info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

24 Juli 2011

Dimas Budi Prasetyo 5 Agustus 2011

24 Juli 2011. Minggu malam, 20.55. Langit di luar jelas terlihat menampakkan “butiran” bintang, menandakan malam yang cukup cerah, tak cukup mendung. Dan sepertinya aku bisa tidur lebih cepat malam ini; ya, aku tidak perlu menunggu hingga turunnya hujan, tidak perlu berepot-repot mengeluarkan belasan ember “penampung air hujan” ke luar dapur; dan lagipula, tong biru besar di dapur masih cukup banyak berisi air hujan untuk persediaan minum seminggu ke depan.

Malam ini cukup gelap, karena bulan sepertinya masih mengumpat dan menampakkan cahayanya di belahan bumi lain, setelah memberikan cukup lentera beberapa hari yang lalu di belahan jantung Kalimantan ini. Cukup tenang, walau masih terdengar suara mesin genset di satu atau dua rumah, dan keramaian suguhan TV kabel tenaga surya di balai dusun, yang tepat berjarak 20 meter dari rumah Pak Petrus, Sang Kepala Dusun, bapak angkatku di desa di tengah belantara Kalimantan tempat aku ditempatkan untuk pengabdian setahun ke depan.

Aku baru saja pulang dari rumah Pak Simin, seorang yang ramah dan sangat baik; menikmati suguhan kopi hitam dan gurauan malam dengannya dan keluarga, setelah 1 jam lamanya berbincang hangat dengan putri Bawean melalui sinyal ponsel yang kudapat kira-kira berjarak 50 meter dari rumah. Rumah Pak Simin sangat lah beruntung, ia menjadi satu-satu nya rumah yang diberikan anugerah sinyal salah satu provider berlogo kuning-hijau baik di teras atau pun di dalam rumahnya. Ya, rumah itu memang selalu ramai didatangi warga sekitar; tentu saja, untuk menggantungkan henfon dan mencari peruntungan mendapat satu atau dua batang sinyal.

Malam ini tidak ada sayur, atau pun ikan yang digoreng atau direbus di rumah. Ibu pun sudah tidur. Memang, ia belakangan sering tidur lebih cepat semenjak ditinggal suaminya mencari peruntungan sesuap nasi di desa tetangga. Aku menikmati hidangan malam dengan sepiring penuh nasi dan mi instan yang telah dimasak ibu pada panci berdiameter 20 cm. Cukup nikmat, dan kombinasi dual-karbohidrat berpengawet ini cukup membuat perut buncit seketika.

Aku pun masuk kamar, menyalakan senter berbentuk lampu petromaks untuk menerangi kamar berkelambuku yang berukuran 3x3 m ini. Setelah menyalakan lentera itu, aku terpikir untuk keluar kamar sejenak, menengok ke arah perpustakaan kecil yang telah kususun 2 hari terakhir; ya, mempersiapkan materi dan simulasi yang akan kupersiapkan untuk pengajaran 4 kelas yang dibagi dalam 2 kelas sekaligus dalam waktu yang bersamaan.

Ya, terhitung mulai seminggu ke depan aku dibebankan untuk memandu kelas 1, 2, 5, dan 6 sekaligus dalam satu waktu. Pak Kepsek yang telah lanjut usia hari ini telah berangkat ke Pontianak, untuk menghadiri wisuda anak bungsunya. Dan ia akan kembali 2 minggu lagi, dan di waktu itu pula lah aku diberikan kesempatan untuk menjadi superteacher. Rupanya Pak Kepsek yang memiliki keterbatasan pendengaran ini lebih mempercayakan tahta nya kepadaku, ketimbang guru honorer sekolah yang baru tiba 2 minggu lalu di desa yang berjarak 7 km dari Putussibau, sebuah kota kabupaten paling timur Kalimantan Barat, namun sayangnya harus ditempuh selama 1 jam perjalanan darat dan 2 jam perjalanan air.

Besok adalah jadwal pelajaran Bahasa Indonesia, IPA dan IPS untuk kelas 5 dan 6. Namun sepertinya aku akan memasukkan sedikit sesi Matematika di antara ketiga mata pelajaran itu; minimal untuk melancarkan mereka dalam melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan. Sedang untuk kelas 1 dan 2? Untung lah, besok ada pelajaran Matematika, jadi aku sepertinya akan memberikan mereka beberapa soal latihan penjumlahan sederhana; so, aku bisa meninggalkan mereka dalam waktu yang cukup lama untuk kembali ke kelas 5 dan 6, dua kelas yang dipercayakan untuk kubina selama setahun ke depan sebagai wali kelas. Mudah-mudahan besok mereka tidak mengalami keletihan di pagi hari; ya, besok pagi adalah pagi di mana upacara bendera hari Senin untuk pertama kalinya dilaksanakan di Desa Jangkang, dan aku menaruh harapan yang besar sekali kepada mereka: kelas 4, 5, dan 6 yang telah kugembleng habis-habisan hampir di tiap sore sejak 3 hari yang lalu. Agak sedikit memaksa memang, namun melihat harapan dan wajah polos mereka, membuat aku semakin yakin bahwa mereka memang memiliki potensi yang sangat besar. Bagaimana tidak, setelah menjalani tambahan pelajaran selama 2 jam selepas jam sekolah, mereka masih mau dan mampu untuk melanjutkan mengikuti latihan upacara di sore harinya.

Berat, sangat berat. Menantang, dan memang; sangat menantang. Aku tak kuasa menahan emosi dalam diri; membendung raunganeuphoria untuk segera membantu mengeluarkan potensi dari tiap-tiap 12 anak yang menjadi cahaya harapan di teriknya siang dan lentera harapan di dinginnya malam belantara Kalimantan ini. Mereka adalah anak-anak yang bukan kurang kompetensi, namun belum terbina potensinya untuk bangkit dari ketenangan dan kenyamanan hidup di desa. Mereka mau, masih, dan butuh pengetahuan dan informasi yang lebih banyak akan dunia luar. Ya, kesimpulan itu kutarik dari, salah satunya, hausnya keinginan mereka untuk membaca; hampir di tiap siang dan malam aku melayani mereka meminjam buku di depan kamarku, di sebuah perpustakaan kecil yang aku niatkan untuk aku launching di sekolah esok hari. Mereka, 12 anak ini, mampu mengganti kebiasaan menonton di malam hari dengan sebuah buku bacaan; walau dengan 1 atau 2 halaman yang dapat mereka habiskan dalam waktu 30 menit, namun jelas, asa mereka semakin terasah; ya, mereka terus menerus berlatih agar, minimal, dapat lancar membaca.

Setelah sesaat menikmati segelas kopi susu panas dan bincangan hangat dengan putri Bawean dalam hati, malam ini akan kulanjutkan dengan berbagai luapan ide untuk menemui dan menghadapi kembali harapan-harapan itu, besok pagi...

Setelah sesaat menikmati segelas kopi susu panas dan bincangan hangat dengan putri Bawean dalam hati, malam ini akan kulanjutkan dengan berbagai luapan ide untuk menemui dan menghadapi kembali harapan-harapan itu, besok pagi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua