7 Alasan Menjadi Pengajar Muda

Dimas Sandya Sulistio 7 Juli 2011

Selamat datang para pemberani!” – Hikmat Hardono, Program Director Indonesia Mengajar

Itulah kata sambutan yang pertama kali saya dengar ketika berkumpul dengan ke-71 orang pengajar muda dalam acara pembukan training intensif selama 7 minggu. Sebuah kalimat yang sangat memotivasi, namun sekaligus menggelitik hati kecil saya. Benarkah saya pemberani? Benarkah saya menjalani semua ini untuk mengabdi? Benarkah saya siap dengan segala suka dan duka yang akan saya temui di daerah penempatan nanti? Entahlah. Saat itu di benak saya masih penuh tanda tanya.

Tetapi justru karena itulah saya dan mereka semua hadir disana. Berdiri bersama para pemuda pemudi yang rela meninggalkan kehidupan nyaman untuk hidup dalam keterbatasan, namun penuh inspirasi. Semua untuk satu misi, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut memajukan pendidikan Indonesia. Dan seiring perjalanan yang saya lalui, satu persatu jawaban mulai muncul layaknya potongan puzzle yang merangkai potret perjalanan kehidupan. Maka andai saya boleh berbagi, inilah setidaknya tujuh alasan mengapa saya menjadi pengajar muda..

1.    Aku Pilih Mengajar!

Orang bilang hidup ini pilihan, maka itu kamu bebas memilih jalan yang akan kamu lalui selama kamu tahu kemana tempat yang kamu tuju, agar kamu tak tersesat. Begitulah, menjadi pengajar muda bukan satu-satunya pilihan yang tersedia. Dan setiap kali dianugerahi kesempatan untuk memilih, saya selalu bersyukur. Bayangkan berapa banyak orang di dunia ini yang hidup tanpa pilihan. Menjalani takdir sebagai sebuah nasib yang tak bisa ditawar. Tapi saya masih bisa memilih, meski ini bukan pilihan yang populer di tengah pilihan lainnya yang jauh lebih nyaman. Karir, beasiswa, keluarga. Semua adalah pilihan yang kemudian ditinggalkan. Betapa sulit rasanya hingga tiba di keputusan ini, namun berkat doa restu ayah dan ibu, saya mantap memilih jalan ini.

Seorang teman berkata bahwa kita ini hidup karena budi baik orang lain. Kita makan beras dari budi baik petani, kita makan ikan dari budi baik nelayan, kita punya rumah dari budi baik para kuli bangunan. Kita sudah banyak mendapat kebaikan dan sudah saatnya kita membalas kebaikan itu dengan budi baik kita. Lantas, saya merasa bahwa saya telah banyak menerima budi baik dari negeri ini hingga saya bisa mencicipi nikmatnya pendidikan dengan subsidi dari pemerintah dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Jadi inilah saatnya saya mengabdi, saatnya saya berbagi. Karena saya punya sedikit ilmu, maka saya pilih mengajar untuk saudara-saudara saya di pelosok negeri.

2.    It’s Time To Break

Apalah artinya sebuah kalimat tanpa spasi. Dia akan kehilangan maknanya karena hanya berisi timbunan huruf tanpa jeda, tanpa jarak, dan tanpa ruang yang menjadikan kalimat tersebut lebih berarti. Hidup juga begitu. Karena seringkali kita terlalu cepat berlari, hingga menangisi atau memaki hari-hari yang kita lalui. Terjebak dalam rutinitas, terkejar oleh hasrat duniawi untuk sebuah materi. Maka inilah saatnya untuk berhenti. Waktunya untuk mendengarkan suara hati dan berefleksi. Tibalah masa berkontemplasi, sebuah perenungan yang akan mengisi kekosongan batin dari sesaknya aktivitas yang membelenggu diri.

Ruang inilah yang saya cari. Sebuah ruangan tempat saya bernafas sejenak, dan mulai menggali inspirasi. Saatnya break, saat dimana pikiran, tubuh, dan jiwa ini di-charge kembali hingga baterainya benar-benar penuh. Saatnya belajar tentang kesederhanaan, ketulusan, dan kesabaran. Saatnya menempa diri, memupuk jiwa kepemimpinan. Menjalani kuliah kehidupan selama dua semester, yang jika lulus nanti akan menjadi pelajaran berharga seumur hidup saya. Sebuah pengalaman lahir dan batin, yang akan selalu dikenang. Setahun mengajar, seumur hidup terinspirasi, begitu katanya.

3.    Average Is Boring

Konon mimpi adalah kunci untuk menaklukan dunia. Semua karya besar lahir lahir dari sebuah mimpi, yang bisa jadi dianggap konyol pada zamannya. Andai saja Wright bersaudara tidak terus bermimpi tentang kapal terbang atau manusia burung, bisa jadi saat ini kita masih berlayar dengan perahu jika ingin melintasi lautan. Andai Thomas Alfa Edison tidak bermimpi untuk menciptakan cahaya dalam gelap, pastilah lampu hanya jadi angan-angan belaka. Maka andai Pak Anies Baswedan tidak pernah bermimpi bahwa ada ribuan anak muda yang rela dikirim ke daerah pelosok, sekedar untuk mengajar, dan menyalakan harapan pendidikan disana, maka pastilah Indonesia Mengajar hanya sebuah konsep yang bersarang di kepala.

Berlayar terus berlayar, jangan tunggu keajaiban datang. Teramat sayang jika hidup ini kita habiskan dengan terus tinggal di zona nyaman. Lakukan sesuatu yang bisa jadi orang tak terpikir untuk melakukannya. Bukankah kita tidak pernah tahu hasilnya jika tidak pernah mencoba. Jangan jadi rata-rata, tapi jadilah luar biasa. Karena ketika kita hidup dalam keterbatasan, seringkali kita melentingkan potensi kita hingga tiba di kondisi akhir terbaiknya. Lagipula hidup ini cuma satu kali maka tak ada salahnya untuk membuat hidup jadi lebih bermakna, di atas rata-rata.

4.    Sekolahnya Manusia

Manusia bersekolah untuk menuntut ilmu. Itu artinya sekolah dibuat sebagai tempat untuk mencetak orang-orang berilmu. Tapi ketika sekolah hanya menghasilkan robot-robot pandai pencetak materi, yang menyingkirkan orang-orang non eksak, serta mendikotomikan manusia dalam label pintar dan bodoh, maka disinilah sekolah telah banyak mengalami pergeseran makna. Ia terjebak dalam ranah komersialiasi sehingga memajak para penikmat pendidikan dengan harga selangit. Ada harga, ada rupa. Begitulah prinsip ekonomi. Semakin tinggi harga yang dibayarkan, maka semakin tinggi kualitas yang didapat. Lalu bagaimana dengan kondisi sebagian besar sekolah negeri? Inilah yang jadi potret ironi, sebuah paradoks di negeri ini.

Sejatinya sekolah adalah tempat manusia belajar hingga ilmu yang dimilikinya menjadi bermanfaat bagi yang lain. Sekolahnya manusia, adalah sekolah yang memuliakan manusianya, dimana setiap orang dihargai sebagai individu yang unik, cerdas dengan segala kelebihannya masing-masing. Untuk membangun sekolahnya manusia, maka yang mengajar haruslah gurunya manusia. Guru yang tahu cara mendidik manusia, lebih dari sekedar menjalani profesinya. Guru yang mengajar dengan setulus hati dan sepenuh jiwa, serta mengerti kebutuhan para siswanya. Untunglah masih ada banyak guru yang layak disebut gurunya manusia, meski tidak sebanyak gurunya para robot. Saya mau bertemu mereka dan belajar menjadi gurunya manusia, agar suatu hari kelak semua sekolah di negeri ini menjadi sekolahnya manusia. Sekolah tempat manusia benar-benar menuntut ilmu, bukan nilai.

5.    Give The Benefit, First!

Pernahkah kita sadari bahwa pendidikan adalah tanggung jawab kita semua. Bukan hanya tanggng jawab pemerintah, guru, dan orang tua siswa. Jika jawabannya ya, maka berhentilah memaki. Pendidikan adalah tanggung jawab setiap yang terdidik. Alih-alih mengutuki sistem pendidikan yang tak kunjung beres, dana BOS yang alirannya masih simpang siur, kualitas guru yang mutunya mencemaskan, mengapa bukan kita yang memulai untuk menjadi pemberi manfaat? Kita yang mulai menyalakan pelkita harapan di benak setiap anak, bahwa pendidikan berkualitas itu bukan mimpi. Dan semua orang berhak mendapatkannya.

Berhentilah membicarakan polemik pendidikan negeri ini. Ayo berbuat, sekecil yang kita bisa! Karena seringkali ilmu sederhana yang kita punya jadi sangat luar biasa bagi orang yang membutuhkannya. Betapa banyak orang yang pintar membaca dan menulis, tapi hitunglah berapa orang yang mau mengajarkan hal tersebut. Berapa banyak orang yang pandai berhitung, tapi lihatlah berapa orang yang mau mengajarkannya. Berapa banyak orang terdidik yang mau mendidik. So give the benefit, first! Lets stop cursing the darkness ‘n try to light a candle..

6.    Teladani A.K.A.R

Sejak dulu saya selalu mengagumi akar. Ini adalah bagian tubuh tanaman yang paling tidak terlihat, namun justru paling kokoh dan berperan besar dalam menunjang kehidupan tumbuhan tersebut. Tujuannya hanya satu, mencarikan air untuk proses kehidupan. Ia gigih, tak berhenti meski dihadang batu atau jurang yang menganga. Dengan segala keyakinan, ia menembus, meliuk, mengantung, memutar, dan berjuta cara lainnya agar tiba di tempat air berkumpul. Akar begitu menjalani perannya dengan bersungguh-sungguh. Penuh tanggung jawab tanpa jumawa.

Menjadi pengajar muda adalah cara saya untuk meneladani A.K.A.R. Darinya, saya belajar untuk memiliki Ambisi, agar pantang menyerah hingga mencapai tujuan. Ia juga menjalani tugasnya dengan Konsisten. Terus bergerak tanpa henti. Pelan namun pasti. Agar berhasil, maka ia selalu ber- Adaptasi dengan lingkungan yang ditemuinya. Dihadang beton, batu, pasir, kerikil, sungai, adalah cobaan kecil. Ia lalu melebur bersama alam, berbaur, dan menjadi bagian dari lingkungan agar tetap bisa melaju. Yang terpenting, di atas segalanya ia tetap Rendah hati. Akar tidak pernah menjulang, melawan takdirnya. Ia selalu membumi, seperti ilmu padi.

7.    Have F.U.N Go M.A.D !

Pernahkah kita menjalani sesuatu hal yang kita sukai, hingga kadang kita rela menyisakan waktu yang kita miliki untuk menekuninya? Pernahkah kita merasa puas akan sebuah karya sederhana yang dihasilkan dari kesukaan kita? Bisa jadi itulah passion kita. Dan inilah saatnya saya menikmati “sisi lain” dari diri saya. Ya, saya suka belajar dan mengajar. Saya suka bercerita dan berkegiatan bersama anak. Saya suka berpetualang dan jalan-jalan untuk mengenal negeri ini. Tapi itu semua akan lebih berarti jika saya bisa ikut serta menghasilkan perubahan. Tentunya menjadi lebih baik.

So, lets start to Find Ur passioN, and Make a Difference. Have F.U.N go M.A.D ! Karena setiap orang sejatinya bisa menjadi changemaker bagi diri dan lingkungannya. Inilah saatnya jadi tahu, lebih peduli, lalu berbuat aksi nyata. Inilah tangga untuk mengabdi pada Indonesia. Inilah masanya mengenal negeri ini dari sudut yang berbeda. Nikmati, alami, dan lalui, pengalamannya secara langsung. Maka meski banyak rintangan menghadang, inilah waktunya untuk mengatakan:

“Pengajar Muda, YES WE CAN!”


Cerita Lainnya

Lihat Semua