Raw Material

Fardhady Himawan Kusumo Hanggara 21 Februari 2013

"daripada susah-susah menuju akses ke suatu daerah, mending kita buat jadi satu sekolah saja. Terus semuanya di buat asrama. Pasti tidak ada lagi cerita tentang guru yang jarang datang, kualitas guru tidak merata, siswa yang telat sekolah dll" kata saya saat itu.

 

"itu tidak bisa, karena kalau dijadikan satu seperti itu mereka tidak punya raw material" kata salah satu PM kapuas hulu juga

 

Saat itu memang saya tidak mengerti apa sebenarnya yang disebut raw material itu. Namun lambat laun saya mulai tersentil dengan kata raw material itu. Yang saya pahami tentang raw material hanya suatu kekhususan perilaku yang berdasar tempat hidupnya. Biasanya bergantung pada perilaku dan sifat lingkungan suku dan masyarakatnya.

 

Entah kenapa kata ini benar-benar terngiang di kepala saya tentang apa sebenarnya raw material itu. Saya terus menggali, sambil mendengar cerita dari para teman-teman saya. Bahkan ada cerita tentang teman PM di rote yang sampai kacamatanya pecah karena dilempar batu oleh seorang muridnya. Bahkan ada cerita dari daerah lain (bukan daerah para PM mengajar) sampai-sampai seorang murid datang membawa sebotol arak ke gurunya dan mengajak minum bersama.

 

Apakah yang seperti ini wajar jika disebut sebagai raw material?

Lalu apa sebenarnya raw material itu?

Sepenting apakah raw material itu?

 

Jika dibilang penting sih, pasti. Jangan tanya itu. Saya menyadari ketika datang ke Nanga Bungan, yang saya rasakan adalah orang-orang disini terlalu kuat untuk berenang di sungai, terlalu kuat untuk berjalan di gunung, dll. Sejak itulah saya mulai membuka mata tentang raw material.

 

Setelah berjalan beberapa bulan, sepertinya saya juga disuguhi efek "buruk" dari raw material itu sendiri. Seperti keadaan masyarakat yang tidak sopan, sosialisasi dengan orang sendiri aja susah, apalagi dengan pendatang, kuat minum, etos kerja bisa dibilang "malas gerak", gerak jika hanya perlu saja. Saya menyadari inilah yang selama ini terbentuk oleh masyarakat . Sehingga dapat saya masukkan juga ke dalam raw material orang disini. Sampai saat ini saya bingung apakah raw material harus dilenyapkan atau tetap dipelihara untuk menjadi suatu keunikan dari warga disini? Apakah jika kami mencoba mengajarkan sesuatu yang berlawanan dari raw material juga termasuk dalam tindakan merusak kekhususan suatu masyarakat.

 

Sampai saat ini saya masih belum mengerti dan belum mengambil keputusan tentang hal ini. Juga saya masih berpikir keras, bagaimana kita bisa memajukan pendidikan sambil menjaga raw material itu. Memang ada juga sistem yang disebut student centered. Namun saat itu bisa dilakukan, oknumlah yang menjadi sebab mengapa pendidikan di Indonesia seperti terpisah palung dan gunung.

 

Lalu, apa yang kamu pikirkan?

Kira-kira apa solusinya?


Cerita Lainnya

Lihat Semua