Kalembo Ade - Kata Cinta Pertama dari Bima

Faisal Jamil 26 Juni 2012

13 Juni 2012

“Kalembo Ade”, kata pak Basyirun. Seorang pegawai Dikpora kabupaten Bima yang hadir di acara pelepasan Pengajar Muda angkatan 4 di Istana Wakil Presiden. Kata beliau, kata itu yang sering digunakan untuk kata nasihat di Bima. Kami hanya mengangguk mengiyakan, sambil berusaha mengulang kata itu.

16 Juni 2012.

“Kalembo Ade, ini kata yang akan kalian dengar ribuan kali ketika ada di Bima”, terang salah seorang PM2. Ingat betul aku. Artinya berhati besar. Ini kedua kali kami diterangkan mengenai kata Kalembo Ade. Lagi, kami tanpa perintah mengangguk dan mencoba mengulang kata-kata itu ketika bertemu dengan orang.

21 Juni 2012.

Hari ini akan menjadi hari pertama aku menginjakan dusun Tambora. Tak sabar rasanya, tapi sedikit ada rasa khawatir. Pasalnya, itu daerah yang akan menjadi tempat tinggalku selama satu tahun ke depan. Pertanyaan bagimana daerah itu nantinya dan bagaimana penerimaan masyarakat kembali menggelayuti pikiranku.

..

Sekitar pukul 1 siang, aku di beritahu mas Habib jika ojek sudah datang. Untuk menuju ke dusun Tambora, memang paling masuk akal menggunakan motor / ojek. Bang Iswan nama ojeknya. Belakangan kuketahui, dia seumuran denganku. Sama tahun lahirnya. Perawakannya sudah terlihat lebih matang, mungkin karena beratnya pekerjaan. Kami naik motor bertiga. Bang Iswan menyetir, aku di tengah, dan mas Habib di belakang. Ke “rumah keduaku” untuk yang pertama kalinya. Aku belum bisa membayangkan dengan pasti keadaan jalan menuju kesana, meski sudah diceritakan kalau perjalanan akan sulit.

Perjalanan sekitar 1 jam menggunakan motor dengan kecepatan tinggi. Eitss, kecepatan tinggi bukan berati jalannya lurus dan mulus. Jalan setapak yang kami gunakan untuk jalannya motor. Benar-benar jalan setapak. Aku kebingungan menentukan posisi kakiku. Karena duduk di tengah, tentunya aku ada di posisi dimana menaruh kaki di pedal belakang, berarti melipat kaki 60 derajat. Ketika aku meluruskan kaki, berarti harus siap melawan ranting-ranting di jalanan. Dengan kecepatan bang Iswan menyetir, rasanya tak mungkin jika tidak mengadu kaki dengan ranting di jalan. Serba salah. Tapi sepanjang perjalanan ini barulah aku paham arti Kalembo Ade.

“Kalembo ade, ya mas Faisal”, kata bang Iswan. Tersentak aku mendengarnya. Berpikir. Ooohh. Inilah esensi Kalembo Ade (Berhati besar) yang kudapat. Dengan perjalanan yang sesulit itu, lelahnya tubuh melihat jalan yang tak kunjung mulus, dan dengan posisi duduk yang tidak enak, Kalembo Ade menjadi sebuah pamungkas. Seperti pengingat yang sangat efektif jika bisa maknai artinya. Ketika aku refleksikan kepada penduduk Bima, khususnya Tambora, semakin mengerti arti kata sakti itu.

Setiap hari mereka melewati jalan rusak itu untuk aktifitasnya. Pastinya bukan sekali-dua kali mereka terjatuh. Belum lagi ketika setelah hujan. Tak bisa kubayangkan bagaimana licinnya jalanan itu. Kerusakan motor pasti sering sekali terjadi pada mereka. Jika tak bisa keluar ke dusun di bawah, berarti mereka akan menetap di rumah. Dengan atau tanpa makanan. Listrik pun mengandalkan genset disini. Menyala sekitar pukul 6 sampai pukul 10 malam. Itupun jika ada bensin yang sempat mereka beli, atau telah mereka simpan. Betapa hebatnya mereka, betapa sabarnya mereka. Itulah mungkin yang telah tertanam dalam hati mereka, Kalembo Ade

Semoga semangat dan makna Kalembo Ade selalu dapat kami ingat disini. Semoga ketika kesulitan, kebingungan dan kelelahan menghampiri, kami dapat selalu meresapi kata cinta pertama yang kami dapat disini. Kalembo Ade.


Cerita Lainnya

Lihat Semua