info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Mencintai Indonesia Lewat Pendidikan

Dimas Sandya Sulistio 26 Juni 2012

“Aku cinta Indonesia karena pulaunya lucu-lucu. Aku menyayanginya seperti aku menyayangi ibu dan teman-temanku.”

Sederhana, namun tulus. Begitulah ungkapan polos dari Meri, seorang siswi kelas 5 SDN 10 Rambang, Kab. Muara Enim, saat diminta mengekspresikan perasaannya tentang Indonesia. Untuk ukuran anak dusun yang tinggal di pedalaman dan bahkan tidak tahu nama ibu kota negaranya, tentu saja ungkapan itu luar biasa. Boleh jadi baginya, Indonesia adalah sahabat yang baru ia kenal, meski namanya sudah seringkali ia dengar.

Sungguh ironis memang. Nun jauh di pelosok bumi nusantara ini, masih banyak putra-putri Indonesia yang tidak mengenal kisah negerinya. Mereka lebih tahu tentang cerita sinetron di layar kaca, atau lagu terbaru dari penyanyi terkini. Semua karena mereka hanya punya satu jendela untuk mengenal dunia luar. Dialah televisi. Sayangnya, hanya sedikit tayangan di layar kaca yang benar-benar mendidik, khususnya yang mengajarkan mereka tentang arti “Bhineka Tunggal Ika”.

Tentu semua orang tahu bahwa Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman yang luar biasa. Membentang 5200 km dari Sabang sampai Merauke dan melintang 1870 km dari Kep. Talaud sampai Rote Ndao, negeri ini adalah rumah bagi 248 juta penduduk dari lebih dari 300 suku yang berbicara dengan lebih dari 600 bahasa. Dengan wilayah yang sangat luas dan berpulau-pulau, juga rakyatnya yang sangat berbeda-beda, maka sungguh hebat kenyataan bahwa negara ini bisa bersatu.

Tetapi pernahkah kita bertanya, apakah persatuan kita sebagai "Indonesia" sungguh-sungguh terasa pada setiap orang? Apakah benar bahwa seseorang di Aceh merasa bersaudara dengan seseorang di Papua? Apakah kesedihan para korban gempa di Sumatera terasa oleh seseorang di Sulawesi? Apakah kita sebagai bangsa Indonesia sungguh-sungguh merasa saling terhubung sebagai satu bangsa?

Pengalaman menunjukkan bahwa kedekatan yang murni dan bebas prasangka baru sungguh-sungguh tumbuh melalui hubungan personal, dan bukan sekadar melalui ikatan simbolik. Sebagai contoh, peristiwa konflik di Aceh dan Papua mungkin hanya sekilas berita TV jika kita tidak mengenal seorang pun di sana, tapi akan sangat berbeda jika sahabat kita menjadi salah satu korbannya.

Jika orang-orang di berbagai daerah di Indonesia saling terhubung antara satu dengan lainnya, maka diharapkan rasa persatuan dan solidaritas kebangsaannya bisa semakin menguat. Dengan demikian, ungkapan ‘berbeda-beda tetapi tetap satu juga’ bukan lagi sekedar isapan jempol belaka.

Berbekal misi untuk menenun tali kebangsaan kita, para Pengajar Muda dari Gerakan Indonesia Mengajar yang ditempatkan sebagai guru di daerah pedalaman, kemudian berupaya mewujudkan suatu kegiatan korespondensi bertajuk ‘Jejaring Anak Indonesia (JAI)’ yang dirancang untuk menghubungkan anak-anak di seluruh Indonesia secara personal dengan berkirim surat (sahabat pena).

Kegiatan ini memiliki misi ganda, yakni tidak hanya melatih anak-anak agar dapat mengungkapkan ide, gagasan, dan perasaan dengan lebih baik melalui tulisan. Tapi secara tidak langsung memfasilitasi mereka untuk memperoleh teman, serta mengenal aneka ragam budaya dan cara hidup dari berbagai daerah di Indonesia. Dari kegiatan ini, anak-anak Indonesia di tempat-tempat yang selama ini minim sentuhan informasi karena terbatasnya infrastruktur komunikasi kini memiliki wawasan yang lebih luas dan kongkrit mengenai negaranya.

Pemahaman yang dibangun dari pengetahuan dan pengalaman personal ini akan menjadi faktor penting dalam pendidikan karakter sebagai sebuah bangsa yang beragam. Dunia mereka yang selama ini terbatas oleh pulau, laut, gunung, dan sungai, kini menemukan jalan keluar untuk mengenal pernak-pernik negeri kita, sekaligus menjadi celah untuk membuka cakrawala nusantara.

Faktanya, anak-anak di Kabupaten Bima spontan ingin menulis surat untuk menghibur teman-temannya di Kabupaten Aceh Utara setelah melihat sekilas berita maraknya penembakan gelap di Bumi Serambi Mekah tempo hari. Padahal, baru beberapa bulan sebelumnya mereka tahu mengenai provinsi di ujung barat Indonesia itu.  

Contoh lain, murid yang berangkat dari latar belakang muslim yang fanatik, kini menaruh takzim pada anak-anak di Kepulauan Sangihe yang mayoritas Kristen namun bisa menerima dengan baik Pengajar Muda yang berjilbab di antara mereka. Ada lagi kisah anak-anak Pulau Rote dan Kabupaten Lebak (Banten) yang asyik bercerita tentang kegiatan sehari-hari mereka dengan latar belakang agama dan budaya yang berbeda.

Kegiatan bersurat juga ternyata tak dapat digantikan dengan teknologi digital. Lewat surat, mereka bisa menyampaikan kata-kata lewat tulisan tangan atau gambar buatan sendiri, lengkap dengan guratan garis yang teraba agak kasar khas anak-anak sehingga memberikan rangsangan yang lengkap  (visual-auditori-kinestetik-taktil) dan dibutuhkan anak di usia perkembangan mereka.

Mereka juga bisa saling mengirimkan hadiah semacam origami, karang yang tumbuh di pantai belakang rumah, biji jambu mente yang sedang ramai dipanen, sampai pasir besi kehitaman yang banyak ditambang di desanya sehingga menciptakan kedekatan personal yang sejati. Dari sanalah anak gunung yang tidak pernah menyentuh pasir putih, atau anak pantai yang belum sempat melihat buah cengkeh bisa mengetahui kenakeragaman bumi nusantara ini, dalam bingkai korespondensi Jejaring Anak Indonesia (JAI)

Memiliki sahabat pena memang bukan lagi kegiatan yang populer seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi digital di awal abad ke-21. Namun tak bisa dipungkiri bahwa surat --karena luasnya jaringan distribusi kantor pos-- adalah media yang potensial untuk merajut setiap jengkal tanah air Indonesia menjadi kesatuan utuh.

Kali ini Meri cukup beruntung. Melalui Jejaring Anak Indonesia (JAI), kini ia bisa berkenalan lebih jauh dengan sahabat barunya yang bernama ‘Indonesia’. Bersamaan dengan itu, rasa cinta Meri pada negerinya mulai tumbuh perlahan, menghadirkan bibit nasionalisme yang mengajarkan arti ke-Indonesia-an sejak dini.

*) tulisan ini juga dimuat di situs detik pada tanggal 22 Mei 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua