info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sekolahku bukan Al Azhar.....

Astuti Kusumaningrum 11 April 2012

Kamis, 1 Maret 2012, adalah pertama kalinya Ridwan Ramadhan, kelas V, menginjakkan kaki ke kota Serang. Dia mendapatkan kehormatan untuk mengikuti Seleksi Jalur B Olimpiade Internasional IPA tingkat Provinsi di Al Azhar Kauzon, keesokan harinya. Walaupun cukup mengagetkan, ini adalah kesempatan besar buat Dede (sapaan Ridwan) untuk melihat dunia lain. Dunia di luar kampung Gobang. Dunia luar yang dipenuhi gedung-gedung dan kendaraan alih-alih sawah, sungai, dan kerbau. Bagi Dede, ini adalah perjalanan penuh petualangan. Setiap langkah, setiap tempat yang dilewati adalah perjalanan baru.

Sebelumnya, mari kuceritakan tentang sosok Dede. Kalau mbak Ayu (PM I) langsung jatuh cinta dalam sekejap pada Iman. boleh dibilang, aku langsung jatuh cinta pada anak ini. Dede adalah anak yang mengagumkan. Ia memiliki kecerdasan dan keinginan setinggi langit dan hati seluas samudra. Di kelas V, dia terpilih sebagai ketua kelas. Dengan rasa ingin tahu yang besar, ia melahap hampir semua buku yang ada di rumahku. Meskipun rangking 1, Dede tidak pernah sombong. Dengan senang hati, ia membantu temannya memahami apabila memiliki kesulitan. Di saat anak laki-laki lainnya berusaha menghindari kegiatan piket, Dede justru menawarkan diri untuk mengambil air dan mengangkat bangku. Sulit bagiku untuk tidak membayangkan Dede menjadi seorang pemimpin besar 10-20 tahun kemudian.

Aku mendapat kehormatan untuk menemani Dede ke Serang. Untuk menuju ke Serang dari kampung kami tidaklah mudah. Pertama-tama kami harus naik angkot menuju stasiun Tenjo selama waktu yang tidak bisa diperkirakan. Jalanan yang sangat rusak membuat perjalanan berubah-ubah sesuai kemampuan supir, bisa 45 menit, bisa juga 1 jam. Setelah itu, naik kereta selama 1 jam menuju Ibukota Kabupaten, Rangkasbitung. Dari sana, kami naik bus kurang lebih 2 jam ke Serang. Beruntung, Pak Ade, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak, memperbolehkan Pak Jalil mengantarkan kami naik mobil dinas Mitsubishi pick-up double cabin-nya untuk bisa sampai Serang. Sesampainya di sana, waktu sudah menunjukkan pukul 18.30. Awalnya sempat berencana untuk menginap di hotel Melati di Serang tetapi ternyata Bu Yayah (salah seorang guru) punya saudara di Kauzon. Voila, akhirnya kami menghabiskan malam di rumah Ibu Hj Fatimah sehingga segar untuk lomba keesokan harinya.

Matahari muncul seiring dengan datangnya pagi. Dengan langkah mantap dan penuh keingintahuan, aku dan Dede turun dari ojeg yang dibayari oleh kebaikan Ibu Hj Fatimah (terima kasih, Ibu ;). Melewati kompleks sekolah Al Azhar, tak henti-hentinya dia berkomentar, “Ibu, gedhe amat ahh....” untuk semuanya. Mulai dari gedung SD, SMP, Mesjid, bahkan untuk lapangan parkirnya.

Kami berjalan melewati lorong dan mini market, memasuki gedung sekolah SD Al Azhar yang berlantai 3. Selama perjalanan, kami melewati lantai putih bersih, deretan ruang kelas yang dingin ber-AC, dan deretan lemari-lemari kaca penuh berisikan piala-piala. Di tengah lapangan basket, siswa-siswa berbaris rapih berseragam olah raga. Sekitar 5-6 siswi memimpin gerakan di depan. Rupanya, pagi itu, mereka sedang olah raga senam dengan diiringi musik. Tiba-tiba, Dede berhenti dan menanyakan, “Ibu eta naon (Ibu, itu apa)?” sambil menunjuk pada salah satu ujung lapangan.

Hampir saja aku lupa. Di balik ketertarikan dan pengetahuannya tentang dunia IPA, banyak hal-hal yang masih belum diketahui Dede. Pertanyaan-pertanyaannya yang polos dan sederhana sering membuatku tersenyum simpul. Tak berbeda juga dengan saat itu.

“Itu ring basket, Dede. Terang (tahu), olah raga basket?” tanyaku balik. “Terang, Bu! Nu kos maen bola tea tapina bolana dicekel (Tahu, Bu! Yang seperti main sepakbola tapi bolanya dipegang)”, terangnya. “Betul, ngkena bolanya diasupkeun kena ring basket eta (Nantinya bolanya dimasukkan ke dalam ring basket itu)!”, terangku sambil menunjuk ring basket yang sebelumnya ditunjuk Dede.

“Ibu, sekolahnya keren ahh.. Aya (ada) lapangan basketnya, loba (banyak) piala,” katanya dengan dialek kampung Gobang yang khas. “Lantainya bersih, kene (Lantainya bersih ini). Saha nu ngebersihan (siapa yang membersihkan) , Bu?” tanyanya. “Lamun di dieu (kalau di sini), aya petugas nu ngebersihan (ada petugas yang membersihkan). Ngarana (namanya) cleaning service atau petugas kebersihan”, terangku. “Sanes barudak, Bu nu ngebersihan (Bukan anak-anak / murid, Bu yang membersihkan)? Kami kira, barudak nu ngebersihan, loba kene muridna (Saya kira murid-murid. Kan banyak ini)”, tanyanya.

Aku tersentak dengan pernyataan yang dilontarkannya. Dalam benaknya, Dede membayangkan SD Al Azhar seperti SD kami cuma dalam versi yang lebih besar. Yah, di Serang ini, SD Al Azhar sudah terkenal akan kehebatannya. Mulai dari fasilitasnya yang lengkap, ada laboratorium, lab komputer, perpustakaan yang lengkap, ruangan ber-AC, bahkan LCD projector yang ada hampir di setiap kelas. Dalam mataku, SD ini sudah seperti universitas kecil. Belum lagi 5 deret lemari piala yang menunjukkan deretan prestasi sekolah ini. Orang-orang yang mencari pendidikan terbaik pasti akan memilih SD ini walaupun harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Lihat saja deretan mobil yang terparkir (nggak tahu juga sih punya siapa?;p)!

Kalau dibandingkan dengan sekolah kami, SD N 2 Mayak, hmmmm…. jauhhh sekali… Bagaikan langit dan bumi, eh bukan, bagaikan langit dan benua. Bahkan bumi pun terlalu bagus apabila dibandingkan dengan sekolah kami. Tidak percaya?!

Sementara SD Al Azhar memiliki berbagai jenis lapangan dalam 1 SD seperti: lapangan basket, futsal, voli, dan badminton; SD kami memiliki 1 lapangan dengan berbagai fungsi: lapangan upacara, bola, badminton, sekaligus lapangan parkir.

Kalau kelas-kelas Al Azhar dingin ber-AC, kelas di sekolah kami juga dingin karena banyaknya ventilasi seperti tembok dan langit-langit yang berlubang, jendela yang tidak berkaca, bahkan belum lama ini pintu kelas 5 terpaksa dicopot karena engselnya sudah tua.

Ketika anak-anak Al Azhar bisa melihat peta yang terpampang di LCD projector dengan leluasa, anak-anak kami juga bisa dengan leluasa mengimajinasikan negara-negara dalam 1 Atlas yang mereka lihat ber-32.

Kalau setiap pagi, jalanan menuju area sekolah SD Al Azhar macet dipenuhi mobil yang mengantar maka jalan kecil di kampung juga macet dipenuhi anak-anak berseragam yang berjalan menuju sekolah. Belum lagi kalau bersamaan dengan warga yang angon kerbau maka jalanan akan penuh ‘sesak’.

Bagaimana dengan prestasi sekolah? Kalau SD Al Azhar punya 5 lemari kaca yang penuh untuk memajang koleksi piala mereka, maka SD kami hanya punya satu lemari itupun cuma ¼ bagian yang diisi piala. Sisanya berisikan berkas-berkas administrasi sekolah.

Meskipun begitu, tidak ada yang mengalahkan semangat Dede dan teman-temannya dalam menuntut ilmu. Tidak minimnya fasilitas, jarak, ataupun tugas-tugas rutin di rumah yang harus dikerjakan setiap harinya. Setiap hari, anak-anak dari Kampung Kebagusan (kampung lain) harus berjalan 45 menit untuk berangkat sekolah. Itupun kalau tidak hujan. Kalau hujan, mereka harus berangkat memakai sandal jepit atau bertelanjang kaki agar sepatu mereka tidak rusak melewati jalanan lumpur merah yang becek dan licin.

Ketika berangkat pagi-pagi, di sepanjang jalan sekolah terlihat pemandangan anak-anak yang berangkat dengan memikul barang jualan. Siang harinya terlihat anak-anak lelaki yang memikul oblong berisi air, carangka dan tumpukan kayu bakar, atau karung berisikan rumput.

Pada hari-hari tertentu, terlihat murid-muridku dengan gerombolan kambing atau kerbaunya. Beberapa dengan gerombolan adiknya. Maklum, hampir semua anak di sini sudah berkewajiban mengasuh, baik itu adik, keponakan, atau anak tetangga, bahkan kambing dan kerbau pun diasuh.

Sekolah kami mungkin bukan Al Azhar, tapi suasana di sini sangatlah menyenangkan. Sekolah kami bersih karena setiap pagi, murid-muridnya berangkat awal untuk membersihkan sekolah. Walaupun tidak punya ruang perpustakaan, setiap hari anak-anak dengan semangat mengeluarkan container buku dan membaca di selasar sekolah sampai bel masuk berbunyi.

Ketika melangkahkan kaki di sekolah, puluhan murid-murid berlari menyambut kedatanganku. Senyum, sapaan, dan salam mereka mengawali pagi hariku yang cerah. Sekolah kami mungkin tidak memiliki pompa air, hanya sebuah sumur. Itupun harus berbagi dengan SMP dan SMK. Tetapi kamar mandi sekolah tidak pernah kekurangan air karena setiap pagi anak-anak lelaki bergiliran mengisinya. Ketika hujan tiba dan kelas basah, selepas istirahat atau sepulang sekolah, anak-anak akan bergotong-royong membersihkan.

Begitulah, sekolah kami mungkin bukan SD Al Azhar yang mewah tetapi di sinilah tempat anak-anak kampung kami belajar dan menuntut ilmu…. Teringat kata-kata Dede, ketika kutanyakan apakah ia mau sekolah di sana, “Alim (Nggak mau), Ibu. Sekolah kami ge sanes SD Al Azhar, tapina SDN 02 Mayak (Sekolahku kan bukan SD Al Azhar, tapi SDN 02 Mayak)!”.


Cerita Lainnya

Lihat Semua