info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Di Depan Rumah Pak Mantan

Fajrie Nuary 1 April 2014

Sore itu matahari masih bersinar terang, hangatnya sinar matahari mengiringi langkah ini menuju rumah warga di RT 01. Tujuanku kali ini adalah rumah sekretaris kampung untuk bayar uang transportasi yang digunakan saat mengambil uang beasiswa murid-muridku. Bapak sekretaris yang sedang sibuk memotong kayu sore itu membuatku harus menunggu beliau. Sambil menunggu beliau kulihat ada bapak mantan kepala sekolah yang sedang asik berdiri menyandar ke jembatan sambil melihat orang-orang yang bekerja di rumah bapak sekretaris. Segera saja kudatangi bapak kepala sekolah untuk mengobrol sambil berbagi kearifan dengan beliau.

Cuaca menjadi topik pertama kami saat itu, kondisi laut yang mulai membaik ternyata kata pak mantan akan segera berubah jadi buruk lagi, karena memang begini siklusnya kalau musim barat. Aku hanya bisa menelan ludah saat mendengarnya. Tidak lama bicara ringan pak mantan langsung menanyakan kepala sekolahku yang baru saja diganti. Banyak hal yang kami bicarakan saat itu, yang intinya adalah yang lalu biarlah berlalu, saat ini kita harus menatap masa depan dan merancangnya dengan baik agar sekolah kita makin maju lagi. Selanjutnya pak mantan mengajak diriku memasuki ruang nostalgia miliknya, saat-saat dimana ia sendirian mengajar di pulau ini.

Tahun 1986 pak mantan mendirikan sekolah di kampung ini dengan dukungan dari seluruh warga. Sebelum sekolah di kampung ini ada, para murid dari kampung ini harus ke kampung sebelah dengan mendayung perahu. Jika sedang musim angin timur, para murid akan mendayung lewat belakang pulau. Sebaliknya, jika sedang musim barat, para murid akan mendayung lewat depan pulau. Saat itu untuk sekolah rasanya “setengah mati”. Kesulitan warga berkurang ketika diputuskan di kampung akan dibuat sekolah paralel dengan sekolah kampung sebelah. Jadi, para murid kelas 1-4 dari kampung ini akan bersekolah di kampung ini, sedangkan kelas 5 & 6 masih sekolah di kampung sebelah, sistem ini berlangsung sampai tahun 2008.

Pengabdian pak mantan di kampung ini sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Sejak tahun 1986-2008 guru-guru yang mengajar di sini pergi-datang, hanya pak mantan lah yang setia sampai sekarang. Tidak jarang pak mantan menjadi single fighter bertahun-tahun ketika memang tidak ada teman guru yang ditugaskan di sini. Selama bertugas di sini, pak mantan turun ke kota sekitar 2 atau 3 bulan sekali untuk mengambil gaji dan jatah beras. Ada cerita miris ketika pak mantan mau ambil jatah berasnya selama 3 bulan, tapi ternyata berasnya diambil oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, pak mantan pun pulang ke kampung dengan tangan kosong hanya bermodalkan lembaran-lembaran rupiah dari gajinya.

Bertugas di pulau yang jauh dari kota ini tentu bukan tanpa tantangan, aku sendiri sudah mengalaminya langsung. Melewati 2 musim ekstrim setiap tahunnya, yaitu musim angin timur dan angin barat membuat warga tidak bisa sering ke luar pulau. Angin musim barat yang paling ditakuti di sini, disebut juga musim janda karna banyak menelan korban para nelayan. Berpuluh tahun mengajar di pulau ini, ternyata membuat pak mantan mengalami peristiwa yang akan dikenangnya selalu, tenggelam. Terhitung 3 kali sudah perahu yang ditumpangi pak mantan tenggelam di laut, karna muatan yang terlalu banyak menyebabkan air masuk ke perahu dan perahu terbalik. Tapi Yang Maha Kuasa masih mengizinkan pak mantan lolos dari near death experience itu sebanyak 3x.

Meski mengajar sendirian, meski kehilangan jatah beras, meski hampir mati tenggelam berkali-kali, pak mantan tidak lelah berjuang. Mencerdaskan para murid adalah panggilan hatinya, ya ia adalah seorang guru yang bekerja dengan hati, guru panggilan hati. Sore itu sekali lagi aku belajar tentang pengorbanan, perjuangan, ketulusan, dan pentingnya menjalani profesi dari hati. Dari beliau juga diriku belajar bahwa hidup itu sejatinya tentang memberi, berilah sebanyak-banyaknya dan kita akan lihat keajaiban apa yang terjadi di hari kemudian.


Cerita Lainnya

Lihat Semua