Sincerity

Dimas Sandya Sulistio 27 November 2011

Tulus.

Kata itulah yang sering didengungkan ke dalam sanubari kami dari masa pelatihan hingga tinggal di daerah penempatan. Bahkan dalam berbagai kesempatan Pak Anies berkali-kali menyampaikan bahwa ketulusan adalah bahan bakar utama yang akan menjaga semangat kami selama menjadi pengajar muda. Karena tanpa ketulusan, mustahil kami bisa betah mengajar dan kerasan hidup disana. Apalagi di daerah terpencil, dengan segala keterbatasannya, dengan segala gegar budayanya.

Namun, seperti apa bentuk konkrit dari ketulusan itu, saya pun masih bertanya-tanya. Kadang saya hanya bisa menebak-nebak dari perasaan damai yang menghinggapi hati saya, meraba-raba dari kebaikan orang-orang di sekitar saya, atau menduga-duga dari niatan dan ekspresi seseorang ketika melakukan sesuatu. Apakah ia benar-benar punya maksud baik tanpa pamrih? Atau ada maksud lain di balik itu semua? Sesederhana itu paramater saya dalam mengukur ketulusan.

Tetapi ada pepatah yang mengatakan ‘dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu’. Disinilah menurut saya ketulusan menjadi sesuatu yang abstrak, yang hanya bisa dirasakan oleh si empunya tulus dan Sang Maha Tahu. Bahkan tidak jarang saya bertanya tentang ketulusan kepada diri sendiri, setiap kali saya hendak mengeluh. Namun untunglah, bersamaan dengan itu saya teringat sebuah pengalaman berharga di masa pelatihan, saat saya bersama teman-teman berkesempatan mengunjungi sebuah sekolah gratis untuk kaum dhuafa. Dan disanalah saya menemukan inspirasi tentang ketulusan.

Sekolah itu namanya Batutis Al-Ilmi atau kependekan dari Baca Tulis Gratis. Bu Siska dan suaminya, hanya punya satu niat ketika mendirikan sekolah ini, ingin menyekolahkan anak-anak miskin di sekitar tempat tinggal mereka. Alih-alih memberi beasiswa, mereka kemudian mendirikan sekolah yang dimulai dari PAUD dan SD. Bentuknya pun sederhana, seperti kamar kosan yang berderet dengan fasilitas sekedarnya. Lalu disulap jadi kelas. Bahkan ada kelas-kelas yang menggunakan garasi-garasi tetangganya.

Yang luar biasa adalah guru-gurunya. Saya tidak tahu apa motivasi mereka mengajar disana. Apalagi dengan gaji yang tak seberapa. Merekalah yang membuat sekolah itu jadi penuh inspirasi. Mereka mengajar dengan hati. Hingga suatu ketika, saya tertegun saat melihat seorang anak ADHD yang meludahi gurunya, dan ia hanya berkata, “Hanif, kalau kamu mau meludah jangan di wajah. Ibu tidak nyaman dengan itu. Kalau kamu mau meludah, ayo Ibu antarkan ke saluran pembuangan air. Itu tempat orang membuat ludah”. Suaranya lembut, dengan ekspresi tanpa emosi. Tulus. 

Namun dalam praktiknya, ternyata tulus saja tak cukup untuk menjaga kelurusan niat kita. Karena seringkali ketulusan itu terusik oleh semangat yang memudar, sanjungan dari orang bak pahlawan, serta ribuan godaan lainnya yang mengguncang singgasana ketulusan. Tulus ternyata harus disertai rasa syukur, dalam kondisi apapun, agar kita tidak jumawa. Nasib baik membawa berkah, nasib buruk membawa hikmah. Seperti halnya anak-anak Batutis yang entah bagaimana selalu bisa belajar setiap harinya, dengan makanan yang cukup, dengan fasilitas belajar yang semakin berkembang. Bu Siska tidak pernah tahu darimana itu semua berasal. Yang dia yakini hanyalah Tuhan pasti akan memberikan karunia terbaik bagi setiap hamba-Nya yang berusaha. Dan entah bagaimana, rejeki itu pun akan terus mengalir selama hati ini..

Ikhlas.

Begitulah, hanya tulus dan ikhlas yang akhirnya membuat saya bahagia dalam mengajar. Senyum anak-anak itu, binar mata mereka yang penuh dengan semangat untuk bermimpi, sungguh membuat saya tak boleh berhenti. Tantangan boleh datang silih berganti, hambatan boleh hadir sesuka hati, tapi dengan ketulusan dan keikhlasan semua mendadak pergi. Keduanya tidak akan pernah tumpul, selama terus diasah dengan kesabaran. Sabar untuk berbakti, sabar untuk terus menempa diri. Dan semua masih perlu bukti, hingga delapan purnama lagi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua