15 Juni 2011

Dimas Sandya Sulistio 3 Agustus 2011
Suatu hari saya akan mengenang hari itu sebagai hari yang bersejarah. Hari dimana detak jantung saya menjadi lebih cepat setiap harinya, otak mungil saya berpikir sedemikian derasnya, semua energi dan potensi dikerahkan dengan dahsyatnya. Tak boleh menyerah, tak boleh berhenti, untuk mengajar dan belajar, agar terinspirasi seumur hidup, sekali layar terkembang, maka pantang langkah ini surut kembali. Hari itu banyak air mata membuncah, bola mata berwarna merah. Seakan tak rela berpisah, tak ingin menjauh, ikatan hati pengajar muda yang begitu erat selama dua purnama, harus ikhlas direnggangkan dan direntangkan,di sembilan daerah berbeda, dari ujung barat hingga ke timur, batas utara sampai ke selatan. Semua untuk merangkai semangat pendidikan, menenun tali kebangsaan, dalam bingkai Indonesia Mengajar. Hari itu dini hari, roda-roda bis terasa berat mengangkut kami. Namun ada doa di setiap putarannya yang mengiringi, doa ibu, ayah, keluarga, kerabat, sahabat, yang kelak dirindukan doa berjuta manusia baik yang menaruh harapan besar, doa pemimpin bangsa ini yang menitipkan amanah, doa mereka untuk kami, dan semua saudara di pelosok negeri, “Ayo berjuang! Ayo belajar! Masa depan negeri ini ada di tanganmu.” Hari itu, sejuta pertanyaan menyelimuti relung jiwa kami. Kami buta tentang tempat tujuan, samar-samar menebak seperti apa gerangan, Adakah senyum tulus yang menyambut? Adakah genggam tangan erat sebagai tanda persaudaraan baru? Adakah lentera pendidikan disana siap untuk dinyalakan? Kami cemas, kami pasrah, dan untuk itulah kami datang, untuk menjawab semua pertanyaan itu, dengan “ada”. Hari itu, terbanglah kami mengangkasa, menembus cakrawala, memandang nusantara dari atas sana, membayangkan suasana desa, sekolah, masyarakat, dan rumah tempat kami tinggal, berkawan dengan bumi, bintang, gunung, dan laut, bersusah untuk mendapat listrik, sinyal, dan koneksi internet, bekerja untuk menabur benih semangat, mimpi, dan cita-cita, berharap ada senyum anak-anak Indonesia yang terkembang jadi nyata. Hari itu akan diingat, hingga kelak saya bisa berkata, “Saya pernah mengabdi bagi bangsa ini, hidup dengan masyarakat di desa terpencil, menitipkan pahala bagi siswa sekolah dasar disana, menjadi bagian untuk membangun Indonesia kita. Setahun menempa diri, memancarkan gelora kepemimpinan, janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tuntas sudah..” Hari itu boleh menjadi mula, tapi perjuangan tak berhenti satu tahun kemudian, karena mendidik adalah kewajiban setiap orang yang terdidik. Ilmu itu terlanjur bersemayam di hati, meluap di kepala, menunggu untuk dibagi, menanti untuk diisi lagi. Hasrat itu tak akan pernah usai, meski janji telah terlunasi, mengajar dan belajar adalah dedikasi, dimana pun dengan cara apa pun, karena kebahagiaan akan menjadi lebih nyata, saat kita benar-benar berbagi. *** Salam dari ujung barat Indonesia kepada semua pengajar muda, dimana pun kalian berada.. "Kalian adalah inspirasiku.."

Cerita Lainnya

Lihat Semua