info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

SAYA, MEREKA, DAN PERBEDAAN

Ester Dwi Wulan Nugraheni 3 Februari 2012

"Ibu guru kenapa agamanya Kristen?" tanya seorang murid. Saya pun menjawab "Ya karena ibu pilih Kristen, memilih agama itu terserah orang mau pilih, tara (tidak) bisa dipaksa." Pertanyaan tentang agama seringkali muncul dari murid-murid saya di SD Pelita. Mereka masih menganggap aneh kenapa orang memiliki agama yang berbeda dari mereka. Namun, tak bisa menyalahkan anak-anak ini karena memang di desa kami 100 % penduduknya beragama Islam. Bukanlah sesuatu yang wajar bagi mereka melihatseseorang beragama Kristen seperti saya, apalagi di daerah ini pernah terjadi konflik antar umat beragama beberapa tahunyang lalu. Kedatangan saya untuk mengajar di daerah yang mayoritas Muslim di sini tergolong aneh karena sudah menjadi pemahaman umum di tempat ini bahwa seorang guru Kristen hanya mengajar di desa Kristen dan sebaliknya, guru Islam hanya di desa Islam. Namun, itulah seninya, kedatangan saya tak hanya menjadi guru tapi juga pelajaran yang riil dari materi yang selalu disampaikan guru-guru dalam pelajaran PKN. Di sini saya tidak bermaksud memamerkan bagaimana seorang Kristen yang mencoba bertahan di daerah Islam yang pernah ada konflik. Namun, saya hanya ingin mengajak kita semua untuk menyadari betapa indahnya hidup dalam perbedaan. 

Masalah agama di daerah Halmahera Selatan khususnya adalah perbincanagan yang sensitif. Semenjak adanya konflik beberapa tahun yang lalu, hubungan dua komunitas agama ini agak renggang. Meskipun konflik telah berlalu, masyarakat kembali bersatu, dan hidup kembali seperti semula, namun hubungan agak beku antara keduanya secara tidak langsung masih ada. Menurut keterangan banyak warga, peristiwa itu telah membuat hubungan keduanya tak seperti semula lagi meski sudah berkomitmen saling akur. Itulah perbedaan. Berada dalam kondisi seperti itu tentunya tidak mudah bagi seorang pendatang seperti saya. Namun, justru inilah PR besar dan kesempatan untuk membuktikan bahwa "perbedaan itu merepotkan" adalah sebuah mitos belaka. Di desa ini, Pelita, dengar-dengar memang sempat ada penolakan tentang kedatangan saya. Namun, terimakasih kepada Mas Rahmat Danu Andika yang berhasil merubah pola pikir masyarakat Pelita hingga akhirnya saya bisa datang dengan lancar di desa ini.

Dukungan alias penerimaan maupun penolakan tetap ada. Banyak orang di sini yang mendukung saya lewat pernyataan-pernyataan dan tingkah mereka. Namun, tak jarang pula yang secara tidak langsung "agak menolak" saya. Misalnya di salah satu desa rekan Pengajar Muda ada yang bilang "Hati-hati dengan teman bu guru (rekan PM) yang Kristen". Kata-kata ini bisa ditafsirkan sebagai nada penolakan dan masih adanya bekas luka konflik yang telah berlalu. Saya hanya tertawa saja jika beberapa teman bercerita seperti itu, paling saya berkomentar "Selama ini kamu aman-aman saja kan bermain sama aku" sambil bercanda. Seperti yang disampaikan dosen saya ketika saya bercerita jika tinggal di daerah Muslim. Begini katanya sambil agak bercanda pula "Nggak masalah tinggal di daerah Muslim, mereka nggak makan kamu kan?". Ya betul, kadang kita memang terjebak dengan pikiran kita dan sudah menyimpulkan suatu masalah tanpa membuktikannya terlebih dahulu.

Terlepas dari semua kisah penolakan maupun penerimaan, setidaknya kedatangan PM berbeda agama di daerah bekas konflik seperti ini merupakan sebuah eksperimen yang cukup baik. Untuk kasus saya misalnya, kedatangan saya bisa megurangi anggapan bahwa guru di Halmahera Selatan harus ditempatkan sesuai dengan agamanya. Justru karena berbeda itulah pelajaran toleransi bisa dipraktikkan. Anak-anak dan warga bisa mendapat pembelajaran tentang toleransi secara langsung. Masyarakat kita ini butuh pembuktian, dan untuk membuktikan harus ada beberapa yang dikorbankan bukan? Tidak cuma butuh retorika tentang diskusi antar umat beragama dan sebagainya. Setelah itu, baru bisa kita lihat hasilnya. Seperti ketika perayaan Natal kemarin, keluarga priara (keluarga angkat) saya di sini langsung mengucapkan selamat Natal. Begitu pula dengan warga yang lain, mereka bahkan langsung memberi jabat tangan ucapan Natal ke saya. Semoga silaturahmi ini berjalan terus dengan baik hingga dunia ini habis. Perbedaan itu bukan untuk membatasi, namun untuk saling melengkapi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua