CERITA DI HARI PERTAMA UJIAN SEMESTER

Ester Dwi Wulan Nugraheni 11 Desember 2011

"Besa lamo" begitu ungkap masyarakat Pelita yang berarti hujan besar. Hari itu, Senin, 05 Desember 2011 hujan lebat tak kunjung berhenti. Padahal, hujan sudah dimulai sejak malam. Pagi itu rasanya malas sekali untuk beranjak dari ranjang. Namun, tugas telah menghadang. Hari itu adalah hari pertama ujian semester ganjil di SD saya. Sekolah lain belum ada yang melakukan ujian semester di hari itu. Namun, kebijakan sekolah saya menetapkan hari itu sebagai hari dimulainya ujian semester.

Di sekolah nampak murid-murid telah menunggu. Karena hujan masih turun, mereka tak berlarian seperti biasanya. Ujian pun dimulai pukul 08.00 WIT. Semua murid saya melepas sepatu untuk masuk kelas karena jalanan becek dan sepatu mereka kotor. Saya pun demikian. Saya membagi soal agama dan para murid mengerjakannya. "Yang sudah selesai boleh dikumpulkan di meja ini", begitu kata saya. Sungguh heran, dalam waktu yang singkat beberapa anak sudah selesaimengerjakannya. Saya pun jadi penasaran dengan jawaban mereka. Ketika saya cek, ternyata beberapa pertanyaan uraian tidak dikerjakan. Saya pun menjadi agak kesal dan menyuruh mereka mengerjakannya lagi.

Jatah waktu mengerjakan soal belum habis, namun hampir semua murid saya sudah selesai. Saya pun mencari cara agar mereka tidak keluar kelas dan membuat keonaran. Saya suruh seorang murid yang bernama Hamdan untuk menyanyi menghibur kami. Anak ini suka bernyanyi dan suaranya lumayan unik. Anak-anak pun riuh menyoraki Hamdan untuk bernyanyi. Hamdan yang cukup percaya diri maju ke depan. Saya kira Hamdan akan bernyanyi, ternyata dia menari dengan gerakan tarian modern yang entah di mana dia mempelajarinya. Badannya cukup lentur dan gerakannya lumayan bagus. Dia menggerakkan tangan, kaki, dan kepala layaknya penari profesional. Sungguh di luar dugaan saya, ternyata Hamdan bisa menari seperti itu. Semua anak menyoraki sambil tertawa melihat gaya Hamdan.

Di tengah kegemparan itu, datanglah Bu Wia, guru kelas 4, ke dalam kelas kami. Keriuhan pun mendadak berhenti. Beliau menyampaikan bahwa anak-anak disuruh pulang karena ada warga yang meninggal dunia dan ujian ditunda serta dilanjutkan hari Selasa. Kami semua pun kaget dan bertanya-tanya siapa yang meninggal dunia. Ternyata yang meninggal dunia adalah ibu salah satu siswa di SD kami. Murid-murid semua pulang. Saya beserta rekan guru lainnya pergi ke rumah duka. Saya pun mengorek cerita kematian ibu tersebut. Ibu itu meninggal karena melahirkan. Anak yang dilahirkannya selamat. Namun, si ibu meninggal karena pendarahan. Hal ini mungkin tidak akan terjadi apabila desa kami berada di dekat kota, atau andai saja transportasi dari desa ke kota lancar sehingga si ibu bisa dirawat di rumah sakit. Untuk menjangkau kota dari desa kami hanya ada perahu dua kali seminggu. Selain jadwal itu, kami harus naik ketinting dan saat itu hujan sangat lebat sehingga tak memungkinkan untuk ke kota. Menurut informasi, si ibu terus pendarahan karena ari-ari bayi tak kunjung keluar dari perutnya. Sementara itu, di desa kami hanya ada Puskesmas Pembantu dengan satu bidan.

Cerita di hari pertama ujian semester ini membawa banyak pelajaran bagi saya. Di mana masyarakat desa Pelita sangat menjunjung kekeluargaan hingga sekolah pun langsung dipulangkan gara-gara ada seorang warga yang meninggal. Andai saja hal ini terjadi di kota, pasti sekolah akan tetap berjalan meski ada yang meninggal saat itu. Di sisi lain memang hal ini baik karena rasa kekeluargaan masih tetap terjaga, namun di sisi lain juga merugikan kegiatan belajar mengajar. Namun, bukankah ini yang namanya relativisme budaya, artinya hal yang ideal di kota atau di Jawa sebagai pusat peradaban Indonesia belum pasti adalah hal yang ideal di desa Pelita yang ada di propinsi Maluku Utara ini. Kemudian, betapa akses komunikasi dan transportasi telah membunuh kemungkinan hidup yang lebih baik. Tak hanya dalam hal kesehatan, namun juga pendidikan dan ekonomi. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua