info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sanga Nale

Farli Sukanto 15 Maret 2015

Siang itu cuaca di dusun Oeulu sangat kelam. Awan-awan mendung menggantung di langit. Angin juga mengacak daun-daun pohon lontar. Debur ombak yang menabrak panggung batu karang di belakang rumah perlahan menyatu dengan gemericik hujan lebat yang turun menghantam atap seng dari rumah yang saya singgahi untuk berteduh.

“Begini sudah kalau musim Sanga Nale berakhir, dia hujan besar.” Si Empunya Rumah, Bapak Latumanase, penjabat sekretaris desa setempat menjelaskan sambil menunjuk ke luar jendela rumahnya. Kebetulan, kemarin malam, Si Bapaklah yang menemani saya melihat tradisi tahunan di dusun ini, Sanga Nale.

Sanga berarti mencari dalam Bahasa Rote di Nusak Bilba. Saat ini Nusak Bilba adalah area memanjang dari selatan ke tenggara dari Kecamatan Rote Timur. Sedangkan Nale adalah nama makhluk laut yang jadi primadona dalam tradisi tahunan ini. Bentuknya menyerupai cacing tanah tapi dengan tubuh yang lekas hancur, sentuhan lembut pun bisa membuatnya tercerai berai. Warnanya hijau tosca menawan, hidupnya berkoloni di laut. Mereka muncul hanya dua hari dalam satu tahun, saat itulah warga Dusun Oeulu memanennya untuk disantap dalam tradisi Sanga Nale.

“Dua hari yang lalu itu teman-teman Pak ada buat salah, makanya Nale sonde muncul lai.” Bapak Latumanase memberi tahu.

Waktu mencari Nale kemarin saya memang kurang beruntung, karena sangat sedikit Nale yang bisa diambil, bahkan beberapa orang pulang dengan tangan hampa. Saya pun diperingati sebelumnya agar tidak dekat-dekat dengan pantai, tidak berfoto menggunakan lampu kilat, hingga dihimbau menggunakan celana pendek. Sehari sebelumnya memang ada beberapa rekan Pengajar Muda sudah hadir lebih dulu mencari Nale. Karena tidak ada peringatan dan juga tidak bertanya, ada yang sempat berfoto dengan lampu kilat.

“Kalau ada lampu blits lalu orang-orang yang punya status tinggi seperti Pegawai Negeri atau Guru turun ke laut, Putri Mandalika takut.”

 

Alkisah hiduplah seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Mandalika. Keelokan paras dan kebaikan hatinya menawan hati para pangeran dari seluruh penjuru pulau. Dikisahkan, para pangeran datang silih berganti ke istana untuk meminang. Entah apa yang menjadi keberatan hatinya untuk menolak. Mungkin tidak mau menyakiti hati para pangeran yang terlanjur jatuh padanya. Semua pinangan pun dia terima!

 

Kemarin, berbekal ember untuk menampung Nale, saya dipandu seorang adik perempuan di tempat saya tinggal berjalan ke Pantai No Kisi (dalam bahasa setempat artinya Satu Kelapa). Dari kampung, kami menyusuri pasir dan karang ke arah matahari yang sebentar lagi tenggelam di horison. Sudah banyak keluarga-keluarga berkumpul di sana, kelap-kelip titik-titik senter dan lampu kepala mereka di kejauhan mempercantik warna-warni angkasa sore yang mencampur warna jingga, merah muda, biru dan ungu sekaligus.

Bapak, Ibu, dan anak-anak turun ke laut. Bapak menahan ombak yang datang dengan jala, Ibu berharap Nale terperangkap dalam halauan jala Bapak, sementara anak-anak sibuk berteriak, menunjuk-nunjuk Nale yang datang bersama ombak, sambil menenteng ember penampung Nale tangkapan Bapaknya.

Mereka sebenarnya mungkin bisa tinggal di rumah untuk melakukan hal lain. Pun di rumah ada sayur-sayuran dari kebun atau mi instan yang bisa dan biasa disantap, tidak terlalu mendesak untuk menangkap Nale di laut. Tapi ini adalah tradisi, penghargaan akan nilai-nilai baik dari cerita asal mula Nale yang diwariskan leluhur secara turun temurun. Terlebih ini adalah sebuah identitas, sebuah kebanggaan sebagai pribadi dan bagian komunitas. Jadi turunlah Bapak mengajak istri dan anak-anaknya ke laut.

 

Mengetahui semua pinangannya diterima, para pangeran geram. Mereka memutuskan untuk menggelar perang besar-besaran untuk mencari siapa yang terhebat. Yang terhebatlah yang nantinya berhak meminang Putri Mandalika.

