kePE-MIMPI-Nan

Erma Purwantini 27 November 2011

 “Ibu, Munazar bi bon-bon!!” teriak seorang anak kelas 6 kepadaku.

Pagi ini seperti pagi biasanya. Senam mengawali aktivitas pagi anak-anak. Namun, teriakan anak tadi, ya...itu yang beda di pagi ini. Hari Senin yang lalu, kami –saya dan murid kelas 6- mengadakan suatu konferensi kelas layaknya musyawarah para petinggi-petinggi negara untuk membicarakan hal yang sangat genting bagi warga negara kami yaitu warga kelas 6 SD N 16 Kutamakmur. Saya sebagai Penasehat Negara, sudah mulai resah atas berbagai tindak kriminal yang terjadi di negara tercinta.

Keluar masuk kelas sesuka hati, membuang sampah sembarangan, baju dan jilbab tidak rapi digunakan, tidak mengerjakan tugas yang diperintahkan, hingga memakai silop (sandal –dalam bahasa Indonesia). Mau jadi apa negara ini?semua berbuat sesuka hati, yang baik dibuat menjadi  buruk dan yang buruk dianggap baik. Hmm.....

Yah, Presiden kami Munazar pagi ini melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan atas konferensi yang sudah dilakukan. Tentu, seorang warga meneriakkan orasi wujud demi atas penyelewengan aturan yang sudah disepakati. Dalam bahasa aceh, bi = beri, bon-bon = permen. Yah, maksud anak tadi adalah ia mengadukan kepada saya untuk meminta permen pada Munazar yang telah melanggar aturan yaitu tidak memasukkan baju sebagaimana mestinya. Sanksi bagi yang bajunya tidak rapi adalah memberi permen kepada teman sekelasnya. Seorang ketua kelas saja menunjukkan hal-hal yang kurang baik pada anggota kelas, tentu saja hal ini membuat Basri menjadi lebih brutal. “Itu bu, ketua kelas saja bajunya dikeluarkan!” kata Basri penuh dengan penekanan seraya tangannya memegang bagian di atas pinggang baju putihnya dan semakin membuat kacau penampilannya.

Sungguh, kejadian ini membuatku tertegun. Dan ingin rasanya mengambil cermin yang besar untuk melihat diriku sendiri. Apakah sudah diri saya ini layak dilihat orang lain???

Seketika itu Munazar segera merapikan baju di balik pintu karena sangat malu. Seorang ketua kelas telah memberikan contoh yang kurang baik di depan anggotanya. Terlihat jelas dari wajahnya yang tersipu melihatku. Two tumbs!!!seperti jempol yang ada di jejaring sosial kita. Aku mengarahkan jari jempol dan senyum termanisku kepadanya yang telah membenahi penampilannya.

Diawali dengan  berdoa, kemudian dilanjutkan pelajaran Bahasa Indonesia di jam pertama yang disuguhkan dengan puisi buah karya sahabat-sahabat kecilku ini. kata-kata nya sederhana, namun aku merasakan betul apa dibalik makna. Anak-anak yang terus berusaha duduk di bangku sekolah di bukit sawit ini, ingin menggapai cita-cita yang tinggi. Puisi bertemakan sekolah, dimana isinya seputar hal tak jauh dari seseorang yang mereka temui setiap kali mata memandang ke arah papan putih besar yang ada di hadapan mereka. Yang sering mereka sapa dengan “Selamat Pagi Pak” atau “Good Morning Bu”. Bermacam penggambaran kasih sayang yang mereka tuliskan untuk seorang guru.

 Hingga kami bersama-sama menjelajah dunia mulai dari Benua Asia, Eropa, Australia, Amerika, sampai Antartika dengan menggoreskan tinta dan mengepakkan sayap angan-angan. Kelak kami akan sampai di tempat itu, bayang mereka.

Kulihat dari detik yang begitu dahsyatnya berganti menjadi menit, dan seolah jejaknya tak berbekas yang kemudian tanpa ampun mengubah nikmatnya menit-menitku larut dalam suasana kelas yang seperti tak ada angin dan hujan, menggelegarlah bunyi “teeettttttttttttttttttt!!!!!”Pertanda jam pelajaran sudah usai dan waktuku di kelas untuk mereka telah habis.

Pelajaran yang sesungguhnya terjadi bukan hanya seorang guru mengajarkan muridnya. Namun, aku belajar banyak hari ini. Basri yang ingin meneladani Munazar sebagai pemimpin, dan Munazar yang segera melakukan perbaikan diri mendapat “sentilan” dari Basri. Adanya simbiosis Mutualisme layaknya pelajaran IPA yang pernah aku berikan. Mereka saling menguntungkan, mereka saling membutuhkan. Anganku melayang pada sosok-sosok pemimpin negeri ini. Dua anakku ini cukup memberi isyarat tentang figur seorang tauladan. Dimana ia harus mencontohkan, dan bagaimana ia menerima kritikan. Yah...ini teori ideal. Seideal dua anakku tadi dalam menyikapi keteladanan.

 Yang juga tak ketinggalan, karya-karya anak pelosok negeri ini sungguh bagaikan harta yang mungkin tak pernah terfikirkan oleh banyak orang. Sekolah di pinggiran kota yang selalu diidentikkan dengan anak-anak yang tak se”pandai” dibandingkan dengan sekolah di tengah penuhnya fasilitas pelajaran. Jika anak-anakku ini berteriak, tentu mereka ingin menyampaikan pada kalian “Saya juga mau seperti KALIAN!!!” tentunya seperti anak-anak Indonesia  harapan bangsa yang selalu dielu-elukan di kancah ibukota. Anak-anak yang melek teknologi, segala hal terfasilitasi yang sarat akan mimpi. Ya...anak-anakku pun tak ada bedanya, punya kesamaan atas mimpi dengan segala keterbatasan disini.

Hanya saja, mungkin ibu pertiwi ini melahirkan mereka dengan kodratnya menjadi yang sederhana saja. Menjadi bagian-bagian yang melengkapi negeri ini. Mengisi titik-titik ruang bangsa ini. Disini, di ujung negeri ini mereka bahagia. Bahagia dengan apa yang mereka punya, bahagia dengan apa yang mereka terima, bahagia menjadi bagian dari mimpi para pemimpin bangsa.

Salam Semangat dari Ujung Barat,

Erma Dwi Purwantini


Cerita Lainnya

Lihat Semua