Pelukan untuk Enci

Eva Bachtiar 10 April 2014

Kali ini aku tak hendak bercerita tentang betapa agresifnya anak-anakku. Sarapanku yang menggunung setiap pagi selalu semata demi mempersiapkan energi kuli untuk menghadapi aktifnya mereka di kelas setiap hari.

Aku pun tentu saja bersikap tegas untuk setiap tindak agresif, sekecil apa pun yang mereka lakukan. Selalu kucoba untuk tetap konsisten menjalankannya, mengingatkan mereka, meskipun terkadang alpa, agar terpatri di benak mereka, bahwa adalah salah memperlakukan teman mereka dengan melayangkan tangan di atas kepala. Sebagai wali kelas, aku merasa harus awas. Perlu betul memupuk akhlak mereka, lewat detail-detail kecil yang terjadi setiap waktunya.

Lalu suatu pagi, seorang muridku menangis lagi. Kuminta ia jelaskan duduk perkaranya, lalu kupeluk ia, kuusap punggungnya. Tak lama, redalah tangisnya dan kusaksikan sendiri betapa nyamannya dia di sana, dalam peluk hangat gurunya. Ini memantik sebuah ide di kepalaku, yang sama sekali baru dan aku jelas belum tahu apakah ampuh.

Siang itu, selepas kami membaca doa sebelum pulang sekolah, seperti biasa aku membuat barisan perkalian. Barang siapa yang bisa menjawab perkalian dengan tepat boleh pulang lebih dulu, sedangkan yang masih keliru, harus bersabar kembali ke barisan paling hulu.

Tapi kali ini, yang menjawab dengan benar tak kuperkenankan langsung ambil langkah seribu. Aku minta diberi satu hal, satu hadiah... Pelukan untuk encinya.

“Siapa yang di rumah sering dipeluk mamak atau papak?” tanyaku pada seisi kelas.

Hening.

“Kalau begitu, boleh enci peluk masing-masing? Boleh enci minta dipeluk sebelum pulang?” kataku sambil mengulur tangan terbuka.

Reaksi pertama mereka, persis yang aku duga.Beberapa anak,khususnya yang perempuan, segera memelukku tanpa bertanya dua kali. Beberapa tak banyak bicara, tapi memelukku seadanya. Sebagian kecil memutar bola matanya dan sedikit berjengit saat dipeluk. Aku mafhum. Bagi mereka, pelukan dan sentuhan sayang adalah konsep yang bisa jadi sama sekali asing. Mungkin nyaris tak pernah ditunjukkan apalagi dibiasakan.

Sebagian kecil lain mempertanyakannya dengan gamblang, “Kenapa enci minta dipeluk?”, “Buat apa peluk-pelukan, enci?”, “Memangnya kalau dipeluk kenapa, enci?”. Semuanya saya jawab singkat sambil tersenyum, “Karena enci sayang kalian semua.”

Jawaban itu ternyata lebih dari cukup membungkam segala penasaran. Hari-hari setelah itu, tak ada lagi yang mempertanyakan. Kupeluk mereka semua dengan penuh rasa cinta, satu per satu, setiap harinya. Dari samar aroma keringat mereka, kubisikkan pesan personal untuk tiap anak, atau kadang sekadar agar berhati-hati pulang ke rumah.

Aku tak berani mengklaim, pendekatanku ini memberi sebuah perubahan yang terukur. Aku bahkan tak tahu bila pelukan ini nyata memberi faedah. Yang aku tahu, sebuah pelukan hangat dan seuntai pesan sayang sederhana, mungkin bisa membuat mereka merasa diterima di sekolah. Membuat mereka merasa dicintai, dan karenanya, semoga bisa mengejawantahkannya kembali ke dalam perilaku mereka sehari-hari.

Yang aku tahu, pelukan yang datangnya dari sanubari, semoga bisa mengencerkan semua kekerasan yang telah lebih dahulu tertanam dalam kebiasaan mereka. Yang aku tahu, seorang anak yang tak banyak cakap dan dicap paling ringan tangan, kini selalu berlari paling depan setiap tiba waktunya pulang. Yang aku tahu, bila aku harus meninggalkan sekolah selama beberapa hari karena urusan dengan dinas di kabupaten, pelukan anak-anak itulah yang paling aku rindukan.

Yang aku tahu, pemberian dari hati, akan diterima pula oleh hati.

Maka kali ini, bila tiba waktunya pulang, aku selalu bersiap untuk diserbu oleh tubuh-tubuh mungil yang memekik kencang, “Enciiiiii, peluuuuuk...”

 

 

 

Moilong, 29 Maret 2014

“Bolehkah aku percaya saja tanpa harus tahu kenapa?”


Cerita Lainnya

Lihat Semua