info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Senyum Araselo

Dimas Sandya Sulistio 28 Juni 2012

Senyum itu adalah senyum anak-anakku. Senyum lembut anak pelosok yang penuh dengan kepolosan. Tanpa alas kaki dan pakaian yang membungkus rapi tubuhnya, mereka berlari riang kesana kemari. Aku pun tergerak untuk ikut mengejar, sekedar untuk berkenalan. Tapi mereka malah menghindar secepat kilat. Sambil sesekali mengintip di balik pepohonan, mereka melirik ke arahku. Mungkin bertanya-tanya pada sosok yang baru dilihatnya. Siapa dia, mau apa dia, sedang apa dia? Dan aku hanya membalasnya dengan senyuman lagi. Senyuman yang seolah berkata, aku pak guru, datang kemari untuk belajar bersamamu, maukah kau bermain denganku. Itu jawab senyumku.

Senyum itu adalah senyum anak-anakku .Senyum malu-malu yang buatku hati pilu. Kulihat dia sedang menggembala lembu, yang bukan satu atau dua, tapi bisa jadi lima. Usianya masih kurang dari sewindu, tapi kerjanya berat sekali. Ada lagi yang sedang menggendong balita kecil. Mungkin adiknya. Saat orang tuanya ke kebun, dialah pengurus semua pekerjaan di rumah. Mengambil air di sungai, mencuci, memasak, dan menjaga adik adalah tugasnya. Sudah seperti mamak-mamak saja dia. Untunglah dia masih bisa sekolah, jika sempat. Atau sekedar belajar di balai, jika dapat. Maka aku tak hiraukan jika ia sekejap datang terlambat. Masih dengan senyumnya yang malu-malu, kupersilahkan ia duduk, untuk segera belajar bersama kawan-kawan.

Senyum itu adalah senyum anak-anakku. Senyum riang tatkala kuajarkan mereka senam pagi di sekolah. Sambil setengah bernyanyi, mereka gerakkan badan ke kanan dan kiri penuh semangat. Lain hari mereka begitu hikmat mengikuti upacara. Kadang masih dengan kelinglungan di kepala, menebak-nebak rangkaian kegiatan di setiap senin pagi. Sikap sempurna, hormat pada bendera, menyanyi lagu wajib, istirahat di tempat, mengheningkan cipta. Semua ritual itu adalah baru bagi mereka yang bahkan tak tahu senandung Indonesia Raya. Maka begitu sang merah putih berkibar di puncak bendera, rasa kagum tak terelakkan lagi. Mengukir senyum di wajah mereka. Riang dan penuh kebanggaan sebagai anak Indonesia.

Senyum itu adalah senyum anak-anakku. Senyum binar yang memancar saat mereka melihat buku dalam tas besar yang kugendong. Berkali-kali mereka menawarkan bantuan untuk membawa ‘perpustakaan berjalan’ itu. Mereka tampak haus akan segarnya dunia literasi. Buku, jadi sebuah oase pengetahuan di tengah gersangnya aktivitas dusun tanpa listrik dan air bersih. Buku, layaknya goresan pelangi saat hujan tiba, yang menghadirkan warna baru di hari-hari mereka. Barisan huruf, deretan gambar, beserta lembaran penuh imaji, ibarat santapan lezat yang selalu tak pernah puas dilahap. Mereka akan menagih lagi untuk meminjam buku, datang lagi untuk membaca buku, dan dengan binar di matanya, mereka tersenyum untuk bahkan meminta buku.

Senyum itu adalah senyum anak-anakku. Senyum semangat kala mereka turun gunung untuk pertama kalinya. Lintasi jalan nan berbatuan, hingga tiba di padatnya jalur menuju kota. Tiga jam perjalanan pun sungguh jadi tak terasa. Mereka lelah, mereka lemas. Tapi ini adalah pengalaman berharga, yang belum tentu hadir lagi di esok lusa. Ini sebuah lomba, yang sedari dulu selalu dinanti, hanya jadi khayal dalam lamunan sepi. Maka ketika semua menjadi nyata dan di depan mata, semangat itu terasa semakin bergelora. Ada rasa was-was, sekedar gelisah melihat lembar jawaban yang baru pertama dilihat. Kuyakinkan mereka untuk terus berjuang, tanpa perlu pikir kalah menang. Ini kesempatan, ini pencapaian. Bahwa setiap orang bisa berpetualang ke luar batasan dunianya, asal punya semangat dan keyakinan. Lagi-lagi mereka tersenyum.

Senyum itu adalah senyum anak-anakku. Senyum bahagia setiap kali mereka lihat aku kembali pulang ke dusun Dama Buleuen. Membawa sejuta angan-angan yang siap kutebar dan kutanam di benak mereka. Anak-anak itu girang, mereka kesenangan. Seolah sang induk semang mengantongi makanan untuk anak-anaknya. Sungguh seketika aku jadi tak tega, mengabarkan pada mereka, inilah kepulangan terakhirku. Dan setelah ini, aku akan mengenang mereka hanya dari  foto dan cerita, lewat kenangan lagu dan surat lama, hingga celotehan bocah yang terlanjur bersarang di kepala. Jadilah kutinggalkan tanda senyumku untuk mereka. Kutempelkan erat di dadanya, kulekatkan sangat dalam jiwanya. Senyum bahagiaku untuk anak-anak tercinta.

Senyum itu adalah senyum anak-anakku. Senyum tulus yang telah mengajarkanku tentang arti kesabaran dan keikhlasan. Hingga kelak aku akan merindukan senyum itu. Lagi dan lagi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua