KEJUTUAN DARI INDONESIA MENGAJAR

Fatia Qanitat 21 November 2010
Sabtu, 13 Nopember 2010 Seharusnya saya sudah menuliskan cerita yang terjadi pada tanggal 8 nopember ini empat hari yang lalu. Biarpun begitu, saya ingin menuliskannya seakan-akan kejadian tersebut masih lekat dan benar-benar baru terjadi. Hari senin lalu saya sebagai pengajar muda mendapat sebuah kesempatan untuk bertemu dengan wakil presiden, Boediono. Rencana bertemu beliau sudah dijadwalkan sejak beberapa hari sebelumnya, sehingga kami semua sudah melakukan banyak persiapan untuk berhadapan dengannya. Kami mengatur dan mendesain agar memperoleh kesempatan untuk berfoto bersama juga sendiri-sendiri bersama beliau. Bahkan, pertanyaan apa yang akan kami ajukan saat audiensi, sudah kami rancang beberapa hari sebelumnya. Siap sedia. Begitulah kondisi hati saya pada saat itu. Agenda selanjutnya dibentuk oleh panitia IM (indonesia mengajar). Pada hari yang sama, tidak saja akan bertemu dengan wakil presiden, kami juga akan bertemu dan melakukan dialog bersama mantan wakil presiden, JK. Walaupun begitu, sebenarnya saya tidak terlalu antusias menyambut pertemuan tersebut. Tapi saya sangat antusias menyambut kesempatan untuk bisa berfoto bersama mereka berdua. Boediono bukanlah sosok yang saya ikuti perkembangannya, begitu pula dengan JK. Dulu saya ingat pernah melakukan liputan saat masih magang di Harian Bisnis Indonesia yang mempertemukan saya beberapa kali dengan JK, namun saya belum pernah bertemu dengan Boediono sebelumnya.  Menyenangkan melihat kedua sosok yang berbeda dari mereka berdua, yang sama-sama pernah menjabat sebagai wakil persiden SBY. Saya kemudian menjadi sangat mengagumi JK melalui keberaniannya untuk menjadi seseorang dengan pemikiran yang tidak biasa-biasa saja. Pa Anies (red: Anies Baswedan) beberapa kali menyebut dirinya sebagai out of the box. Lalu julukan itu dibalas oleh JK, “Saya bukan keluar dari kotak, tapi saya membuka kota lalu mengubah kotak itu. Di dunia ini hanya ada satu hal yang tidak boleh diubah, yaitu Al-Qur’an dan Hadist, yang lainnya boleh.” Saya tertawa. Boediono merupakan seseorang yang tenang, terstruktur sekaligus mengalir seperti air. Membosankan, bisa saya katakan seperti itu. Beliau sosok yang kebapakan, mengayomi, tapi kurang ekspresif. Jadi, kalau berhadapan dengan diri saya yang meledak-ledak dan spontan ini tentu akan terasa hambar. Berdialog dengannya terasa datar, tapi saya mencoba bertahan karena ada satu hal yang tidak mau saya lewatkan.  Dalam kata-katanya, Boediono sering menyelipkan kata-kata bijak yang sangat bernilai untuk sayang kalau dilewatkan. Ucapannya yang paling saya ingat adalah mengenai kesungguhan. Ia tidak meminta kami untuk bermimpi tinggi-tinggi. Ia tidak meminta kami menjadi seseorang yang luar biasa. Ia tidak meminta kami melakukan sesuatu yang sangat berarti. Ia hanya mengatakan lakukan apa yang ada saat ini. “Saya tidak pernah bercita-cita menjadi wakil presiden dan duduk di sini. Waktu itu saya hanya ingin menjadi dosen, mengajar di depan kelas. Saat saya menjadi dosen, tiba-tiba datang tawaran menjadi gubernur BI, dan di sinilah saya saat ini,” papanrya. Melakukan sesuatu secara sungguh-sungguh terhadap apa yang tengah kita hadapi saat ini merupakan hal yang utama. Bagi Boediono, jalanilah semua itu dengan ikhlas, karena pintu akan terbuka dengan sendirinya. Saya terdiam. Lalu, kejutannya apa? Ternyata IM sudah menyiapkan bintang tamu bagi kami secara sembunyi-sembunyi, karena tidak ada yang tahu dan memang hal ini tidak dituliskan di dalam agenda kegiatan. Bersiap-siap pulang lepas dari pertemuan dengan JK saya lakukan dengan segera karena saya merasa sangat kelelahan. Bahkan beberapa teman langsung menuju bus.  Tapi niat kami terhalang, karena Mas Susilo tiba-tiba memanggil dan mengumpulkan kami semua di aula kampus Paramadina. Mas Susilo berbicara basa-basi menjelaskan kelengkapan barang yang harus kami bawa saat deployment dua hari lagi. Teman di samping saya berkata, “Duuhh, beginian kenapa ga dibahas di asrama aja sih nanti.” Tapi tidak beberapa lama kami diminta untuk masuk ke ruangan karena katanya Pa Anies mau menyampaikan sesuatu.Saya mulai merasa malas dan masuk diurutan belakang. Beberapa teman saya berlari ke dalam dan mulai mengerubungi satu tempat di dalam ruangan tersebut. Saya menjadi bingung, saya tarik tangan salah seorang teman yang berada di dekat saya, “Ada apaan sih? Siapa?” “Iwan Fals!!” jawabnya sambil berlari menuju titik yang dipenuhi oorang-orang. Saya pun ikut berlari dan saya terkejut melihat.  Benar, di situ Iwan Fals duduk di samping Pa Anies dikerumuni oleh pengajar muda yang memaksa menjabat tangannya. Sebenarnya saya tidak terlalu ng-fans dengan Iwan Fals, hanya tahu beberapa lagu-lagunya. Lagi pula, siapa sih yang tidak mengenal Iwan Fals? Pasti orang tersebut dianggap udik oleh kebanyakan orang. Bahkan bagi kedua orang pengajar muda (mba Ayu dan Soleh), Iwan Fals adalah legenda sekaligus idola sekaligus inspirator yang luar biasa. Sementara bagi saya, dia adalah artis dengan kekayaan lagu-lagu ciptaannya dan tentu sangat terkenal. Lalu pikir saya, pasti mengasikkan memperlihatkan foto saya bersama dia kepada teman-teman kampus yang mengaguminya. Ini kejutan bagi kami pengajar muda. Kejutan yang sangat menyenangkan. Karena, kapan lagi bisa melihat artis sekarismatik Iwan Fals secara langsung dan eksklusif. Bahkan saya ikut bergetar merasakan kegembiraan dan tangisan dari kedua sahabat pengajar muda yang begitu mengagumi dia. Kejutan ini menyenangkan sekaligus membuat kami menjadi ketagihan. Sharing bersama Iwan Fals, dengan bonus tembang doa, puisi dan lagu, juga foto membuat kami kompak meminta “Lagi, lagi, lagi...” Karakteristik manusia memang tidak akan pernah puas. Pertemuan itu tuntas dalam waktu satu jam lebih sedikit. Terima kasih IM. Terima kasih seluruh tim yang begitu berusaha untuk menyediakan kejutan dalam tahap-tahap terakhir kami sebelum keberangkatan. Dan terima kasih untuk tokoh-tokoh yang telah berbagi dan memberikan kesempatan bagi kami untuk bersama walau sebentar saja.

Cerita Lainnya

Lihat Semua