Salam lama - lama

Atika Fara Amalia 9 April 2012

Salam lama – lama

            Jabat tangan sesama manusia bila bertemu merupakan hal yang lumrah dilakukan semua orang. Termasuk yang dilakukan anak murid kepada gurunya. Awal saya datang ke SD penempatan saya ini, jabat tangan atau yang populer dengan nama ‘salam’ ini sangat belum terbiasa. Apabila ada guru yang datang, mereka melihat, menyapa serta memberikan senyum malu-malu. Lalu tersirat dalam benak saya, kalau bukan kita sebagai guru yang memulainya, kapan anak murid kita bisa mengetahuinya.

            Oke saya mulai membiasaan bersalaman dan menyapa guru di lingkungan sekolah. Dimulai dari diri saya terlebih dahulu yang mengajak mereka. Setiap saya datang sekolah kusapa mereka dan mengajak bersalaman. Awalnya mereka sedikit ragu-ragu, tapi lama kelamaan mereka sangat antusias bersalaman. Pernah suatu pagi, saya baru datang ke sekolah. Langkah kaki ini baru akan memasuki jalan masuk sekolah yang becek. Dari kejauhan sudah kudengar anak murid teriak-teriak.

            “Ibu faraaaa dataaaaang, salam dulu sama ibu,” teriak salah seorang murid dari teras kelas sambil siap-siap untuk berlari.

            Lalu ada beberapa anak yang berlari menuju ke arah saya padahal jalannya becek. Ternyata beberapa anak murid melepas sepatunya untuk berjalan di jalan becek ini hanya demi menyongsong saya dan bersalaman. Rasa haru menghinggapi. Wah, ternyata apa yang saya lakukan kemarin, direspon juga oleh beberapa murid. Senangnya.

            “Assalamualaikum bu faraaaaa,” ucap Musyidah sambil mencium tanganku disusul beberapa anak murid yang lain.

            “Waalaikumsalam wr wb nak, sudah sarapan semua?” Jawab saya dan berbalik bertanya ke mereka.

            “Beluuum bu, tapi mau jajan mie dulu,” ucap Mardiana sambil menengok ke arah ibu-ibu penjual mie di samping sekolah.

            “Bu, hati-hati, licin. Awas jatuh.” Ujar musyidah lagi mengingatkan saya. Maklum jalan yang saya lewatin memang becek, semalam hujan turun.

            Pada awal saya datang ke SD ini, setiap jam pulang sekolah, mereka langsung pulang. Tidak ada berdoa dan bersalaman dengan guru. Hem...mungkin mereka sudah terbiasa seperti ini. Sayapun mulai merubah kebiasaan ini sedikit demi sedikit. Berawal dari kelas yang saya ajar terlebih dahulu. Sebelum mereka pulang, saya biasakan untuk berdoa dan sebelum mereka keluar bersalaman dengan guru yang mengajar.

            “Hayuk kita berdoa sebelum pulang nak. Agar kita diberi keselamatan hingga rumah nanti. Siapa yang akan pimpin doa sayang?” Ucap saya mengakhiri pelajaran karena terdengar lonceng pulang.

            “Woi berdoa dulu,” Ucap Yunisara mencegah beberapa teman yang terlanjur berdiri dan akan pulang tanpa berdoa.

            “Ketua kelas bu yang pimpin,” ucap Nur Fadilah sambil menengok ke arah bangku ketua kelas itu berada.

            Anak muridku kelas 5 duduk di bangkunya masing-masing. Dan ketua kelas memimpin berdoa. Setelah itu beberapa anak sedikit lari ke depan untuk bersalaman dengan saya. Alhamdulillah lambat laun anak murid sudah paham, bila pulang sekolah atau mulai pelajaran, berdoa terlebih dahulu serta salam dengan guru yang mengajar.

***

            Sungguh luar biasa kedahsyatan salam (baca: bersalaman) itu buat anak murid saya sekarang. Proses mereka mengenal salam itu butuh waktu memang. Saya sangat senang dan selalu kagum dengan segala proses yang terjadi dengan anak murid saya. Ada kebahagiaan tersendiri apabila anak murid menunjukkan peningkatan yang mengagumkan. Tidak bisa dibayar dengan uang merk manapun.

            Ternyata anak murid saya ini sudah semakin mengerti arti salam. Wujud dari rasa sayang kepada guru salah satu yang mereka pahami. Bahrun adalah salah satu murid saya kelas 5. Sewaktu mau pulang sekolah dia selalu bersalaman dengan saya dan mencium tangan saya lama – lama. Hingga teman yang dibelakang selalu ngomel-ngomel karena ingin bergantian salam dengan saya.

            “Pulang dulu ya bu, assalamualaikum.” Ucap bahrun sambil mencium tangan saya dan berlama-lama menciumnya.

            “Waalaikumsalam.wr.wb. eh gantian dengan temannya Bahrun,” jawab saya.

            “Bahrun ini, gantian dong,” teriak mulyadi.

            Begitulah reaksi anak-anak setelah paham arti salam dengan guru. Hal serupa selalu saya alami apabila mengajar di kelas yang lain sewaktu jam terakhir. Mereka selalu, selalu dan selalu salam lama – lama dengan saya. Bahkan tidak hanya satu atau dua murid yang melakukannya. Ternyata gaya salam Bahrun ditiru oleh teman – temannya. Terharu sekali saya melihat peningkatan dan antusias dari mereka.

            Pernah suatu ketika saya mengajar kelas 6 dan anak kelas 4 sudah pulang terlebih dahulu. Ada anak murid yang sudah jauh melangkahkan kaki dari sekolah menuju ke rumahnya. Ternyata dia lupa belum salam dengan saya. Sewaktu saya keluar dari kelas 6 menuju ruang guru, kulihat dia lari menuju ke sekolah. Saya pikir, ada barang yang tertinggal pasti. Ternyata dugaan saya salah.

            “Eh kok lari-lari nak, ada barang yang tertinggal ya?” Tanyaku penasaran.

            “Hana bu (tidak ada bu). Belum salam sama ibu sewaktu pulang tadi.” Jawabnya sambil mencium tangan saya

            Subhanallah. Merinding rasanya mendengar jawaban anak murid ini. Sungguh luar biasa dia, rela berlari kembali ke sekolah karena lupa belum bersalaman dengan saya. Sungguh istimewa sekali kami nak. Terkadang hal sederhana yang kita ajarkan ke anak murid ternyata diresapi hingga menyatu dengan jiwa mereka.

Sebuah sekolah terkadang membutuhkan nyawa. Dan perlahan nyawa dari sekolah ini kita tiupkan sedikit demi sedikit, pasti sekolah akan hidup dengan luar biasa. Namun semua itu tak bisa lepas dari proses. Saya yakin dengan kita berproses bersama-sama, pasti akan lebih dahsyat hasilnya.

Proses itu selalu indah kawan. Mari kita nikmati proses demi proses ini. Syukuri setiap proses yang ada, walau hasilnya belum signifikan.

Semangat setiap saat !!


Cerita Lainnya

Lihat Semua