untuk metode belajar yang tepat untuk digunakan di kelas ini. Jelas setiap anak tidaklah sama. Ada yang begitu suka bergerak, tapi sebaliknya ada juga yang begitu pendiam. Saya baru kenal beberapa anak saja. Mereka yang duduk di sebelah kanan kelas ini jarang berbicara. Setiap saya minta untuk mengucapakan sesuatu, mulutnya sulit sekali terbuka. Sampai akhirnya mereka mau bicara, suara yang keluar pun begitu kecil, memaksa saya untuk maju dan mendekat kepada mereka. Setelah tiga hari bersama anak-anak ini, saya terpaksa untuk pindah dan memulai untuk mengajar di kelas lain. Saya masih mengajar di kelas satu, karena kebetulan kelas satu di sekolah ini ada dua kelas. Saya kembali berkenalan. Ridho, anak yang paling pintar di kelas, tapi sangat suka menggangu kawannya. Eka, anak laki-laki paling tampan yang paling senang mengikuti saya.  Dan Fitri, anak yang sulit untuk berkonsentrasi. Baik dikelas 1 A, atau 1 B, hampir separuh dari jumlah kelas, belum bisa membaca, bahkan banyak yang belum mengenal huruf dan angka sama sekali. Saya masih belum paham apa yang membuat mereka sangat sulit sekali untuk bisa membaca. Kondisi ini membangkitkan semangat saya untuk memberikan pengajaran khusus untuk mereka yang belum bisa membaca setiap pulang sekolah setiap harinya. Masuk di kelas dua. Saya bertemu dengan anak-anak yang luar biasa aktif. Bisa dikatakan dari satu sekolah, anak-anak dikelas inilah yang paling aktif. Tidak banyak, hanya empat orang, tapi rasanya luar biasa. Saya dipaksa memberikan perhatian lebih kepada geng anak kancil ini. Ada Apis (sebagai ketua geng), dengan anak buahnya Aris, Rangga dan Hakim. Sebenarnya geng ini belum lengkap sebelum digabung dengan dua anak kelas satu lainnya yaitu Faiz dan Rio. Hari pertama saya dikelas dua, saya betul-betul disibukkan dengan empat anak ini. Sementara anak yang lainnya luar biasa penurut. Walaupun begitu, hari-hari saya nantinya banyak diisi oleh senyum dan kenakalan geng anak kancil ini. Kelas tiga. Kesan pertama saya masuk kelas ini adalah penuh. Ya, murid di kelas ini, memamng paling banyak bila dibandingkan dengan kelas lainnya, berjumlah 33 orang. Jumlah putra dan putrinya hampir seimbang. Mereka sangat senang bila saya ajak bermain. Pelajaran bahasa indonesia di luar kelas, membuat mereka kegirangan, tapi saya kelelahan. Di kelas ini saya mengenal mala, anak yang begitu pandai bernyanyi. Yeni, yang begitu suka membaca puisi, dan puput, yang begitu senang memanggil saya, “ibu....” begitu sapanya sambil tersenyum bila berjumpa dengan saya. Pertemuan singkat dengan anak-anak kelas empat membuat saya lekas lupa dengan kebanyakan nama mereka. Saya hanya mengajar dua hari, itu pun masih diselingi izin di tengah jam pelajaran, karena saya diminta oleh bu zahra (dari dinas pendidikan) untuk mengikuti rapat di Bengkalis. Saya terpaksa pergi dan mengembalikan hak ajar kepada guru yang bersangkutan. Walaupun begitu, saya ingat beberapa. Fazli, Eko, Hendri, dan Nona. Saat bermain cerdas cermat dengan mereka, Eko, dan Fazli adalah dua anak yang paling sering menjawab. Sementara Hendri saya ingat karena menurut saya ia paling tampan dan bersih (hehehe..--_____--). Sementara Nona, adalah anak yang luar biasa tidak bisa diam. Apapun yang saya katakan pasti ia jawab, ini benar-benar membuat saya kewalahan menanggapi setiap perkataannya. Merekalah  yang membuat saya bersemangat dan tidak pernah bosan datang ke sekolah. Cerita tentang kelas lima dan enam, akan saya lanjutkan nanti. Karena saat ini saya belum sempat bertatap muka dan mengajar mereka secara langsung di kelas (^_^).

Cerita Lainnya

Lihat Semua