Saya Guru, eh Petugas Tamtib 1: Kejar Daku, Bu Guru!

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 8 April 2012

Saya guru, eh petugas tamtib mungkin. Tak hanya mengajar pelajaran, saya pun juga mengawasi ketertiban murid-murid saya di sekolah. Mengawasi dalam arti jika mereka berbuat baik, akan saya puji dan jika mereka berbuat tidak baik, akan saya ingatkan. Kalau boleh jujur, tidak semuanya berjalan lancar. Ada saja tingkah-polah murid-murid saya. Misalnya, dalam hal ‘tetek-bengek’ permasalahan tidak masuk sekolah. Ada saja alasan tidak masuk sekolah. Uniknya, semua berawal dari hal-hal sepele. Berikut adalah ‘unforgetable moment’ saya sebagai guru sekaligus petugas tamtib, eh.

 

Kejar Daku, Bu Guru!

Di kelas saya, ada dua murid istimewa. Namanya Saim dan Aslihen (sering dipanggil Hen-hen). Mengapa istimewa? Istimewa karena keduanya adalah kakak beradik kandung. Berayah sama dan beribu sama. Mereka bukan anak kembar. Tanggal dan tahun kelahirannya berbeda, terpaut satu tahun. Saim lebih tua daripada Hen-hen.

 

Ada saja ulah kedua kakak-beradik ini dalam kelas. Salah satunya adalah ketika keduanya tidak masuk sekolah. Sebagai gurunya, bagaimana saya tidak bertanya-tanya, sudah hampir satu minggu, mereka berdua tidak masuk sekolah. Jangankan surat izin atau pemberitahuan, sekedar titip pesan saja tidak ada. Selain ketinggalan pelajaran, saya khawatir terjadi sesuatu dengan mereka berdua. Maklum, di rumah, mereka hanya bersama ibu dan paman-pamannya. Ayahnya sudah setahun ini merantau ke Malaysia.

 

Akhirnya, hari itu, sepulang sekolah saya putuskan untuk menengok mereka di rumahnya. Murid-murid saya yang lain tak mau ketinggalan. Mereka bersikeras mengantarkan saya ke rumah Saim dan Hen-hen.

 

Tak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke rumah Saim dan Hen-hen. Saya hanya harus melewati jalan-jalan kecil di antara rumah-rumah warga. Eh, sebenarnya tidak pantas juga untuk disebut jalan. Lebarnya hanya setengah meter. Saya dan murid-murid saya berjalan beriritan bak kereta api.

 

Sesampai di rumah Saim dan Hen-hen, rupanya pamannya sedang mengelap motor. Saya menanyakan keberadaan Saim dan Hen-hen dan mengapa sudah seminggu tidak masuk sekolah. “Main, Bu,” jawab pamannya dengan logat Bawean yang khas dan tetap tenggelam dalam kesibukannya mengelap motor.

 

“Bu, ayo ke sawah! Saim dan Hen-hen main layangan di sawah, “ kata seorang anak kepada saya. Merasa kurang mendapat respon positif, saya pun lebih memilih ajakan murid saya. Setelah pamit, saya dan murid-murid saya melanjutkan perjalanan ke sawah.

 

Alangkah terkejutnya saya. Banyak anak yang bermain layangan di sana. “Di sini anginnya besar, Bu, makanya banyak yang main di sini. Layangan pasti terbang tinggi” jelas seorang anak seolah berusaha menjawab keterkejutan saya. “Saimmmmm.... Hen.......”, teriak anak-anak bersahutan. Dari kerjauhan, saya melihat beberapa anak malah berlarian semakin menjauh. “Itu, Bu, Saim! Ayo kita kejar!” kata seorang murid saya. Kami semua pun mengejar Saim di antara pemantang sawah sampai ke jalan penghubung desa. Hosh, hosh! “Sudah, sudah, mari kita pulang saja,“ kata saya sebagai aba-aba kepada murid-murid saya untuk berhenti berlari. “Lhoh, Bu, kenapa?” tanya seorang anak keheranan. “Tidak apa-apa. Pilihan Saim untuk tidak masuk sekolah. Yang penting sekarang ibu tahu Saim baik-baik saja!” jawab saya bijak yang mengakhiri drama kejar-kejaran guru dan murid ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua