Bulan 10

Faisal Jamil 23 Oktober 2012

Bulan 10. Begitulah orang-orang di Tambora lebih mengenalnya dibandingkan nama bulannya, Oktober. Bulan yang dulu – dan sampai sekarang – aku mengingatnya hanya karena adanya hari Kesaktian Pancasila, hari Sumpah Pemuda dan ulang tahun beberapa teman terdekatku. Bulan ini bagi beberapa orang adalah bulan yang spesial. Ada yang karena berulang tahun pada bulan ini, ada yang mengingat karena ini bulan pernikahannya, atau ratusan alasan lain yang membuat bulan ini terkenang.

Tapi berbeda dengan disini. Mereka sangat mengenal betul bulan ini karena perubahan alamnya. Musim angin Barat. Tandanya hujan deras akan datang setiap harinya di kaki gunung ini. Seperti kata Sudirman, anak muridku.

“ Pak Guru, sekarang bulan sepuluh ya? Wah, pasti mulai hujan terus setiap hari.”, katanya menjelaskan kepadaku saat aku menunjukkan tanda tanganku beserta tanggal di buku tulisnya kemarin.

Dan betul saja, mulai akhir bulan September kemarin, hujan sudah mulai lebih sering terjadi. Dan saat memasuki bulan Oktober, hujan tak hentinya turun setiap hari. Pagi, siang, sore dan malam.

Ada yang unik ketika hujan yang aku alami bersama anak-anakku. Sewaktu itu, kami sedang belajar tambahan atau les di sekolah. Sewaktu kami belajar, tiba-tiba hujan turun. Beberapa anak-anak pun mengeluh.

“Wah, Hujan pak Guru. Sudah deh, ndak pulang kita sampai besok pagi disini.”, keluh mereka.

Aku hanya tersenyum mendengarnya.

Tiba-tiba ada suara Tokek yang berbunyi dari loteng kelas.

“Tokek!”

“Panas!”, teriak mereka.

“Tokek!”

“Hujan!“, teriak mereka lagi. Aku yang sedang menerangkan di depan terdiam memperhatikan.

Tokek!”

“Panas!”, mereka berteriak tambah keras.

“Tokek!”

“Hujan!“, masih mereka berteriak.

Tokek!”

“Panas!”, teriak mereka kembali.

“Panaaas!! Panas berarti nanti. Bisa pulang nanti kita”, sahut mereka bergembira.

Ternyata, mereka mengetahui – atau menebak mungkin – kondisi nanti dengan suara Tokek yang berbunyi. Mereka percaya dengan hal itu. Sempat aku tanyakan kepada mereka.

“Kalian percaya dengan hal itu?”, tanyaku dengan sedikit ragu kepada mereka.

“Percaya pak guru! Kalau lima kali berbunyi, panas berarti nantinya. Kalau sepuluh kali, berarti hujan”, jawab Muksin dengan sangat percaya diri.

Aku tersenyum. Untuk aku yang baru mendengar hal seperti ini, tentunya agak aneh terdengar. Tapi, percaya tidak percaya dengan suara tokek tadi, setelah itu ternyata hujan berhenti saat selesai les dan mereka bisa pulang.

Ada lagi hal unik yang aku dengar dari mereka. Sore ini setelah selesai les, kami berdiri di depan perpustakaan sambil melihat hujan yang turun sangat deras.

“Pak Guru, di Pantai pasti tidak hujan sekarang”kata Yusika sambil menunjuk ke arah barat.

“Kalian tahu dari mana?”, tanyaku penasaran.

“Dari langitnya pak guru. Di arah sana lebih terang.”, jelas mereka.

“Ooh, gitu.” Jawabku singkat ragu, karena melihat langit yang sama terangnya di sini dan di arah yang mereka tunjuk.

Dan betul saja, saat Morin - PM Labuan Kenanga – yang tinggal di tepi pantai menelpon beberapa saat kemudian, jawaban mereka ternyata benar. Disana sedang tidak hujan saat anak-anak berkata seperti itu. Untuk kedua kalinya, aku mengaku salut pada kemampuan mereka.

Mungkin ini yang disebut belajar dari alam. Mungkin ini yang disebut orang dengan kecerdasan naturalis. Kecerdasan yang dipunya, atau kepercayaan yang dimiliki penduduk lokal dalam mengenali alam tempat tinggalnya. Pastinya masih banyak pengetahuan atau kepercayaan lain yang mereka punya mengenai alam.

Semoga aku bisa belajar dari mereka. Bukan mengenai kepercayaannya, tetapi bagaimana memposisikan alam sebagai sumber ilmu pengetahuan kehidupan.

3 Oktober 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua