Kebhinnekaan di Tanah Maluku
Dedi Kusuma Wijaya 12 Juli 2011Dalam sebuah seminar, Prof. Daniel Sparingga pernah bercerita bahwa dasar kemajemukan negara kita, kebhinneka tunggal ikaan negara kita lahir dari keinginan dan niat bangsa Indonesia sendiri untuk menyatukan dirinya menjadi satu identitas bernama Indonesia. Kita sungguh berbeda, tapi kita rindu ingin berpayung di bawah suatu negara bernama Indonesia. Penjelasan ini menarik, namun masih abstrak dan merupakan penajaman saja dari pelajaran PPKn yang sudah saya telan bulat-bulat dari kecil. Sejak kecil saya besar dalam lingkungan di mana saya menjadi minoritas. Saya seorang Katolik, keturunan Tionghoa yang hidup di lingkungan muslim, tempat di mana adzan bergema nyaring setiap waktu sholat. Tempat di mana Natal dirayakan biasa-biasa saja, hanya sebatas di lingkungan keluarga atau gereja saja. Kebhinnekaan bagiku adalah suatu hal yang tidak jauh dari slogan belaka, apalagi ketika kita dikepung dengan berita media yang mendiskreditkan kebersamaan, dengan mengangkat berita satu kelompok yang mensuperiorkan dirinya dari kelompok lain, kelompok-kelompok yang mengharamkan pluralisme, dan sebagainya. Beberapa waktu terakhir, untuk pertama kalinya dalam hidupku saya berkesempatan hidup dalam lingkungan yang benar-benar beda, di masyarakat yang mayoritas Nasrani. Di Maluku Tenggara Barat, populasi Nasrani memang menjadi mayoritas, hampir 90% dari penduduknya. Berada pada lingkungan ini, saya sungguh melihat Indonesia dari sudut pandang yang berbeda. Saya melihat dan merasakan luasnya bentangan negara ini. Salah satu contoh yang paling sederhana adalah pada saat jam 6 sore, seringkali saya masih merasa heran mengapa orang-orang tetap berkegiatan, mengapa tidak ada break sholat maghrib. Saya masih menyesuaikan diri dengan tidak adanya kumandang adzan yang bergema di waktu-waktu sholat. Di desa yang saya tempati, 100% beragama Protestan, dan tokoh masyarakatnya pendeta, bukan kiai seperti yang biasanya saya temui. Di balik pengalaman yang berbeda itu, di desa Adodo Molu saya menemukan sebuah cerita yang membuka mata saya bahwa kebhinnekaan sesungguhnya begitu mengakar kuat di tanah kita ini. Sebagai sedikit gambaran awal, Desa Adodo Molu adalah sebuah desa sangat terpencil di sebelah utara Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Tidak banyak orang MTB yang pernah ke desa ini, karena keterpencilannya. Ombak besar menanti kapal-kapal yang ingin merapat ke desa ini, sehingga mereka terbiasa hidup dalam interaksi yang minim dengan dunia luar, dan sampai hari inipun listrik dan sinyal belum menghampiri desa ini. Di desa ini, hampir setiap orang yang saya temui selalu menceritakan sebuah cerita tentang mantan guru SMP di desa, yang bernama Pak Bachtiar. Pak Bachtiar adalah seorang guru kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan yang ditugaskan untuk mengajar di Desa Adodo Molu, 15 tahun yang lalu. Pak Bachtiar datang bersama istri dan satu orang anaknya, dan mereka bertiga adalah tiga penganut muslim pertama yang tinggal di desa ini. Pertama tiba Pak Bachtiar mengalami gegar budaya, baik dari segi makanan maupun budaya. Ia awalnya mengurung diri di rumahnya terus, sampai oleh warga dia diajak untuk berkunjung ke rumah-rumah warga. Lama kelamaan, beliau menjadi warga yang sangat dihormati karena ia sungguh menjadi guru yang baik. Ia bisa mengajar semua mata pelajaran IPA di SMP, dan juga berperan sebagai guru BK bagi anak-anak. Pak Bachtiar malah seringkali mengorganisir siswa-siswanya untuk mengisi drama Natal di gereja, dengan ia sendiri menjadi naratornya. Sebagai seorang muslim, Pak Bachtiar tentunya perlu melaksanakan kewajibannya untuk sholat jumat dan berpuasa pada saat bulan Ramadhan. Warga yang lama kelamaan mempelajari pola ibadah Pak Bachtiar pun akhirnya membangunkan sebuah bangunan kecil untuk digunakan sebagai musholla. Setiap kali ada acara warga dan Pak Bachtiar hadir, warga selalu menyediakan makanan khusus yang halal untuk si bapak dan keluarga, mengingat celeng dan RW selalu menjadi makanan favorit warga saat ada pesta. Yang cukup unik adalah pada saat Idul Fitri, Pak Bachtiar selalu mengadakan open house, dan semua warga desa datang bertamu ke rumahnya yang kecil, kebanyakan membawakan makanan juga sehingga warga selalu bercerita, Idul Fitri adalah perayaan yang besar di kampung mereka, bahkan kadang makanannya lebih melimpah daripada waktu Natal. Setelah beberapa tahun di kampung, pengurus desa menjadi prihatin karena Pak Bachtiar selama bertahun-tahun tidak pernah pergi ke mesjid untuk beribadah. Karena itu mereka pun berangkat ke ibukota kabupaten, dan meminta ke dinas pendidikan untuk memindahkan Pak Bachtiar ke desa Labobar, satu dari tiga desa muslim yang ada di MTB. Karena desakan pengurus desa yang mengatasnamakan warga, pemerintah setuju mengeluarkan SK pemindahan. Namun pada saat disampaikan ke Pak Bachtiar, beliau menolak keras untuk pindah, dan memilih tetap tinggal di Desa Adodo Molu. Setelah 15 tahun berlalu, Pak Bachtiar sudah menambah tiga anak lagi yang lahir dan besar di Adodo Molu. Sewaktu kerusuhan Ambon meletus, beliau sangat kaget, dan menjadi takut pula mendengar cerita-cerita mengerikan tentang pembantaian antar umat Muslim dan Kristiani. Ia sempat ingin pulang kampung, namun warga meyakinkannya bahwa mereka akan melakukan apapun untuk melindungi ia sekeluarga. Akhirnya konflik Ambon pun berlalu dengan Pak Bachtiar sekeluarga tetap hidup tenang bersama warga kampung. Di tahun 2009, karena desakan keluarga besar di kampungnya yang meminta Pak Bachtiar untuk pulang kampung, beliau pun memutuskan untuk meminta pulang kembali ke kampungnya. Semua warga desa sangat sedih dengan keputusan itu, sampai saat acara perpisahan semua warga, tanpa terkecuali, menangis tersedu-sedu. Dari rumahnya –tempat acara perpisahan- sampai ke kapal, Pak Bachtiar dan keluarganya diangkat dengan kursi, sebuah penghargaan yang sangat tinggi dari warga. Sampai hari ini, dua tahun setelah kepergiannya, masih banyak warga yang bercerita tentang Pak Bachtiar, nuansa pada saat perpisahannya, dan kerinduan mereka pada beliau. Potongan cerita ini membuat saya sungguh dapat melihat, betapa sesungguhnya keindonesiaan kita masih begitu kuat. Keberagaman dan toleransi mungkin sudah mengalir di darah kita. Dan saat media meliput tentang lapuknya pancasila, gentingnya toleransi di negeri ini, mungkin itu karena kita terlalu sibuk membesar-besarkan kisah pertentangan (walau pemberitaan memang perlu). Saat kita meneropong bumi kita ini lebih dekat lagi, pasti banyak kisah-kisah seperti Pak Bachtiar yang bisa kita dengar dan mungkin saksikan. Saat menulis tulisan ini, teman saya Bagus sedang terbaring sakit di rumah sakit. Saya dan dua teman lain datang untuk menemaninya sepanjang hari. Banyak sekali pengunjung yang datang, warga-warga kota kecil yang begitu ramah dan peduli. Ada dua rombongan gereja yang datang dan mendoakan Bagus, yang seorang Nasrani. Saya ikut berdoa, sementara teman yang muslim dengan tenang duduk di ruang tamu. Di kesempatan lain teman dari teman saya, seorang ustad, datang dan ikut memberikan perhatian dan juga doanya. Saat teman ustad itu datang, datang pula beberapa pengurus kecamatan tempat saya dan Bagus bertugas yang adalah pemeluk Kristen, seperti orang MTB kebanyakan. Saat teman saya sholat, mereka menghentikan pembicaraan dan menunggu sampai teman saya selesai baru melanjutkan pembicaraannya. Di pagi yang cerah di tanah Maluku ini, saya melihat Indonesia dari sudut lain, dan saya juga tetap melihat Indonesia yang selama ini saya tahu dan saya yakini: yang penduduknya berbeda kepercayaan dan latar belakang, tapi memilih
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda