“MEREKA” TERPISAH, DEKIL, DAN TAK BANYAK BICARA

Fatia Qanitat 28 Desember 2010
20/12/2010 Sudahkah saya bercerita bahwa di sekolah saya ini terbagi dua golongan utama. Golongan yang terbagi berdasarkan latar belakang agama dan budaya. Mereka yang beragama Islam sebagai golongan mayoritas (Jawa dengan Melayu), dan satu lagi mereka yang beragama budha atau konghucu sebagai golongan kedua yang biasa disebut sebagai masyarakat asli, atau akit. Jumlah mereka memang lebih sedikit, bisa dianggap sebagai kelompok minoritas. Walaupun begitu, di sekolah saya ini, jumlah mereka hampir 40 persen dari jumlah seluruh murid yang ada di sini. Dari 213 orang murid, ada hampir 50 murid yang merupakan suku asli. Kemampuan daya tangkap mereka menurut guru-guru, dianggap lemah. Walaupun diakui ada beberapa anak dari suku asli ini yang juga pandai, tapi yahhhh dari 50 orang mungkin tidak sampai 3 orang jumlahnya. Saya memperhatikan bagaimana interaksi sosial mereka saat di sekolah. Hampir di setiap kelas, mereka duduk terpisah dari kawan-kawan yang lainnya. Seringkali mereka duduk di bangku bagian belakang. Kalau anak-anak suku melayu dan jawa duduk di sebelah kiri, artinya mereka akan duduk di sebelah kanan. Jarang sekali terlihat ada anak dari suku asli duduk berdampingan dengan suku melayu atau jawa. Mereka memang tidak tampak sebersih dan serapi anak-anak dari suku lainnya. Baju mereka kumal. Warna kulit mereka cenderung lebih gelap, sehingga menimbulkan kesan kotor. Untuk anak suku asli keturunan cina, tentu kulit mereka lebih putih, walaupun begitu mereka tetap tampak dekil. Karena mata pencaharian orang tua mereka mayoritas sebagai nelayan, kebanyakan suku asli ini tinggal di pinggir pantai. Amis bau ikan tertinggal di baju seragam mereka. Hal inilah yang seringkali menjadi penyebab anak-anak dari suku lain enggan untuk berdekatan dengan mereka. “Bau bu,” jawab salah satu anak saat saya tanya mengapa ia tidak bermain dengan anak dari suku asli. Bahkan salah satu guru pun mengaku tidak tahan dengan bau amis mereka. Seringkali anak-anak suku asli yang mendekati guru tersebut diminta untuk menjauh karena sang guru merasa mual akibat mencium bau yang keluar dari diri mereka. Mereka menjadi pendiam bila bergabung dengan teman-temannya. Tapi saya tahu bahwa mereka sebenanrnya sama. Sama seperti anak-anak lainnya. Senang bermain, aktif, bahkan sangat cerewet. Sayangnya bila di sekolah, mereka cenderung tak banyak bicara. Kata Hokim, siswa kelas lima, “Malu bu.” Mendengar jawaban singkat darinya, membuat saya terenyuh. Saya tanya lagi, “Kenapa  malu?” Hokim hanya tersenyum. Hokim anak yang sangat pintar. Sayang, ia tidak menunjukkan kepintarannya. Alasannya sama seperti tadi, karena ia malu. Akibatnya, guru tidak mengetahui bahwa anak tersebut sebenarnya sangat pandai menghitung. Pernah dalam satu kali mata pelajaran matimatika, saya menantang anak-anak kelas lima untuk menghafalkan perkalian satu sampai sepuluh. “Siapa yang bisa menjawab lima soal perkalian dari ibu, baru boleh pulang!!” ucap saya lantang. Tentu mereka mengeluh. Satu kelas meminta, memohon, “Ibu, tiga soal aja deh, yaaa....” kata mereka. Tapi saya tidak bergeming. Lalu, satu persatu anak maju ke depan berusaha menjawab tantangan saya. Dan mereka kesulitan. Anak-anak yang berasal dari suku asli tidak ada yang mau maju ke depan. Mereka diam. Setiap saya tawarkan untuk maju, mereka menggeleng dan tampak enggan. Satu per satu kawan-kawan mereka akhirnya bisa pulang. Saya tersenyum sampai menyadari bahwa di kelas hanya tersisa enam orang yang mereka semua adalah suku asli. “Ayo, kalian tidak akan pulang sampai kalian bisa menjawab lima perkalian yang ibu berikan,” ucap saya. “Semua teman-teman kalian sudah pulang, kenapa kalian tak mau maju ke depan?” tanya saya. “Malu bu,” jawab Wiling, salah satu siswa dari suku asli. Berdirilah Hokim. “Bu, saya mau!” Dan di luar dari bayangan saya, ternyata dia benar-benar mampu menjawab soal yang saya berikan dengan cepat. “Kenapa kamu tidak maju sejak tadi? Harusnya kamu sudah bisa pulang, hebat,”  puji saya padanya. Hokim tersenyum dan memberikan jawaban yang sama dengan Wiling, “Malu bu.” “Ayo, Pin, masa kau tidak tahu. Ini semua di kelas sisa anak-anak asli saja. Jelaslah makin bodoh kita terlihat nanti. Suku asli bodoh, suku asli bodoh,” kelakar Hokim yang disambut tawa oleh yang lainnya saat menyemangati Apin yang tak kunjunga mampu menjawab pertanyaan dari saya. “Semua anak ibu pintar, tidak ada yang bodoh. Ayo Apin hitung pelan-pelan saja, pasti bisa,” sela saya menyambung perkataan Hokim. Saya tahu bahwa ucapan itu hanyalah guyonan mereka saja. Tapi hal ini menegaskan bahwa anak-anak ini menyadari dan merasakan secara penuh prasangka yang melekat pada diri mereka. Mereka tahu bahwa orang-orang menganggap diri mereka bodoh. Sayangnya, anak-anak ini terjebak dalam prasangka itu, tanpa mempunyai kesempatan mungkin juga kekuatan untuk melawannya. Mereka memang terpisah, dekil, dan tak banyak bicara, tapi mereka sama seperti anak-anak lainnya. mempunyai potensi yang luar biasa. Dan kita, tidak bolem memadamkannya.

Cerita Lainnya

Lihat Semua