Berita perang sampai ke telinga Putri Mandalika. Ia menyesali kelemahan hatinya yang tidak sanggup menolak pinangan pangeran. Tapi bagaimana pun pertumpahan darah tidak boleh terjadi.

 

Kira-kira satu jam malam itu kami lalui sia-sia. Ember-ember hanya berisi sedikit Nale saja, bahkan beberapa benar-benar kosong. Padahal biasanya, dalam perjalanan pulang ini orang-orang akan sibuk memanggul satu atau dua ember berisi penuh Nale, lalu mengolahnya sebagai santapan di rumah.

“Rasa dagingnya seperti daging ikan tapi lebih berminyak. Baunya amis, tapi tidak terlalu juga,” jawab Bapak Latumanase saat saya penasaran akan rasa makhluk menyerupai cacing tanah ini. Biasanya warga dusun hanya merebusnya dengan air laut.

Lalu saya mengajukan pertanyaan pamungkas,”Lalu kermana Pak dong tahu kapan harus pi laut dan Sanga Nale?”

Si Bapak terdiam sejenak, sepertinya dia agak kesulitan merangkum sesuatu yang sudah bisa dijalankannya secara alami ke dalam bahasa lisan. Tapi kemudian penjelasannya menarik. Jadi warga dusun akan menanti hadirnya bulan mati di antara bulan Februari dan Maret. Penjelasan lain dari Bapak Latumanase menggunakan penanda ketinggian air laut, saat air laut tidak pasang naik atau turun terlalu tinggi, saat itulah mereka melaut mencari Nale.

Namun satu hal yang saya ingat betul,saya mencari Nale di bawah bulan separuh atau bulan kuarter ketiga, bukan bulan mati seperti yang diceritakan Bapak Sekretaris Desa. Saya yang tertarik segera memastikannya dengan fakta-fakta sains. Dan ternyata ada beberapa hal yang justru bertolak belakang. Jika warga menunggu pasang naik terendah dan pasang surut tertinggi, seharusnya yang dinanti adalah bulan kuarter pertama atau ketiga, yaitu bulan separuh.

 

Malam itu bulan mati.

Putri Mandalika mengumpulkan seluruh warga termasuk para pangeran di Pantai No Kisi. Semua siap mendengar keputusan Sang Putri terkait pinangan para pangeran. Sang Putri berdiri di atas sebuah batu karang tepat di pinggir laut. Berpasang-pasang mata dan hati masyarakat yang penasaran menanti. Namun bukan menjatuhkan pilihan, Putri Mandalika malah menerjunkan dirinya ke laut. Rakyatnya hanya bisa meratap. Bagi Putri Mandalika, kematiannya adalah satu-satunya jalan menghindarkan perang besar yang akan terjadi. Konon, kemudian terdengar suara Putri Mandalika berpesan. Bahwa dia akan kembali satu tahun satu kali. Untuk membagi cintanya kembali pada rakyat yang dicintainya.

 

Jadi kenapa Nale tidak muncul? Apakah Bapak Latumanase salah ingat atas pesan leluhurnya, bulan mati atau bulan separuh? Tapi cerita rakyat menuturkan demikian. Atau saya yang salah ingat? Atau saya yang salah mengaitkan data fase bulan dan pasang surut air laut, toh saya hanya mendapatkannya dari internet?

Atau Nale sedang tidak ingin muncul saja? Mungkinkah sedang migrasi ke pantai lain?

Bapak Latumanase kemudian bercerita mungkin saja ada kesalahan lain yang masyarakat perbuat hingga Nale enggan muncul. Sudah lama tidak lagi digelar ritual sebelum melaut Sanga Nale. Seharusnya seorang tetua adat menyanyikan syair tanda syukur atas kedatangan Putri Mandalika dalam wujud Nale. Dan tahun depan, beliau akan memastikan tradisi ini digelar kembali demi terjaganya tradisi.

“Namanya adat, kalau bukan katong yang jaga siapa lagi to?”

Kebetulan hujan baru saja habis, pertanyaan retoris Si Bapak menjadi penutup bincang-bincang kami siang itu. Kami berpisah melanjutkan kegiatan masing-masing, saya ke Timur, dia ke Barat.

 

Sang Putri selalu kembali dalam bentuk cacing-cacing berwarna cantik. Menepati janjinya, rakyat dapat mengambil dan menikmatinya. Satu tahun satu kali mereka memperingati.

Pengorbanan adalah sesuatu yang mulia.


Cerita Lainnya

Lihat Semua