MENJADI GURU SEMINGGU

Fatia Qanitat 1 November 2010
Minggu ini saya belajar baanyak dari teman-teman, adik-adik, anak-anak dan sahabat-sahabat dari SDN Pancawati 1. Melakukan praktik mengajar memang tidak bisa disamakan dengan sekadar mengajar teman-teman pengajar muda saat micro teaching di minggu sebelumnya. Anak-anak dengan kepolosan dan kenakalan mereka, jauh membuat saya merasa kelelahan. SDN Pancawati memang istimewa. Adik-adik dari SD ini sebelumnya selalu meramaikan akhir pekan kami dengan bermain dan melakukan ekstrakurikuler bersama. Bisa dikatakan kami sudah mengenal meraka jauh sebelum melakukan praktik mengajar ini. Karena sudah kenal, tentu ini lebih mempermudah kami dibandingkan dengan teman-teman yang mengajar di sembilan SD lainnya. Begitu yang dikatakan a-heng alias hendra kepada saya beberapa hari yang lalu. “Curang, ye curang,” sebut a-heng. Walaupun  begitu, saya sangat yakin seyakin-yakinnya kalau ini tidak mudah seperti apa yang a-heng katakan. Anak-anak itu tetap berlaku seperti anak-anak yang lainnya. Ada yang rajin  memperhatikan, ada yang rajin menjaili temannya di bangku belakang, ada yang senang tertawa-tawa cekikikan, ada yang kebingungan dalam mencerna materi yang diberikan, ada yang sangat bersemangat dan selalu menunjuk tangan, ada yang diam dan malu jika di suruh ke depan, ada yang ngantuk dan menggulung tangan, bahkan di kelas intan, agus dan wildan mereka tidak segan menangis tersedan-sedan. Baru satu jam saya mengajar di kelas satu, suara saya serak-serak. Saya berkesepatan untuk terlibat langsung dalam pengajaran di kelas enam, lima, empat, dan satu. Di antara empat kelas tersebut saya rasa kelas satu adalah juaranya. Walaupun saat mengajar kelas empat dan lima saya tidak menyiapkan RPP, saya tidak terlalu merasa kelelahan. Mungkin karena adik-adik di kelas tersebut sudah lebih besar sehingga lebih mudah untuk menerapkan tata tertib kelas pada mereka. Berbeda dari anak kelas satu yang begitu bersemangat bila harus menjawab soal, anak kelas empat, lima dan enam terkadang harus dipancing dulu agar mau maju ke depan. Seperti yang kepala sekolah sarankan kepada kami sebelumnya, “Kalau belum mengajar kelas satu belum terasa mengajarnya,” kata pa Momon kepada kami sambil tertawa. Dan itu terbukti. Tapi jelas, walaupun lelah, saya sangat senang saat mengajar adik-adik di kelas satu ini. Ada beberapa hal yang saya ingat benar dan menjadi sesuatu yang paling saya kenang saat mengajar di sini. Pertama adalah saat kami bersama anak kelas enam belajar sambil berjalan-jalan ke curuk kahuripan. Kedua saat metro tv datang dan ketiga saat perpisahan. Berjalan-jalan di pinggir tebing sebelumnya pernah saya lakukan. Tapi yang kali ini benar-benar menakutkan. Jantung saya sebenarnya berdetak kencang, tapi sulit saya ungkapkan. Di depan dan dibelakang saya ada anak-anak berbaris bersama saya ikut menyusuri jalan yang sebenarnya membuat saya ketakutan. Saya yang biasanya merengek dan memperlihatkan bentuk kekhawatiran saya, menjadi saya yang tidak biasanya. Akan sangat lucu apabila anak-anak dengan langkah yakin dan berani didampingi oleh kaka guru yang ragu bahkan ketakutan. Ya, saya berusaha menghilangkan hal itu, dan ini jelas membuat saya kagum terhadap diri saya sendiri. Dan satu hal lagi adalah saat heggy datang memberitahukan bahwa metro tv akan datang untuk merekam proses pengajaran yang tengah saya dan wildan lakukan. Alhasil, saya masuk tivi dan teman-teman saya ada yang meng-sms dan me-twit saya karena kaget melihat saya yang ada di  metro tv. Senang sekaligus merasa aneh karena saya sebagai lulusan jurnalistik yang terbiasa meliput sebuah peristiwa malah sekarang menjadi target peliputan.  Kejadian terakhir adalah saat perpisahan kembali terulang. Kenapa terulang? Karena perpisahan ini sudah dilakukan sebelumnya saat hari ekstrakurikuler terakhir dan mereka menangis. Saya pun sedih, tapi batal untuk menangis saat mendengar lagu karangan mereka yang dengan kreatifnya mengubah lirik dari sebuah lagu yang membuat saya menjadi tertawa akibat mendengarnya. Dalam lagu gubahan, mereka menyebutkan rasa terima kasihh mereka karena telah diajarkan supermen wuss dan tepuk pede. Dan ini berhasil membuat tawa saya tidak berhenti. Kesedihan ini kembali saya rasakan saat perpisahan itu terjadi lagi pada hari sabtu lalu. Mereka membacakan puisi, mempersembahkan lagu, memberikan surat dan kenang-kenangan, dan bersalaman satu persatu dengan kami. Terima kasih adik-adikku sayang, maafkan kaka guru yang sering berteriak-teriak di kelas dan sering lupa dengan nama adik-adik. Kaka guru sangat berharap kalian dapat menggapai apapun mimpi yang kalian rangkai.

Cerita Lainnya

Lihat Semua