Bukan Guru Biasa
Dimas Sandya Sulistio 11 Desember 2011Perjalanan saya mengikuti program Indonesia Mengajar telah mengantarkan saya ke sebuah dusun tanpa listrik dan air di pelosok negeri ini, di tanah rencong, Nanggroe Aceh Darussalam. Saya mengalami irama persekolahan nun jauh di jantung Kabupaten Aceh Utara, tepat di daerah konflik yang dulu menjadi sarang GAM. Disanalah, segala kegelisahan saya tentang dunia pendidikan Indonesia seperti terbungkam.
Selama delapan bulan saya disini, saya dihadapkan pada realita pendidikan bangsa kita, dari sudut pandang seorang guru. Suatu hal yang sebelumnya hanya bisa saya lihat di tayangan film atau cerita di media kini berada tepat di depan mata dan menjadi bagian dari keseharian saya. Jalanan ke sekolah yang rusak, bangunan sekolah yang minim fasilitas tanpa toilet, siswa-siswi dengan seragam kumal yang menggunakan sendal jepit, adalah nyata adanya. Maka meski kini saya benar-benar menjalaninya, rasanya lidah ini kelu untuk mengeluh, terutama jika mengingat perjuangan para guru disini untuk mengajar.
Adalah seorang guru wanita berusia 37 tahun. Ibu Mundliah namanya. Sejak sekolah di puncak bukit ini dirintis, Bu Mun, panggilan akrabnya, kembali mengabdikan dirinya sebagai guru. Padahal lokasi sekolah ini terletak sekitar 21 km dari rumahnya, dan pada saat itu membutuhkan waktu hingga 2 jam untuk tiba di sekolah. Namun baginya, pilihan menjadi guru adalah sebuah kehormatan. Apalagi sejak suaminya dituduh menjadi bagian dari GAM, dan dipenjara selama beberapa tahun, Bu Mun, harus membiayai kedua anaknya yang masih kecil dan menjadi tulang punggung keluarga.
Ia juga harus meninggalkan sekolah yang dirintisnya ketika terjadi konflik, dan hidup berpindah-pindah untuk sekedar mendapat keamanan. Saat itu adalah masa kelam dalam hidupnya, hingga rumah yang ia tinggali pun ikut dirusak. Bahkan ia sempat dengan nekat menjalani profesi sebagai RBT (ojek) dimana lazimnya disini hanya laki-laki yang bisa melakukan hal tersebut. Kemudian pasca peristiwa tsunami yang menewaskan ratusan guru di Aceh, tibalah kesempatan untuknya kembali mencicipi suka dan duka sebagai seorang guru.
Sudah 19 tahun Bu Mun berkiprah menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, walau sempat terhenti sejenak saat masa konflik. Dari mulai guru bakti, hingga guru honor sudah pernah ia jalani. Namun untuk menjadi seorang pegawai negeri, tampaknya masih menjadi sebuah mimpi. Kini sebagai seorang guru honor, tidak banyak imbalan yang diterima olehnya. Jika dibandingkan dengan ongkos bensin dan perbaikan motornya, semua hampir impas. Tapi hal itu tidak membuat Bu Mun berhenti mengajar. Baginya ini kesempatan untuk mengembangkan diri sekaligus berbakti pada negeri.
Jika hujan tiba, hanya Bu Mun, satu-satunya guru yang bertahan naik ke atas bukit. Dengan berbekal motor tuanya, ia bahkan rela berjalan kaki berkilo-kilometer, karena motornya tak sanggup melewati ganasnya tanjakan tanah nan berbatu di bukit Dama Buleuen. Saking licinnya, roda motor bergeser kesana kemari, tanpa pernah bisa melaju. Sungguh membuat frustasi! Terpaksa ia meninggalkan motornya di tengah jalan, dan kembali melanjutkan perjalanan agar kegiatan belajar dan mengajar tidak terhenti. Betapa gigih dan luar biasa perjuangannya.
Saya jadi ingat pertama kali saya datang ke sekolah ini, lantas saya bertanya pada salah seorang siswa saya “ Siapa guru favoritmu?” dan mereka serempak menjawab “Bu Mun..!”. Saat itu saya belum mengenal beliau, karena ia baru saja melahirkan sehingga harus cuti selama 3 bulan. Saat itu sekolah memang terasa lebih sepi. Saya hanya melihat karya-karya sederhananya berupa alat peraga, yang sesekali saya pakai untuk mengajari anak-anak. Saya pun hanya bisa menduga-duga, ‘seperti apa ya cara Bu Mun mengajar hingga ia begitu disayangi siswanya?”.
Belakangan saya tahu, bahwa Bu Mun tidak hanya enerjik dalam mengajar tapi juga interaktif dan selalu memberikan apresiasi pada siswanya. Padahal, tidak banyak yang tahu kalau untuk membuat alat peraga itu, tak jarang Bu Mun meminjam uang pada tetangganya sekedar untuk membeli karton atau lem. Namun baginya, kebahagiaan adalah ketika melihat senyum anak-anaknya di sekolah dan hadir bersama mereka.
Hari itu, seorang guru menyapa saya dengan Bahasa Inggris yang tidak terlalu lancar, dengan aksen yang kaku namun penuh percaya diri. “Good Morning Pak Dimas. I’m sorry, I’m late because of my baby”, sahutnya. Tersenyum saya menatapnya. “Its alright Bu Mun. I’m happy to see you”, balas saya. Dialah Bu Mun, seorang guru di daerah terpencil yang sudah malang melintang menjadi seorang pejuang pendidikan. Meski hanya seorang guru honor, namun dedikasi dan semangatnya bahkan melebihi guru-guru senior yang sudah berstatus PNS.
Dia juga bukan seorang lulusan jurusan Bahasa Inggris, tapi ketekunannya membuat ia mampu berpidato singkat dengan Bahasa Inggris di upacara 17 Agustus dan dipercaya sebagai Ketua Kelompok Guru Bahasa Inggris di Kecamatan Sawang. Orang-orang sudah sangat mengenalnya sebagai pejuang pendidikan. Percakapan tadi seolah memberi gambaran, baginya menjadi guru adalah proses belajar tiada henti, hingga tak sedikit pun rasa malu yang tampak meski ia tidak fasih berbahasa Inggris.Dan tahun ini Bu Mun bisa bersenang hati, karena gelar sarjana dari Universitas Terbuka telah diraihnya, dengan predikat cum laude.
Bukan guru biasa, itulah kata-kata yang sering saya katakan padanya. Bahkan guru teladan sekali pun jika diuji dengan tantangan geografis dan sosiologis di daerah terpancil belum tentu betah berlama-lama. Maka untuk mereka yang selalu mengkritik tentang bobroknya sistem pendidikan kita, alami saja persekolahan di daerah terpencil. Untuk guru yang ingin menguji seberapa besar kontribusi dirinya terhadap siswa dan selalu mengeluh tentang minimnya kesejahteraan, datanglah kemari dan rasakan pengalamannya sendiri.
Pun, untuk untuk semua orang yang merasa paling tahu solusi untuk permasalahan pendidikan, sekaligus jumawa dengan berbagai teori kebijakan makronya, cobalah merendahkan hati disini. Di Dama Buleuen ada Bu Mun, dia punya hati untuk siswa-siswanya, bukan sekedar untuk mencari uang. Darinya saya belajar tentang ketulusan dan pengabdian, dan melakukan kebaikan lewat hal-hal sederhana, bukan sekedar mengutuki keburukan yang sudah ada.
Salam dari ujung barat Indonesia!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda