Melati Dua dari Portugal

Erma Purwantini 6 Juli 2011
“eh Jae balik aja, lewat pantainya nanti, itu tadi ada kantor militer” perintahku sama Jamaludin bak tukang ojek (piissss). Roda skutermatic biru itu terus berputar pelan, dan berhenti di depan bangunan bertuliskan Komando Resor Militer 011/Liliwangsa. Saya segera meng-ON-kan pocket jadul, layaknya sewaktu kuliah lapangan menemukan fenomena yang dicari dan butuh diabadikan. Alhamdulillah misi saya hari ini untuk survei tempat militer dapat 1, setidaknya foto saja. Segera saja saya duduk kembali di boncengan, eeeiitttttssssss....ada suara “Mbak...mbak kemari dulu”. Oh mai gat....tubuh tegap berpakaian doreng dengan helm hijau tak lupa alat panjang berwarna hitam yang dikalungkan di dadanya keluar dari garis batas pintu gerbang bangunan itu. “duuhhhh mati dehhhh!!!!” begitulah bisik kecil saya kepada Jae. Melayanglah pikiran saya bahwa akan kena hukuman atas perbuatan tidak berizin. Ambil nafas panjang dan fiiuuuuhhhh “Selamat siang Pak!Saya Erma dari Indonesia Mengajar.ehmm..saya....anu...ehmm....na....na...na...na” begitulah kira-kira percakapan sedikit kacau saya. Disuruhlah masuk menuju 3 orang yang duduk di tempat bertuliskan Tamu Harap Lapor itu. Yah...basa-basi perkenalan diri dan memperkenalkan Indonesia Mengajar (walaupun mereka terlihat mengangguk iya-iya aja sambil memandangi wajahku dengan senyum-senyum). Dalam asyiknya saya mendongengi mereka, dan hap berhenti saya dalam bercerita ada salah satu yang bertanya “sudah berkeluarga belum?yang ini belum berkeluarga juga.bla...bla...bla...bla...” hmmm....pengen lari saja saya dari orang-orang geje itu. Selepas tanya jawab seputar hal gag penting yang ditanyakan itu, ya sudah saya boleh meninggalkan tempat dan diarahkan untuk ke Kodim yang ada di depan bangunan itu. Huufhhhhhh....tadinya nyali ciut karena takut hukuman berubah jadi geregetan. Sesampai di Kodim, saya diarahkan untuk bertemu Pasimin (Kepala Seksi Administrasi) untuk melaporkan surat tugas yang saya bawa. Ternyata beliau tidak berada di ruangannya karena sedang ada rapat dengan komandan. Disuguhi segelas air minum saya sambil berbincang-bincang dengan bapak-bapak yang ada di ruangan tersebut.  Sambil memikirkan nasib Jamaluddin (Udin yang setia mengantarkan Erma pergi) yang sengaja saya arahkan untuk menunggu di luar Kodim saja dikarenakan pakaiannya yang tidak formal dan memakai sandal. Yah, aturan militer tau sendirilah bagaimana berpakaian yang sopan. Alhamdulillah Jamaludin dengan lapang dada dan sabar menungguku. Cukup banyak pembicaraan antara saya dan bapak yang menemani saya menunggu. Mulai dari asal daerah, kuliah, tinggal dimana, tentang Indonesia Mengajar, sudah berkeluarga belum, de el el. Setelah penantian yang cukup terasa, Bapak Pasimin yang bernama Syaiful itu akhirnya berada di meja, dan saya segera menyodorkan “surat sakti” (=surat tugas) kepada beliau. Sekilas saya memperkenalkan diri saya sebagai pengajar muda. Sedikit pembicaraan kami, Pak Syaiful sangat jelas menangkap apa yang saya kemukakan, pikir saya. Lalu menyuruh saya menunggu sebentar lagi karena akan menyampaikan “surat sakti” kepada komandan langsung karena masih berada di kantor. Tak lama kemudian beliau memanggil saya “Ibu, ibu mari menghadap Bapak Dandim. Waa....gayung bersambut...saya tidak menyangka akan bertemu langsung dengan Dandim kala itu dikarenakan niat awal belum untuk menghadap. Di bawah pohon beringin di tengah lapangan berkonblok tampak duduk 4 orang berseragam hijau dan Pasimin menggiring saya ke arah mereka. Dengan senyum lebar dan seramah-ramahnya saya menyebutkan nama saya seraya berjabat tangan. Duduklah saya di satu kursi yang kosong, dan sapaan Bapak Komandan “njenengan sinten?tiyang pundi?kok wani-wanine neng Aceh” (terjemahannya yaitu “Kamu itu siapa?aslinya mana?kok berani-beraninya jauh-jauh ke Aceh”) begitulah kurang dan lebihnya masih terus terngiang di memori otak saya bagaimana sumringahnya hati ini bertemu dengan orang yang mengajak saya untuk berbicara dengan Bahasa Jawa. Dengan kursi melingkar, di hadapan bapak-bapak berpakaian dinas hujau dan tampak strip warna hitam mulai dari strip 2 (Lettu), 3 (Kapten), melati 1 (Mayor), melati 2 (Letnan Kolonel) di krah baju bapak-bapak tersebut. Yah, kami berdiskusi dengan santai terlebih Bapak Wakhyono alias Dandim yang sangat ramah pada saya ini terus mengajak diskusi interaktif mengenai kondisi Aceh Utara dan sedikit banyak tentang “merah-putih” yang perlu ditanamkan kepada siswa. Pucuk dicinta ulam pun tiba, semenjak tiba di Aceh Utara saya terus mencari info dimana sekretariat Paskibraka dimana dunia yang selama ini menjadi zona nyaman saya dalam meningkatkan jiwa leadership yang menjadi modal dalam mengorganisasi sekelompok manusia. Yah, Pak Wakhyono mengatakan bahwa di Lantai 2 gedung di depan saya duduk kala siang menjelang sore tersebut merupakan barak yang digunakan untuk pelatihan Paskibraka Kabupaten Aceh Utara. Dalam forum kecil tersebut dengan menunjuk ke masing-masing anak buah Bapak Komandan menyebutkan asal daerah anak buahnya, ada yang dari Jawa dan ada pula yang asli orang Aceh. “Bapak sendiri??” celetuk pertanyaanku pada beliau. Dengan muka ramah senyuman beliau menjawab “Portugal”, spontan saya mengerutkan dahi dan Bapak menjawab “Purwokerto-Tegal”.....hihihihihihihihihi bapak Komandan gaul, suka bercanda dan sangat ramah. Komentar dalam hati saya dan senyuman lucu hasil dari candaan beliau. Dan pada akhirnya percakapan diakhiri dengan kesepakatan janjian untuk bertemu kembali dengan 5 orang yang lain teman saya untuk bisa bertukar pikiran, berbincang santai atau bahasa formalnya audiensi dengan Bapak Dandim nanti lusa. Saya bersyukur atas ketidaksengajaan dan sedikit kelucuan di awal, dibalik itu semua memberikan rezeki bertemu dengan mudahnya dengan Komandan Kodim 0103 Aceh Utara Letnan Kolonel Wakhyono. Salam “Merah-Putih” dari Aceh Utara Garda Depan Peta Indonesia, Erma Dwi Purwantini

Cerita Lainnya

Lihat Semua