aku kira begitu, ternyata begini

Erma Purwantini 25 Juni 2011
Aku kira begitu, tapi ternyata begini... Satu Minggu sudah kulalui bersama kasur besar berkelambu pink bak kamar pengantin ini. Kamar yang khusus disediakan housefam untukku mempersiapkan semangat menuju sekolah yang hanya dibatasi jalan kampung di depan rumah. Aku merasa orang asing ketika bahasa roaming. Mamak alias ibu asuhku yang sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia, Ayah yang selalu menyapaku dengan senyuman tanpa giginya, dan seluruh keluarga besar yang menggelegar ketika tikar sudah digelar di depan televisi. Yah..rame bgt suasana rumah baruku ini. Aq berfikir keramaian ini akan mengalihkan pikiranku pada kerinduan dengan kampung halaman dan teman-teman. Menghilangkan rasa takutku pada halusinasi hantu,hihi. Shock pertama yang kualami adalah tidak adanya sinyal provider Indosat. Hmm...di dalam bayanganku dari keberangkatanku dengan pesawat yang dapat breakfast itu, aku tak akan kesulitan dengan yang namanya sinyal HP. Yah, pikiran yang agak aneh memang, tau akan ditempatkan di pelosok masih saja berfikiran segala kenyamanan ada. Okay, aku berdamai pada hatiku untuk menerima semuanya dan berfikir jernih apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Perdana Simpati yang memang sengaja aku beli di dekat Kebun Raya Bogor dengan nomor urutan dengan cowok baik dan nyentrik itu, demi persiapan apabila nanti tidak ada sinyal indosat di daerah penempatan. Yah, sebenarnya aku sudah tau apa yang akan terjadi, namun seolah-olah hati ini bilang “insyaAllah pelosok juga gag segitunya kok”  eh malah kejadian deh... Melewati detik demi detik awal, menit ke menit, jam ke jam hingga hari berganti tak ada sesuatu yang sangat aneh yang aku lihat. Eh...eh...sebentar aku ralat kata-kataku. Pagi hari pertamaku disini aku bangun untuk mengambil air wudhu dan ku lihat kala itu jam weker ku sudah menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh menit dan jelas terlihat dari sela-sela kayu jendela kamar yang memang tidak rapat itu warna hitam menghiasi sadarku dari tidur. Ckrreeekkkk....pintu kamarku ku buka dan ku lihat di depan televisi terbujur berselimut dan berkelambu. Sangat nyenyak sepertinya orang laki-laki yang ada di rumah ini dalam lelap tidurnya. Dalam hatiku berkata “aku sudah kesiangan untuk sholat subuh, mungkin mereka udah sholat kali’ ya”. Di Jogja biasanya jam-jam ini suara srekk-srekk sudah terdengar, cakap-cakap tetangga menyapa dalam langkahnya memulai aktivitasnya, anak-anak kecil yang sudah mulai aaaa’....emmm dgn menu bubur biasanya. Disini, pagi hari kulihat keluargaku masih sibuk dengan selimutnya. Mamak kulihat sudah mulai memberi warna merah menyala pada tungku kayunya. Selepas beraktivitas di kamar mandi, ku mencoba membantu menaruh piring yang sudah selesai dicuci oleh mamak. Bisa berbuat namun tak bisa bercakap, itu yang sampai saat ini cara bergaul dengan mamak yang bisa kulakukan. Mamak sama sekali tidak bisa berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Sesekali aku menggunakan bahasa tubuh untuk bisa mencoba mengartikan apa yang aku ingin tanyakan ke mamak, seperti memperagakan menyapu karena ingin menanyakan dimana letak sapu  Dalam berjalannya hari, aku mulai bertanya-tanya dimana rumah Allah di kampung ini. Suara penanda masuk sholat tak pernah kudengar dari bilik kamar. Dan ternyata tak jauh dari rumah hanya berjalan sekitar 50-an meter sudah bisa mencapai masjid yang cukup besar berwarna kuning ungu yang belum selesai dibangun itu. Adem....itu yang aku rasakan pertama kali memasukinya. Sayang sekali, debu menghalangi kilauan cahaya yang dipantulkan oleh ubin. Hmm.... Mulailah ekspektasiku terhadap Aceh sebagai Serambi Mekkah mulai sedikit memudar. Di amigdala otakku telah tergambar suasana religi yang begitu kental, namun aku melihat hal yang janggal pada masjid besar di kampung ini. Apa aku yang salah berekspektasi?dimana Serambi Mekkah yang ada dalam bayanganku?

Cerita Lainnya

Lihat Semua