Kifli Si Bocah Adaut

Dedi Kusuma Wijaya 12 Juli 2011

Kifli si Bocah Adaut

Beberapa hari terakhir, aktivitas saya adalah berada di Kota Saumlaki dan berada di rumah sakit untuk menunggui temanku yang sedang sakit. Hari kedua di rumah sakit, Arum datang untuk bersama-sama menemani Bagus yang sedang sakit. Dari pelabuhan, ia datang bersama seorang bocah ABG yang mengenalkan diri sebagai Kifly. Bocah ini ‘ditemukan’ Arum di Adaut, ketika ia sedang bermain dan menginap di rumah Ratih di Adaut. Di situ mereka pergi ke pantai, dan berkenalan dengan Kifli yang juga sedang main di sana. Saya juga tidak tahu pasti sudah berapa hari mereka berkenalan, tapi yang pasti pada saat Arum akan pergi ke Saumlaki untuk menengok kami, Kifli juga mau pergi ke sini untuk memulai sekolah SMAnya. Saat berkenalan di rumah sakit, saya mempunyai kesan bahwa ia adalah seorang anak yang percaya diri, cerdas, dan punya rasa ingin tahu tinggi. Tidak seperti beberapa anak Maluku yang kutemui sebelumnya, ia berusaha sebisa mungkin memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga komunikasi dengan kami cukup lancar. Kifli adalah seorang muslim yang di saumlaki ini tinggal di kampung Katolik. Hal ini dikarenakan ayahnya adalah orang Buton, yang menikah dengan ibunya yang adalah orang Saumlaki asli. Ayah ibunya lalu menetap di Desa Adaut, sehingga saat Kifli ke Saumlaki ia akan tinggal di rumah oma dari pihak ibunya yang adalah seorang Katolik dan tinggal di Desa olilit yang merupakan desa Katolik. Di Adaut dulu, sekelompok mahasiswa Universitas Indonesia pernah melakukan KKN di sana, dan Kifli banyak bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa yang berada di Adaut selama sebulan itu. Kifli mengikuti lomba debat Inggris dan mendapatkan juara kedua saat itu. Peristiwa kedatangan mahasiswa KKN ini sangat berkesan bagi dirinya, sehingga saat para mahasiswa ini kembali ke Jakarta ia sampai menangis dan ngambek selama dua hari. Mungkin karena kami dianggap mbmawa nuansa yang sama dengan anak-anak KKN tadi itulah Kifli dapat akrab dengan kami. Sehari-hari di rumah sakit, kegiatan yang saya dan Arum lakukan adalah menyiapkan makanan untuk Bagus, membelikan obat (rumah sakit kadang kehabisan obat sehingga kami diminta membeli pobat sendiri di apotek), pergi ke rumah bapak camat, dan sisanya dihabiskan dengan menerima tamu yang datang ke rumah sakit. Jumlah tamu di hari-hari awal cukup banyak, terutama karena bapak camat Molo Maru, tempat kerja saya dan Bagus, meminta seluruh pengurus-pengurus kecamatan yang sedang ada di Saumlaki untuk datang berkunjung ke rumah sakit. Sejak hari pertama di rumah sakit, si Kifli selalu datang berkunjung, dan ikut menjadi penjaga. Biasanya, kehadiran ‘orang baru’ yang tinggal dalam waktu yang lama akan membuatmu tidak nyaman, entah itu karena merasa kehilangan privasi atau karena bingung saja mau diapain orang ini. Tapi hal itu tidak kurasakan dengan Kifli. Dia datang saja, hampir seharian di rumah sakit, dan kadang bicara, kadang sedikit membantu ini itu, dan lebih banyak diam bermain iPod Arum atau menonton video di laptop. Saya juga bertanya-tanya, sebagai ABG apa dia tidak bosan dengan aktivitas yang itu-itu saja di rumah sakit. Kadangkala saya dan Arum pergi ke rumah pak camat, sehingga berjam-jam dia di rumah sakit saja menemani Bagus yang lebih banyak beristirahat. Kami sebenarnya merasa agak tidak enak dengan dia, karena biasanya anak seusianya lebih dinamis dan banyak bermain dengan temannya. Kamipun sudah menyampaikan bahwa ia tidak harus selalu datang, kalau ada teman yang lain ia bisa bermain dengan temannya dan tidak terbeban untuk harus menjagai Bagus. Namun ia tetap saja datang, dan sebagai kompensasi dari kehadirannya yang lumayan meramaikan suasana di rumah sakit, saya beberapa kali mengajarkannya beberapa hal seperti memakai laptop, bahasa inggris, dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Kifli pun sempat berkontribusi dengan membawakan jambu yang dipetik dari pohon depan rumahnya untuk Bagus. Saya sih tidak pernah memakan jambu seperti itu, tapi untunglah buah itu sesuai dengan lidah Bagus. Kemarin petang, Arum menerima telepon dari Ratih yang mengabarkan bahwa ayahnya Kifli pergi ke rumahnya dan menitipkan pesan untuk disampaikan pada Kifli bahwa temannya yang bernama Omang meninggal karena sakit malaria. Menerima kabar itu, Kifli langsung terdiam, dan lalu menangis sembari berkata bahwa Omang adalah teman karibnya sejak SD. Saya Cuma bisa menghiburnya, sambil menawarkan bantuan untuk mengantarkannya untuk melayat. Karena Kifli tidak tahu apakah jenazah almarhum temannya ini berada di Adaut ataukah di Saumlaki, ia ingin menelepon ayahnya. Tapi karena nomor telepon ayahnya ada di handphone omanya, saya mengantarnya lagi ke rumah omanya. Ternyata omanya tidak ada di rumah, dan mulailah perjalanan ala termehek-mehek dimulai. Kami mencari oma yang diduga Kifli sedang menonton lomba paduan suara di gereja. Untunglah di tengah kerumunan orang omanya bisa didapatkan. Setelah mendapatkan nomor telpon ayanhya, Kifli pun menelepon dan lalu tahu bahwa Omang meninggalnya di Saumlaki, dan saat ini kemungkinan sudah dibawa ke rumahnya. Kifli belum pernah ke rumah Omang di Saumlaki, tapi ia ingat kalau Omang pernah berkata ingin bersekolah di STM yang dekat rumahnya. Ala termehek-mehek, kami pun ke STM, bertanya sama warga, dan stelah bertanya bolak balik, kami pun sampai ke rumah temannya itu. Kifli sangat sedih, namun lega bisa melihat jenazah temannya, dan mendapatkan informasi bahwa jenazah temannya akan dibawa ke Adaut besok siangnya untuk dimakamkan di sana. Di malam itu, di rumah duka, saya berpikir tentang keberadaan saya saat ini. Berada di Maluku Tenggara Barat, bersama anak dari desa yang baru kukenal, melayat ke rumah duka di tempat dan dengan orang-orang yang belum pernah kutemui sebelumnya. Sungguh suatu hal yang tak terbayangkan sebelumnya. Esok paginya, Kifli datang ke rumah sakit, berpamitan bahwa ia akan pergi ke Adaut untuk mengikuti pemakaman temannya itu. Sore harinya, saya terkejut karena oma Kifli menelepon. Ternyata ia ada di rumah sakit, ingin menjenguk Bagus. Oma pun membawkan Lamet, makanan khas Maluku yang dibuat dari beras ketan dicampur gula merah dan parutan kelapa. Kata oma, Kifli sebelum pamit ke Adaut meminta si oma untuk berkunjung ke rumah sakit. Kifli pun sempat ikut membuat lamet tersebut sebelum pergi ke Adaut. Saya jadi ingat film Babel, yang pernah mendapat nominasi film terbaik Academy Awards. Film itu menceritakan bahwa sesungguhnya orang-orang di muka bumi ini terjalin dalam sebuah sarang laba-laba yang tak kelihatan. Begitu pula yang saya rasakan sepanjang perjalanan tiga bulan terakhir. Secara tak dinyana saya bertemu 72 teman-teman baru, dari beragam latar belakang, berkenalan dengan bapak-bapak Rindam Jaya, bapak ibu di IM, orang-orang hebat, dan warga-warga Maluku yang ramah bukan kepalang. Pertemuan dengan Kifli pun, bagi saya, adalah perwujudan dari idiom itu, sekaligus membuat saya semakin menikmati hari demi hari di sini, di mana tiap hari saya bertemu dengan orang baru, dengan cerita yang baru pula. Saumlaki, 6 Juli 2011

Cerita Lainnya

Lihat Semua