Solidaritas Kawan Bermain
Faisal Jamil 23 Oktober 2012Pekan ini masih pekan ulangan Mid Semester. Sebenarnya, Mid Semester harusnya dilakukan pada minggu kedua bulan Oktober. Tapi aku sudah mulai melakukan ujian-ujian dari pekan lalu, agar aku dapat melanjutkan pelajaran ke pembahasan yang lain. Dan saat ini, saatnya ulangan Bahasa Indonesia. Seperti biasa, aku sudah mempersiapkan soal-soal di kertas berwarna, untuk nantinya aku tempel di pemisah kelas karena ruangan untuk kelas 3 dan 4 masih bergabung. Aku lupa membawa kertas putih untuk lembar jawaban mereka. Oleh karena itu, aku pulang dulu sebentar ke rumah yang hanya berjarak 100 meter dari sekolah. Aku mengajak dua anak, Sahni dan Suharti yang sedang piket untuk ikut. Tidak ada keperluan khusus sebenarnya, hanya untuk ikut dan menemani aku saja. Sebelum keluar, aku berikan pesan kepada Mahdi, untuk mengawasi teman-teman yang lain, untuk tidak ribut, dan bermain di kelas selama aku pergi mengambil kertas.
“ Jika ketahuan ada yang bermain-main, tidak akan bisa ikut ulangan harian,” kataku menjelaskan konsekuensinya.
Saat kembali ke kelas, dari kejauhan aku sudah mendengar suara Sudirman berlarian dan bermain di dalam kelas. Ketika aku masuk kelas, dia sedang bermain berlari-larian sendiri di dalam kelas. Ini artinya dia tidak mengindahkan kesepakatan kelas. Anak-anak yang lain sudah dengan tenang menunggu, tetapi dia bermain sendirian. Aku memanggilnya, dan meminta Sudirman menutup pintu kelas dari luar. Anak-anak sudah mengerti, arti kalimat menutup pintu kelas dari luar adalah keluar kelas dan tidak ikut pelajaran.
Dia pun keluar kelas. Diam tanpa suara. Anak-anak yang lain langsung aku berikan kertas, dan mulai mengerjakan soal ulangan yang aku tempel. Tidak lama kemudian, Sudirman terlihat berdiri di depan kelas, sambil melihat anak-anak yang sedang mengerjakan ulangan di dalam kelas. Dia tampak sedih, dan tampak ingin masuk ke kelas. Aku sedikit ingin luluh rasanya melihat wajahnya yang tampak menyesal. Tapi aku pikir kembali, peraturan harus tetap ditegakkan. Bukan untuk menghukum yang melanggar, tetapi untuk menghargai yang sudah taat aturan.
Saat sedang mengerjakan ulangan, Muksin, anak yang juga sangat nakal itu berkata.
“Sudah pak Guru, kasih masuk saja Sudirman. Kasihan dia tidak dapat ulangan.”, ujarnya membujukku.
“Jangan pak Guru, biar saja di luar kelas. Nakal sih dia.”, kata Iluh.
“Iya pak Guru, biar saja dia.”, kata anak yang lain.
Anak-anak yang lain lebih fokus pada pengerjaan ulangan masing-masingnya. Ada yang tidak berpendapat apa-apa. Mereka lebih memilih keputusan abstain.
“Gak tau saya pak Guru. Mana-mana sudah”, kata Eny sambil tetap mengerjakan ulangannya saat kutanya pendapatnya terhadap usulan Muksin.
Aku terdiam saja. Aku memperhatikan Muksin yang dari tadi tampak gelisah, dan sedikit-sedikit melihat keluar kelas. Dia tampak mencari-cari Sudirman, dan tampak kesal dengan teman-temannya yang tidak mendukungnya untuk memasukkan Sudirman ke dalam kelas.
“Gak kasihan kamu semuanya ya. Tidak dapat ikut ulangan nanti dia itu.”, Keluh Muksin kepada teman-temannya.
Aku lihat sesuatu dari Muksin. Dia mempunyai rasa Empati yang cukup besar ternyata, meskipun sifatnya yang sangat jail itu. Dia tampak sangat peduli kepada temannya.
“Baiklah, jika semua yang ada di kelas ini menyetujui Sudirman masuk kelas, Bapak akan masukkan Sudirman ke kelas. Jika Muksin dapat membujuk semuanya untuk setuju memasukkan kelas, Sudirman akan masuk kelas dan mengikuti ulangan. “, kataku menjelaskan keputusanku saat ini.
“Woy , ayo sudah, setuju saja sudah masukkan Sudirman. Kasihan dia!”, teriak Muksin kepada teman-teman sekelasnya yang sebenarnya hanya berjumlah 8 orang ini.
Muksin menghampiri satu persatu temannya, membujuk dengan suaranya yang nyaring itu agar Sudirman bisa masuk ke kelas. Teman-temannya sedikit protes dengan suara Muksin yang sangat keras itu.
“Ayo dah semuanya. Kasih masuk saja Sudirman. Selesai sudah langsung ini semua. Bisa ulangan lagi kita nih”. Ujarnya kepada teman-temannya.
“Iya dah, kasih masuk sudah pak Guru.”, Kata Yusika berubah pikiran.
“Iya pak guru, saya setuju kasih masuk sudah.”, kata Mahdi ikut berubah pikirannya.
Sudah tiga orang berarti termasuk Muksin yang setuju sampai saat ini.
“Mana-mana sudah pak Guru. Kasih masuk saja sudah.”, Kata Eny menimpali. Mungkin dia memilih jalan yang cepat agar bisa tenang mengerjakan ulangan.
“Sudah empat orang dari delapan orang yang setuju Sudirman masuk. Muksin sudah berhasil membujuk setengahnya. Semua setuju, baru Sudirman akan masuk”, kataku menjelaskan kondisi saat ini.
“Gak Pak Guru. Biar sudah di luar. Abisnya dia Nakal betul sih pak Guru.”, kata Iluh tetap tidak sepakat.
“Iya pak guru, Biar diluar sudah”, Suharti yang kelas empat tegas menjawab.
Muksin tampak kesal sekali. Dia berdiri dan menghampiri mereka.
“Woy, gak kasihan kamu ya. Coba nanti kamu di luar, gak bisa ikut ulangan kamu.”, teriak Muksin kesal.
“Biar saja, Nakal dia.”, kata Iluh tetap tak berubah pikiran.
Sambil merasakan kekesalannya, Muksin tetap melanjutkan mengerjakan ulangan. Dia tampak tidak fokus karena memikirkan temannya. Aku sebenarnya sangat ingin memasukkan Sudirman. Tapi melihat dinamika disini, aku sangat tertarik melihat kesungguhan Muksin dan empatinya kepada temannya.
“Ayo, sudah sedikit lagi waktu ulangannya. Cepat ambil keputusan untuk Sudirman”, kataku sedikit mengompori.
“Sudah kasih masuk pak Guru”, kata Suharti akhirnya berubah pikiran.
“Iya kasih masuk sudah pak.”, Made akhirnya setuju.
“Gak tau pak Guru, mana-mana sudah. Masuk boleh, tidak masuk juga boleh.”, Kata Sahni abstain tetapi menyerahkan keputusan kepada forum.
“Nah, sudah setuju semua pak Guru. Tinggal Iluh saja yang belum.” , Kata Muksin semangat.
“Ayo, bujuk Iluh Muksin supaya setuju”, kataku masih mengompori.
“Ayo dah Luh, kasih masuk saja sudah. Kasihan dia. Jangan berteman lagi kamu ya sama Sudirman, jika gak mau kasih masuk dia”, ujar Muksin kepada Iluh karena kesal.
“Tidak!”, Jawab Iluh masih tegas.
“Ayo dah. Kasihaaan luh. Ayo, semakin sedikit waktunya ini”, bujuk Muksin.
Aku panggil Sudirman, aku bawa masuk dia. Ketika melihat Sudirman, tampaknya Iluh mulai luluh.
“Ayo dah. Kasihaaan luh. Ayo Cepat ”, bujuk Muksin.
“Iya Pak guru, kasih masuk sudah”, ujar Iluh akhirnya luluh.
Selesai sudah. Sudirman segera aku berikan kertas ulangan setelah sebelumnya aku minta maaf kepada teman-temannya karena ribut.
Aku tersenyum melihat kondisi kelas ini. Ada saja dinamikanya. Dinamika yang pasti akan aku kenang, dan mereka pasti kenang. Sudirman yang nakal. Muksin yang solider. Iluh yang keras kepala. Dan Sahni atau Eny yang tidak terlalu peduli, atau tidak mau berpendapat. Semuanya lumrah, dan wajar kupikir. Semuanya normal, sampai di tingkatan orang dewasa sekalipun. Semuanya seringkali terjadi.
Diam-diam, aku kagum dengan Muksin. Aku diperlihatkan betapa empatinya dia terhadap temannya. Dibalik sifatnya yang sangat jahil, nakal, dan sulit belajar ini, dia mempunyai sesuatu yang menonjol dibandingkan temannya. Kepedulian dan rasa setia kawan. Sudirman adalah teman mainnya selama ini. Dan dia tidak rela ketika Sudirman tidak dapat mengikuti ulangan. Dia sampai berjuang membujuk temannya agar mau memasukkan kawannya. Setia kawan. Ternyata itulah yang bisa aku dapatkan dari dirinya.
Hmmhh. Semangat terus anak-anakku. Semua yang terjadi saat kau masih kecil akan menjadi pelajaran berharga bagimu, dan bagiku disini.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda